Sederhananya tidak menguliti habis-habisan karena merasa terpinggirkan, tidak dilayani, tidak diperhatikan, bahkan lama menunggu tidak diberikan air minum.Â
Coba kembali mengecek tempat makan seperti apa yang didatangi dan mohon tidak tergiring ulasan subjektif yang menyudutkan, biasanya itu hanya pelampiasan emosi saja secara personal hanya karena perlakuan padanya tidak baik karena memang ada berbagai situasi yang sedang tidak stabil.Â
Sebagai food vlogger yang humanis, etika mengulas makanan agar terlihat elegan, humanis, dan dicintai para penggemar makanan dan memuliakan pengolah masakan sekaligus pemilik usaha makanan, sebaiknya begini:Â
1. Riset terlebih dahulu tempat yang akan didatangi.Â
2. Minimal gak menggerebek kalau bukan instansi yang sedang ada inpeksi dan pemantauan bahan pangan.
Buatlah perjanjian jika ingin meliput secara profesional dan sediakan surat persetujuan. Iya dong harus ada minimal sama-sama saling mengizinkan dan apabila ada yang tidak berkenan, maka bisa didiskusikan.
Itu elegan sekali tanpa harus melibatkan netizen. Hal ini juga bisa menjadi evaluasi untuk lebih baik lagi dalam melayani dan menyajikan bagi yang punya usaha.Â
3. Tidak usah memaksa dan merasa populer, belum tentu semua orang mengenalmu. Karena para pengolah makanan, pelayanan makanan, dan pemilik usaha bidang food and baverage tidak terlalu menghabiskan waktu untuk menonton kontenmu juga, jadi wajar kalau tidak dikenal. Yang pasti sebagai konsumen sudah dilayani sesuai prosedur.Â
4. Tidak perlu merasa menjadi pahlawan marketing kuliner jika tidak menggunakan jasa, apalagi itu adalah inisiatif food vlogger itu sendiri, kewajiban konsumen itu jika datang ke tempat makan adalah membayar, karena mereka menjual masakan.Â
Jika ingin gratis dan dijamu, datanglah pada perayaan hari-hari besar, maka disitu akan terlihat dan terasa keikhlasan dari berbagai kelompok beragama dan berbudaya bagaimana memperlakukan sesama manusia untuk ikut larut berbahagia menikmati rezeki atas makanan dalam sebuah selebrasi.Â