Mohon tunggu...
Repa Kustipia
Repa Kustipia Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Gastronomist (Gastronome)

Membahas Gastronomi di @gastrotourism_academy Berhenti Menjadi Ahli Gizi (Nutritionist Registered) di tahun 2021. Bertransformasi Menjadi Antropolog Pangan dan Mengisi Materi Antropologi Pangan di Youtube : Center for Study Indonesian Food Anthropology Selengkapnya kunjungi tautan : https://linktr.ee/repakustipia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tidak Hanya Inggris, Indonesia Juga Punya Kebiasaan Menikmati Cita Rasa di Sore Hari

25 Januari 2023   10:00 Diperbarui: 29 Januari 2023   08:34 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: tripadvisor.co.id

Mengapa hal-hal yang menyangkut warisan budaya, tradisi yang terkesan mewah, dan hal-hal yang memiliki esensi good vibes---kalau kata gen Z yang menjelaskan suasana positif---datangnya dari budaya barat. 

Apakah hari ini untuk menjelaskan pikiran, perspektif dan hal-hal yang dianggap maju harus berkiblat kembali pada tradisi mereka di mana bila diuraikan dari sistem pangan bagian distribusi dan konsumsi betapa panjangnya dan berdampak pada segala hal termasuk pada pertanian dan lingkungan?

Mari bayangkan sejenak untuk bisa menikmati tradisi afternoon tea ala Kerajaan Inggris dan ketika datang ke Asia, lebih tepatnya ke Indonesia, jadi seperti ini jika dijiplak habis-habisan: 

Tehnya didatangkan dari Inggris, sedangkan Inggris sendiri menerima tehnya dari hasil Impor (data CBI EU atau Center for the Promotion bagian impor pangan, menuliskan 90% teh yang diminum di Inggris Raya adalah teh hitam yang diproduksi di negara-negara Afrika Timur, terutama negara Kenya. Hampir semua orang Inggris meminum teh hitam dengan susu baik ditambahkan gula atau tidak). Setelah dari Inggris dikirim ke Asia dan Ke Indonesia. Kapan minum tehnya? Panjang sekali, bukan?

Tradisi Afternoon Tea di Inggris 

Dikutip dari Situs Afternoon Tea, dijelaskan secara singkat bahwa menikmati teh di sore hari (Afternoon tea) adalah ritual terkait teh, yang diperkenalkan di Inggris pada awal tahun 1840-an dan terus berkembang ditemani dengan sajian makanan-makanan manis yang berbentuk mini, tujuan menyajikan makanan mini ini untuk menghindari rasa lapar dan antisipasi makan malam yang biasanya dilakukan pada jam 8 malam di Inggris. 

Ulasan Singkat Afternoon Tea di Inggris 

Sejarah Afternoon tea pernah ditulis oleh Sejarawan pangan Dr. Julia Skinner dengan judul bukunya Afternoon Tea : A History, singkatnya buku ini menceritakan tradisi menikmati teh di sore hari untuk mengeksplorasi perkembangan hidangan teh, menyajikan kisah populer pertemuan sore Duchess of Bedford (ini merupakan gelar kebangsawanan) untuk menemukan makanan yang menginspirasi teh sore hari itu. 

Dr. Julia Skinner dengan hati-hati memisahkan fakta dan pengetahuan seputar jamuan tersebut dan menempatkan tradisi ini dalam konteks sejarahnya.

Yang dibahas dalam buku ini secara singkat tentang etiket minum teh dan melihat konteks sosial yang memungkinkan untuk sesuatu yang menjadi populer terhadap tradisi.

Sebagai sejarawan pangan, Skinner melihat adanya subkelompok kecil pada populasi penikmat teh dan mendapatkan datanya dari akhir abad ke-20 dan 21.

Singkatnya, Afternoon tea pada definisi perkembangannya merupakan makanan yang muncul selama ekspansi paling agresif yang dilakukan oleh Kerajaan Inggris, dan dengan demikian menjadi makanan yang diangkut ke benua baru dengan pasukan kolonial. 

Skinner dapat mengeksplorasi bagaimana gerakan ini terjadi dan mengungkap berbagai cara minum dan menikmati teh dan kejadian kolonialisme yang bersinggungan, baik di dunia kolonial maupun pascakolonial. 

Ya, Afternoon tea di Inggris populer karena keberadaan Raja Charless II yang sebetulnya tujuan dari ini adalah hanya mengganjal rasa lapar, karena menjadi kebiasaan dan dilakukan oleh kalangan bangsawan, maka hal ini menjadi populer bersama perkembangan sajiannya, bahkan hari ini sudah banyak pariwisata di Inggris Raya yang menawarkan paket berlibur untuk menikmati teh.

Itulah sebuah tranformasi tradisi yang bisa diadopsi oleh Indonesia, tentunya dengan kebiasaan orang-orang Indonesia pada umumnya, sehingga bisa dinikmati oleh lintas generasi. 

Kebiasaan Menikmati Cita Rasa di Sore Hari 

Jika menggunakan studi komparatif (sebut saja membanding-bandingkan), kebiasaa menikmati cita rasa di sore hari yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia itu sangat beragam.

Mari melihat sekeliling saja, kurangnya adalah sesuatu yang tidak estetik dan minim dokumentasi sejarah. Bahkan saking sudah menjadi hal biasa jadinya biasa saja dan pada akhirnya tidak penting.

Namun, ketika masuk pada kajian budaya, sebenarnya budaya makan yang mana yang mendefinisikan kebiasaan makan dan menikmati suatu hidangan dari orang Indonesia? Tidak bisa satu suara, tentunya harus banyak suara, itulah hebatnya Indonesia jika selalu kompak menyuarakan cita rasa yang dinikmatinya. 

Indonesia Masih Punya Generasi 50,60,70-an 

Jangan dulu diejek lansia ga berdaya, hanya karena usianya. Mereka adalah sumber informasi otentik dalam hal cita rasa kuliner asli tanpa topping macam-macam.

Silakan saja ikuti bagaimana mereka nongkrong di sore hari. Di Tasikmalaya sendiri tongkrongannya sambil menikmati bersama-sama keluarganya dan koleganya seperti menikmati:

Kupat tahu mangunreja, sorabi haneut isi oncom, ulen bakar, colenak, awug beras, bubur kunyit dan pacar cina kuah kinca dan santan, kue putu, kue lumpur, mie godog, sate gibrig, sate sunda bumbu kacang, soto ayam kampung, bubur ayam original dengan topping emping. 

Sumber: tripadvisor.co.id
Sumber: tripadvisor.co.id

Dan perlu diingat menu-menu tersebut masih berjaya hingga saat ini, dengan tempat andalan langganan, hanya waktu saja yang bisa menjelaskan betapa eksisnya makanan-makanan tersebut dan tidak mudah menghilang dan bukan tren sekali saja. Karena penikmatnya turun-temurun. 

Kekuatan Cita Rasa Generasi 80-90-an 

Patut berterimakasih pada perkembangan yang terjadi dan generasi 80-90-an inilah sebagai penggerak segala perubahan pada hal-hal modern, namun berbicara cita rasa, masih ada turun-temurun dari generasi sebelumnya.

Tetapi menu-menu yang mendefinisikan kebebasan dan tidak kaku, generasi inilah yang berani menampilkan dan mencoba dan mereka sering menikmati sesuatu yang segar, panas, hangat di sore hari dengan rasa yang enak dan bisa diterima oleh semua kalangan seperti ini kalau di Tasikmalaya: 

Dari satu menu saja: Bakso. 

Bakso yang disukai generasi 90-90-an di Tasikmalaya itu banyak ragamnya ada yang menyukai Bakso babat, Bakso Tangkar, Bakso Kuah Kacang, Bakso Urat, Bakso Halus, Bakso Cincang, Bakso Ikan, Bakso Tusuk, Bakso Kecil. Itu baru dari bakso tapi eksperimen mengecap rasa dan perkembangan selera inilah yang membuat menu-menu bakso itu jadi berkembang dan banyak ragamnya. 

Sumber: tripadvisor.co.id
Sumber: tripadvisor.co.id

Kelompok Masa Kini Setelah Tahun Millenium 

Ada kesedihan juga melihat fenomena perkembangan kuliner, karena cara menikmati makanan sudah siap saji, mengikuti hal-hal viral dan umum dirasakan, namun masih potensial dikembangkan sebagai bisnis kuliner. 

Ada beberapa hal yang hilang yaitu makanan tradisional yang tidak diminati karena tidak estetik atau terkesan kampungan.

Minuman tradisional sudah dianggap minuman murah yang tidak bisa menjadi suatu hal untuk menaikkan gengsi sosial, dan identitas makanan atau kuliner daerah tidak diekspos, harusnya yang muda yang memviralkan bahwa ada tradisi menikmati makanan dari daerahnya sehingga esensi budaya makannya yang viral dan tontonan netizen Indonesia jadi pengetahuan baru lewat influencer makanan.

Coba saja lihat kebiasaan sekarang itu nongkrongnya dimana jika sore hari?

Kedai kopi waralaba dari luar, kafe yang menyajikan menu-menu yang orangtuanya sendiri tidak pernah memberikannya atau tidak dinikmati secara rutin, Restoran dengan berbagai atraksi yang jauh dari etiket makan (makan itu adalah seni menikmati hasil olahan dengan keadaan baik, bukan untuk mendapat caci maki), Kuliner yang entah dari mana asalnya dan terbuat dari komoditas pangan yang bentuknya sudah serbuk dengan kemasan instan dan suasana individualis atau solitude (menyendiri). 

Sumber: unsplash.com
Sumber: unsplash.com

Namun, fenomena kebiasaan tadi tentunya menjadi evaluasi bersama bagaimana tradisi dan budaya makan yang sudah baik yang berdampak bagi perkembangan komoditas pangan lokal, bisnis rumahan dengan para pembuatnya orang Indonesia itu akan menambah nilai lain walaupun harus mengikuti perubahan zaman, namun ketika masih ada para penikmatnya, menu-menu terdahulu belum sepantasnya hilang, bukan?

Pada akhirnya kembali pada kekuatan finansial, gaya hidup, dan selera yang akan menjadikan suatu kebiasaan akan eksis beberapa waktu. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun