Mohon tunggu...
Repa Kustipia
Repa Kustipia Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Gastronomist (Gastronome)

Membahas Gastronomi di @gastrotourism_academy Berhenti Menjadi Ahli Gizi (Nutritionist Registered) di tahun 2021. Bertransformasi Menjadi Antropolog Pangan dan Mengisi Materi Antropologi Pangan di Youtube : Center for Study Indonesian Food Anthropology Selengkapnya kunjungi tautan : https://linktr.ee/repakustipia

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Panduan Menjadi Food Vlogger yang Humanis

1 April 2023   19:44 Diperbarui: 1 April 2023   21:43 1120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah Indonesia sudah dilanda berbagai krisis? krisis pangan? krisis moral? krisis kesopanan? krisis kejujuran? krisis rasa? krisis finansial? 

Rasanya jika terus memverifikasi kekurangan secara subjektif itu menular ke berbagai hal. Pada akhirnya ini akan menciptakan generasi yang mudah tersinggung dan tidak kuat mental pada akhirnya. 

Hal ini akan terjadi saling membandingkan antara generasi terdahulu dan generasi masa kini yang semakin muda semakin dipandang namun tidak mengerti etika, walaupun berbekal kecanggihan gawai, kecepatan informasi, kelebihan saldo pendapatan, tapi ketika "sopan santun" pada bahasa, budaya, sikap, perilaku, dan lupa cara memperlakukan orang lain sebagai manusia beradab, maka hal-hal kesempurnaan yang melekat pada dirinya, akan musnah dan luntur dalam sekejap hanya karena salah ucap, salah tingkah, dan salah adab. 

Membahas kudapan, hidangan, makanan, minuman, pangan, komoditas pangan, apalagi hasil masakan seseorang itu ada ilmunya, ada tekniknya, ada caranya, ada metodenya, dan ada perlakuannya. Bahkan ada tradisi yang sulit dipisahkan dari kesatuan cita rasa yang terbentuk hingga bisa dinikmati, karena menilai suatu rasa ada syaratnya yaitu: 

1. Ilmu sensori (daya kecap yang memiliki fungsi mengecap dari mensyukuri panca indera yang telah diberikan yaitu lidah yang bisa menterjemahkan rasa asin, manis, pahit, asam, pedas, gurih, dan starchy). 

2. Ilmu organoleptik (minimal mencakup aroma, tekstur, dan rasa). 

3. Ilmu merasakan (basic tasting/taste 101) adalah cara seseorang bisa membaui, menakar dari perpaduan organoleptik dan sensori. Terbayang ya kompetensi hal ini. 

4. Ilmu gastronomi (ini memadukan pangan dan budaya, dimana setiap negara, provinsi, kabupaten/kota, tempat pusat, tempat cabang, kelompok penjual, bahkan individu pengolahnya akan berbeda dan hal inilah disebut dengan keragaman rasa/mix flavour). 

Keempat ilmu tersebut bisa didapatkan di bangku sekolah khusus atau vokasi bahkan kursus untuk suatu sertifikasi di bidang F&B (Food and Baverage) bahkan ada jurusan kuliahnya dan ditambah etika profesinya, biasanya setiap mahasiswa harus melewati berbagai ujian kompetensi agar kompeten. 

Hal demikian adalah untuk menjadikan seseorang yang bekerja di dunia : pangan, makanan, tata boga, kuliner, gastronomi, pertanian, dan hal-hal yang menghasilkan cita rasa yang dinikmati oleh seorang konsumen haruslah tercermin sikap humanis, beradab, berilmu, dan bermanfaat, bukan membuat sensasi anomali hingga akhirnya berujung dihujat oleh orang-orang acak yang tidak mengerti maksud komunikasi ulasan makanan atau pengalaman menikmati makanan yang dirasakan. 

Ada beberapa yang perlu diteladani dari para generasi terdahulu yang masih memelihara kesopanan dan keseganan pada setiap orang yang patut diteladani, walaupun generasi terdahulu tidak segaul generasi masa kini, tapi kesatuan pengetahuan, pengalaman, adab perilaku dalam kesopanan dan menjadi berbudaya itu tidak bisa belajar dalam sekejap, perlu latihan bahkan perlu sering berinteraksi dengan lebih banyak orang dan lebih jauh lagi memahami kedalaman suatu dinamika sosial yang terjadi, dimana hal ini bisa terjadi pada kegiatan icip-icip makanan. 

Food vlogger adalah pengulas makanan dan tempat makan yang kemudian diunggah sengaja dengan format video pada berbagai kanal media sosialnya baik bersifat komersil atau non-komersil, tentu saja hal ini menjadi kebebasan tersendiri, hal itu memang tidak ada larangan, namun ketika ketenaran seorang food vlogger dibebankan pada para pengolah makanan atau pemilik usaha kudapan atau pangan, mereka mana sempat mengenalmu, mereka sibuk dengan kegiatannya. 

Di situ masalah akan timbul: food vlogger tidak diakui dan sering dianggap sebelah mata karena sudah menjadi populer pada kelompoknya (follower daring yang isinya acak, bisa juga followernya adalah bot/akun otomatis yang dikendalikan bot), namun khalayak tertentu belum tentu mengenalnya.

Itu adalah tantangan pribadi bukan masalah publik bahkan masalah pemilik usaha atau pengolah masakan. Seharusnya kembali pada evaluasi mandiri:

 "Mengapa diri ini tidak diperlakukan baik dalam pelayanan makan."

Jika situasinya sedang penuh pembeli dan pesanan dengan kekurangan sumber daya pelayan dan fasilitasnya kurang, tempatnya sempit, itu memang kekurangannya disitu.

Sebagai pencicip atau pembeli cukup hadapi dengan pilihan: lanjutkan mengantri untuk menikmati atau pindah tempat lain. Masalah selesai dan nama baik usaha makanan akan tetap baik jika asalnya baik. 

Jangan sampai kedatangan food vlogger ini yang niatnya memajukan dan mengembangkan kuliner agar terliput, malah menjadi bumerang juga hanya karena kesombongan diri yang merasa terhina. Kalau begitu itu adalah food vlogger amatir, masih ingin pengakuan. 

Tujuan sederhana para penikmat makanan adalah menikmati makanan dan suasananya, sisanya bisa komplain masalah dengan etika pada hal-hal pelengkap, misal ruangan terlalu pengap, cahaya ruangan kurang, sendoknya terbalik, garpu patah, dan hal-hal spele lainnya yang bisa diselesaikan cepat dengan prosedur pelayanan makan. Hal itu biasa dalam dunia kuliner. 

Bagaimana Menjadi Food Vlogger Yang Humanis? 

Menurut rangkuman etika makan dalam berbagai kajian ilmiah European Society for Agricultural and Food Ethics (EurSAFE) and the Asian-Pacific Society for Agricultural and Food Ethics (APSAFE), etika makan itu intinya: tidak mencaci makanan dan pelayanannya. 

Hal yang sangat mudah diingat sekali bukan untuk menjadi pengulas makanan, kata kuncinya tidak mencaci.

Sederhananya tidak menguliti habis-habisan karena merasa terpinggirkan, tidak dilayani, tidak diperhatikan, bahkan lama menunggu tidak diberikan air minum. 

Coba kembali mengecek tempat makan seperti apa yang didatangi dan mohon tidak tergiring ulasan subjektif yang menyudutkan, biasanya itu hanya pelampiasan emosi saja secara personal hanya karena perlakuan padanya tidak baik karena memang ada berbagai situasi yang sedang tidak stabil. 

sumber gambar : istockphoto.com
sumber gambar : istockphoto.com

Sebagai food vlogger yang humanis, etika mengulas makanan agar terlihat elegan, humanis, dan dicintai para penggemar makanan dan memuliakan pengolah masakan sekaligus pemilik usaha makanan, sebaiknya begini: 

1. Riset terlebih dahulu tempat yang akan didatangi. 

2. Minimal gak menggerebek kalau bukan instansi yang sedang ada inpeksi dan pemantauan bahan pangan.

Buatlah perjanjian jika ingin meliput secara profesional dan sediakan surat persetujuan. Iya dong harus ada minimal sama-sama saling mengizinkan dan apabila ada yang tidak berkenan, maka bisa didiskusikan.

Itu elegan sekali tanpa harus melibatkan netizen. Hal ini juga bisa menjadi evaluasi untuk lebih baik lagi dalam melayani dan menyajikan bagi yang punya usaha. 

3. Tidak usah memaksa dan merasa populer, belum tentu semua orang mengenalmu. Karena para pengolah makanan, pelayanan makanan, dan pemilik usaha bidang food and baverage tidak terlalu menghabiskan waktu untuk menonton kontenmu juga, jadi wajar kalau tidak dikenal. Yang pasti sebagai konsumen sudah dilayani sesuai prosedur. 

4. Tidak perlu merasa menjadi pahlawan marketing kuliner jika tidak menggunakan jasa, apalagi itu adalah inisiatif food vlogger itu sendiri, kewajiban konsumen itu jika datang ke tempat makan adalah membayar, karena mereka menjual masakan. 

Jika ingin gratis dan dijamu, datanglah pada perayaan hari-hari besar, maka disitu akan terlihat dan terasa keikhlasan dari berbagai kelompok beragama dan berbudaya bagaimana memperlakukan sesama manusia untuk ikut larut berbahagia menikmati rezeki atas makanan dalam sebuah selebrasi. 

5. Tidak membongkar keburukan tempat pelayanan makan jika tidak berkenan, tapi sampaikanlah kritik dan saran yang sopan dan bisa dimengerti kepada tempatnya langsung. Karena dalam unit pelayanan makan biasanya ada penanggung jawab di berbagai bidang entah itu kepala pengolah makanan, bendahara, kasir, manager promosi, bahkan sering ditemukan pemiliknya membersamai konsumen dan bertanya bagaimana rasanya. 

Gunakanlah kesempatan ini jika memang niatnya ikhlas membantu keberkahan pada tempat yang didatangi, kecuali ada perjanjian usaha, itu beda lagi kategorinya adalah usaha jasa. 

Demikian hal-hal yang bisa direnungkan dan dipelajari kembali untuk menjadi pekerja konten kreatif dalam tema kuliner atau pangan.

Ada dua sisi mata pisau dalam bertindak, berlaku sopan akan menambah segan, berlaku kasar dan mengumbar keburukan akan melenyapkan hal-hal yang sudah dibangun sejak lama, karena tidak bisa menjaga etika atau perkataan dan tidak mudah minta maaf karena gengsi. 

Sebetulnya sangat sederhana sekali untuk mengulas suatu masakan jika fokus pada masakannya, pilihannya hanya: 

doyan, tambah porsi atau mau dibungkus? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun