Antropologi pangan Indonesia, sudah saatnya setiap orang, setiap kepala keluarga, kelompok pertemanan, kelompok generasi terdahulu menceritakan makanannya, kulinernya, dan cita-cita bahan pangan apa saja yang ingin dinikmati dan harapan-harapan baik tentang cita rasa makanan secara bijaksana.Â
Sudahlah, memperebutkan siapa yang paling antropologi akan menimbulkan kekeruhan komparatif (alias membanding-bandingkan tanpa solusi dan berakhir damai).
Belajar saja dari bahasa daerah yang memudar, mayoritas orang-orang Indonesia tidak mengerti bahasa daerah berbagai etnis yang ada, malah fasih berbahasa inggris dan bahasa asing, apa itu tidak menjadi suatu pelajaran bahwa muatan lokal sudah tereduksi ? Pantas saja orang sunda tidak bisa bahasa jawa, karena memang tidak ada urgensi itu, karena ada bahasa nasional dan lebih dihargai jika bisa berbahasa asing.Â
Apakah sektor pangan juga akan begitu ? Antropologi pangan juga akan tersisihkan lagi ketika kedaulatan pangan, ketahanan pangan, ketersediaan pangan dan harga pangan sulit dikendalikan ? Karena harga pangan yang selalu naik itu menandakan ketidakmampuan manajemen sistem pangan yang terkendali. Kalau sukses ya harga pangan terbeli oleh seluruh lapisan masyarakat, bahkan masyarakat tidak mampu pun akan bilang pangan ini murah, saking terjangkaunya.Â
Justru kehadiran antropologi pangan di Indonesia adalah untuk memberikan khazanah keilmuan dari makanan dan budaya, yang begitu lekat dengan keseharian, karena memang hal utama dari kehidupan adalah konsumsi. Pemenuhan gizi setiap orang berbagai usia perlu diperhatikan untuk kualitas individu.Â
Hal yang dilakukan di desa memang tidak selalu menarik perhatian, karena desa identik dengan keterlambatan dan tertinggal, namun isi pikiran warga desa bisa didalami karena warga desa memiliki pengetahuan lokal dimana hal ini tidak masuk kurikulum.Â
Silakan lihat sejenak potensi tahun 2023 yang disyaratkan oleh forum ekonomi dunia semuanya mengarah pada digitalisasi dan potensi-potensi kekinian yang lingkupnya memerlukan bantuan logistik performa tinggi, minimal aplikasi yang terinstal pada ponsel pintar.
Tapi, forum ekonomi dunia tidak pernah menyebutkan potensi adaptasi dan resiliensi warga desa atau orang kampung untuk bisa bertahan hidup dan bisa kreatif. Potensi orang desa jelas mengarah pada keberlanjutan dan secukupnya tidak mengarah pada eksploitasi semena-mena yang mengeruk tanpa memikirkan luka-luka ekologis.Â
Jarang sekali skill (potensi) orang desa seperti : ahli menyelam di sungai, ahli panjat pohon kelapa, ahli meramu obat tradisional, ahli merajut daun kelapa, ahli menganyam daun lontar, ahli berkreasi dari sabut kelapa, ahli mengawinkan hewan ternak, ahli pengindraan jarak jauh pada migrasi burung, ahli tebar benih, ahli huma sawah, ketika hal seperti ini hilang, maka bersiaplah untuk membiayai jasa-jasa kemampuan tradisional yang dimesinkan atau dari tenaga SDM luar Indonesia yang bermigrasi ke Indonesia. Apa itu bukan hal yang mencemaskan bagi masa depan generasi pedesaan ?Â
Sejenak merenung, bahkan transisi pekerjaan menjadi antropolog pun masih ditanyai latar belakang pendidikannya darimana asalnya untuk bisa menikmati ilmu antropologi. Sangat bertolak belakang dengan quote Antropolog Senior Ruth Bennedict yang bilang bahwa :Â
"The purpose of anthropology is to make the world safe for human differences."Â