Mohon tunggu...
Repa Kustipia
Repa Kustipia Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Gastronomist (Gastronome)

Membahas Gastronomi di @gastrotourism_academy Berhenti Menjadi Ahli Gizi (Nutritionist Registered) di tahun 2021. Bertransformasi Menjadi Antropolog Pangan dan Mengisi Materi Antropologi Pangan di Youtube : Center for Study Indonesian Food Anthropology Selengkapnya kunjungi tautan : https://linktr.ee/repakustipia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Antropologi Pangan di Indonesia

10 Agustus 2022   17:01 Diperbarui: 12 Agustus 2022   16:34 1603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fungsi Antropologi pangan di Indonesia selain untuk riset kontemporer, untuk keamanan konsumen karena ada komunikasi budaya untuk menyampaikan pesan-pesan produk kebijakan menyangkut pangan (PIXABAY/FREEPHOTOS)

Hal yang pertama ketika membaca antropologi pangan adalah hal aneh dan tidak biasa. Sebab, antropologi kan tidak hanya sosial budaya saja.

Menurut Anthropology of Food Journal yang didirikan pada tahun 1999, Antropologi pangan menggabungkan isu-isu dengan sudut pandang holistik, kedekatan ruang lingkupnya mencakup: Sosiologi (menekankan pada aspek masyarakat), antropologi (manusia dan kebudayaan), geografi (manusia, alam, dan ruang), etnologi (asas kemanusiaan dalam kebudayaan), sejarah (perkembangan peristiwa), Filsafat (makna hidup), ekonomi (manajemen rumah tangga), politik (institusi, perilaku, keputusan) dan masih banyak sektor lain sebagai pelengkapnya. 

Untuk menelusuri antropologi pangan, sejenak membuat refleksi dan penemuan informasi sederhana.

Di Amerika ada jurusan Food Studies yang di dalamnya mempelajari antropologi pangan dengan topik-topik terkini seperti: food stamps/bantuan pangan langsung, isu ultra food dan kebijakan, (ultra food disini sebagai makanan pabrik yang diproduksi secara massal dan memiliki dampak pada kesehatan jangka panjang dengan isu kesehatan dan gizi produknya), politik pangan pada pengolah makan seperti chef yang berkulit hitam, pelayanan makanan yang beragama islam, dan makanan para kelompok lesbian. 

Tercengang? Itu belum seberapa. Bahasan antropologi pangan pada kajian studi di Amerika ini memang vulgar dan berani karena problema sosialnya pun beragam. 

Bagaimana antropologi pangan di Indonesia?

Hal menarik, di mana kajian antropologi pangan hanya berlaku pada pertemuan singkat saja entah itu satu semester atau satu pertemuan berdurasi maksimal 2 jam saja. 

Tapi kekuatan antropologi pangan untuk di Indonesia sendiri mendekati kajian sosio-budaya pangan, di mana fungsinya adalah membantu melengkapi kajian, bahasan, penelitian tentang: Studi kebiasaan makan, penyuluhan literasi makanan (termasuk didalamnya pengetahuan gizi), perubahan perilaku konsumsi pangan, produk kuliner masa kini yang entah sudah sampai mana perkembangannya dan perubahannya dan bahkan meninggalkan dan menerobos esensi standar pangan/makanan sehat dan berkontribusi nyata untuk tubuh individu. Itulah fenomena faktual yang jarang dikaji dan dibicarakan. 

Fungsi Antropologi pangan di Indonesia selain untuk riset kontemporer, untuk keamanan konsumen karena ada komunikasi budaya untuk menyampaikan pesan-pesan produk kebijakan menyangkut pangan. 

Mari ditelusuri secara saksama, seberapa peduli konsumen pada label-label pangan atas makanan? Apakah sudah membaca produksi mana makanan yang dinikmati? Sudahkan mempelajari komposisinya? Adakah penyuluh atau pegiat literasi pangan sejauh ini yang mengingatkan atau menginformasikan jika beberapa kandungan bahan makanan itu mengandung alergen yang menyebabkan alergi untuk beberapa individu dengan penyakit tertentu? 

Itulah fungsi antropologi pangan yang sering diabaikan oleh berbagai sektor maupun pendidikan tinggi. Padahal topik pangan adalah topik keberlanjutan di mana itulah ciri manusia secara dasar, yaitu: makan. 

Kajian antropologi pangan di Indonesia akan sangat menarik dan eksploratif karena proporsi keberagaman etnisnya variatif dan inilah yang akan memperkaya keberagaman dan tidak perlu keseragaman yang kaku. 

Terlihat bukan bahwa makanan pokok jika dinasionalkan dampaknya pada kehilangan berbagai komoditas pangan asli di mana jika dikaji dari sudut pandang budaya itulah makanan pokok asli penduduk tersebut, namun tergantikan karena adanya stigma sosial, sudut pandang sosial, bahkan rundungan karena bukan pemakan/penikmat suatu komoditas. 

Harapan ke depannya dari sudut pandang antropologi pangan adalah tentang perilaku konsumsi pangan orang Indonesia dengan kekuatan etnis atau sukunya, karena bagaimanapun, makanan asli penduduk akan berkontribusi penuh pada penanaman dan permintaan pasar selama suatu kelompok masih menikmati komoditas tersebut. 

Di sisi lain tentang merebaknya kuliner kekinian yang selalu berubah-ubah perlu dikaji juga asal-usul komposisinya, benarkah pangan lokal berjaya pada praktik pengolahan pangan atau hanya sekedar selebrasi dan konsep belaka pada suatu acara atau forum multisektoral? Sementara gempuran produk impor kian merajalela dan sudah masuk pasar bebas via e-commerce yang langsung mudah merangkul dan memanjakan cita rasa konsumen dan laris.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun