"Jamu.....Jamunya....Jamu"
Itulah suara lembut mbok-mbok dan mbak-mbak penjual jamu gendong yang masih eksis, segelas jamu brotowali hanya Rp. 3.000 , kunyit asam sudah Rp. 5.000, jamu beras kencur Rp. 4.000 , tambah anget pakai air mentol atau daun mint-nya nambah Rp. 2.000.Â
"Iya boleh....jamu haid, jamu kuat, jamu keperkasaan, jamu anak cacingan, jamu kecantikan, jamu kesehatan, jamu nambah imun, jamu biar ga masuk angin, jamu biar ga centengan, jamu anti turun mesin, jamu singset set set"
Khasiat jamu yang langsung dipromosikan oleh penjual jamu. Melihat perkembangan jamu, inilah pusaka leluhur yang masih dipercaya obat asli Indonesia. Semenjak zaman kerajaan Hindu di Jawa, jamu sudah ada. Bahkan relief-relief candi borobudur menggambarkan kebiasaan minum jamu dan meracik jamu.Â
Relief ini namanya Relief Karmawibhangga, dilansir dari Borobudur Pedia Kemdikbud :Â
Dari posisinya yang berada pada kaki candi, relief Karmawibhangga dipahatkan berdasarkan kitab Mahakarmawibhangga.Â
Kitab ini berisi tentang hubungan sebab akibat di dalam kehidupan manusia baik di dunia dan di akhirat. Setiap panil pada relief Karmawibhangga selalu merupakan lukisan dari hal tersebut.Â
Jika diperbesar terlihat kegiatan meracik dengan batu dan sedang menyajikan ramuan.Â