Mohon tunggu...
Repa Kustipia
Repa Kustipia Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Gastronomist (Gastronome)

Membahas Gastronomi di @gastrotourism_academy Berhenti Menjadi Ahli Gizi (Nutritionist Registered) di tahun 2021. Bertransformasi Menjadi Antropolog Pangan dan Mengisi Materi Antropologi Pangan di Youtube : Center for Study Indonesian Food Anthropology Selengkapnya kunjungi tautan : https://linktr.ee/repakustipia

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Memoar Merawat Bumi: Menumpahkan Narasi Emosional Ledakan Sampah Kemasan Pangan

12 Januari 2023   07:58 Diperbarui: 12 Januari 2023   08:48 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kamis pagi ketika akan bersepeda menuju kebun, kiriman paket dari penerbit diomedia datang ke rumah. Sejenak membuka kirimannya dan ya benar ini kumpulan memoar dari para penulis dengan berbagai afiliasi yang peduli pada lingkungannya. 

Membuka dan membaca memoar : Menjalin Ikhtiar Merawat Bumi (Memoirs by Climate Reality Leaders) ini seakan memberi harapan baru, menyembuhkan pikiran dari realitas yang selalu ditemui dimana-mana yaitu sampah campursari, terlebih sampah kemasan pangan dimana sampah tersebut menjadi jejak manusia menikmati cita rasa yang selalu disanjung karena nilai gizinya, canggihnya teknologi membentuk makanan dan minuman dengan berbagai rasa, dan ciamiknya desain yang membuat menarik membelinya karena penasaran. 

Ketika lisan ini sudah tidak kuat lagi untuk melontarkan kritik sosial karena ketakutan yang besar akan penolakan atas gagasan yang ada, tapi ada satu kalimat yang membesarkan hati ketika mengikuti acara Dialog Sistem Pangan yang bertemakan Culinary Heritage for Future Food System of Indonesia tahun 2021, seorang convenor (penyelenggara) yaitu Ibu Amanda Katili, PhD pernah menyampaikan : 

"Kita tidak boleh takut berimajinasi ....

(dan harus memikirkan masa depan pangan)"

Kata yang paling diingat adalah tidak boleh takut berimajinasi, kalimat ini yang selalu diperlukan oleh orang-orang yang ingin selalu berposes, bertumbuh, berkembang, dan memiliki berbagai gagasan entah itu hanya sebuah cara pandang, pendapat, opini, bahkan solusi alternatif. 

Rasanya kebebasan berpikir harus punya ruang tersendiri. Karena hanya dengan memikirkan keberlanjutan ini dimulai dari penglihatan, perasaan karena merasakan suatu peristiwa, melewati setiap momentum yang sudah terjadi, dan dengan menulis setidaknya tersampaikan walau perlu perbaikan dari segi tata bahasa dan kepenulisan, tapi tidak perlu takut salah dan harus mengembalikan pada tujuan menulis ini untuk menyimpan pikiran yang terbenam. 

Harapan besarnya tentu saja bisa memberikan perubahan besar, karena manusia punya kekuatan menganalisis, mengkaji bacaan, dan memiliki nurani untuk selalu berbuat baik. 

Ternyata secara ilmiah,sebuah imajinasi dari hasil penelitian Nell A Thomson yang berjudul Imagination and Creativity in Organizations (terpublikasi pada jurnal studi organisasi), menyebutkan bahwa imajinasi diawali dari : 

"Pikiran yang dapat memainkan peran aktif dalam mengungkap interaksi kreatif dengan membangun jembatan antara literatur tentang kreativitas organisasi, estetika (filsafat seni, keindahan dan tanggapan manusia tentang segala hal) dan filosofi imajinasi dan akan menghasilkan daya pikir yang luar biasa dalam mengungkapkan berbagai hal"

Pengalaman menulis bagian dari memoar ini rasanya campur aduk karena fakta yang terlihat sangat memilukan di tempat pembuangan akhir sampah, hingga perasaan bersalah sebagai manusia membludak sampai-sampai berkata : 

Apakah seegois ini manusia-manusia yang ada di Bumi ? Tidakkah ada waktu untuk mengendalikan secara sederhana dari pilah sampah dari rumah dulu, dari diri sendiri dulu agar seminim mungkin meninggalkan jejak polusi ? Ketika semua sudah berkumpul, bertumpuk, menggunung, lingkungan ini memang tidak baik-baik saja. Lingkungan hidup ini sedang sakit kronis. 

Dan perlu penyembuhan, pemulihan dari tangan-tangan manusia yang berani mengambil aksi darurat penyelamatan sampah dan memikirkan makhluk hidup lainya juga. Bumi ini harus dibagi rata, tidak semuanya dihabiskan oleh manusia. 

Dokpri
Dokpri

Dokpri
Dokpri

Memoar yang ditulis tentang ledakan sampah pangan karena, memang kemasan sampah pangan walaupun ukurannya kecil namun punya fluktuasi yang sering menyumbangkan sampah baru, disaat sampah yang lama belum terutai. Dan ini perlu antisipasi bagaimana agar sampah kemasan pangan secara spele berkurang, terurai, terpakai kembali atau habis melebur dengan sampah lainnya dan tidak menjadi tumpukan koleksi sampah. 

Hal yang bisa dilakukan secara sederhana dalam upaya mereduksi sampah kemasan pangan adalah dari perubahan perilaku individu yang bijaksana, saya yakin masih banyak orang-orang bijak yang hidup di bumi ini karena mereka berpikir dan berempati pada ekologi, beberpa hal yang bisa dilakukan dimulai dari diri sendiri adalah : 

1. Kembali membawa rantang atau tempat makan dan minum yang tidak terlalu merepotkan jika ingin membungkus makanan atau minuman. Bukannya zaman dulu sudah terbiasa dengan membawa tempat dari rumah jika mau membungkus makanan ? 

2. Makan dan minum ketika kuliner di tempat, selain cita rasanya bisa dinikmati karena suhu sajian hidangan pas,hal ini juga meminimalisir proses pembungkusan, apalagi jika makanannya berkuah dan sausnya banyak, berapa bungkus plastik yang diperlukan atau berapa banyak kardus kemasan pangan yang diperlukan ? 

3. Membiasakan diri dengan hidup minim sampah, jejak manusia di berbagai belahan bumi yang paling jelas terlihat adalah sampah, Entahlah zaman semakin modern namun perilaku nyampah itu seperti hal normal yang sudah amat sangat lumrah, seakan baik-baik saja tidak berdampak. 

4. Menolak dan mengedukasi penjual makanan dan minuman jika ditawari bungkusnya berlapis. 

5. Selalu membawa kantong belanja dari kain atau tas yang tidak sekali pakai. Hal ini harus dibiasakan karena jika tidak permintaan plastik itu akan selalu meningkat. Solusi yang paling berpengaruh ya dari konsumen itu sendiri, karena konsumen adalah pengendali pasar sebenarnya. 

Mengapa tidak memilih menjadi konsumen yang : cerdas, bijak, cinta lingkungan ? 

Menjadi pahlawan tidak harus berdarah-darah karena perang kan ? Namun menjadi inspirasi untuk kelestarian bumi dari lingkungan dan kebiasaan kecil akan membawa perubahan besar jika dilakukan secara konsisten. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun