sumber gambar : unsplash
Kamis, 23 Juni 2022 diadakan Forum Global dengan mengusung tema diskusi, negosiasi dan diplomasi "Agroekologi dan pendekatan teritorial untuk transformasi sistem pangan" yang diselenggarakan oleh Biovision Foundation,Zurich.
Hybrid forum ini dihadiri oleh beberapa praktisi, para ahli, dan peneliti senior yang memiliki ketertarikan pada agroekologi, sistem pangan, dan isu-isu global food (pangan global).
Pembahasan latar belakang acara pun dijelaskan bahwa banyak riset-riset sistem pangan yang mutakhir, tapi belum bisa menuntaskan permasalahan sistem pangan dari berbagai sektor seperti : politik, ekonomi, gender, budaya, hukum agraria, seni, sosial, teknologi dan kesejahteraan sosial.
Lantas, bagaimana cara pandang para ahli mengemukakan gagasannya ?Â
Karena kemajuan teknologi dan sistem manajemen antar sektor di negara-negara Eropa sudah terintegrasi, maka yang bisa disampaikan oleh perwakilan Indonesia adalah kembalinya pada prinsip pendekatan biokultural yang lebih mengerti dan cocok diterapkan jika para petani yang menjalankan sistem pangan ini secara operasionalnya.
Pendekatan biokultural bukanlah hal baru, jika  menelaah kajian yang ditulis oleh Foster G.M tahun 1962 tentang Traditional Cultures and the Impact of Technological Change, disebutkan bahwa budaya dianggap kehidupan yang dipelajari secara umum oleh masyarakat, dan adanya kebiasaan memandang aturan sosial. Maka dari itu, pendekatan biokultural mencakup interrelasi dan interaksi antar individu, masyarakat, dan budaya yang dapat merinci persoalan pangan sampai skala terkecil sekalipun.
Pendekatan biokultural melibatkan 3 aspek diantaranya :
1. Sosial.Â
Kegiatan sistem pangan adalah mengolah sumber daya alam, maka ada nilai-nilai sosial seperti masih adanya gotong royong diantara para petani. Hal ini cocok dengan karakter bangsa Indonesia dan beberapa masyarakat di Benua Asia Tenggara. Ada pengaruh kehidupan melayu yang mengajarkan empati pada sesama. Maka diharapkan ketika panen maka kebutuhan pangan tercukupi dan bisa untuk bersama.
2. Budaya.Â
Indonesia sendiri memiliki keberagaman etnis dengan budayanya masing-masing, hal ini berperan dalam prinsip-prinsip hidup.Â
Baik itu dalam pelestarian alam dan memanfaatkannya untuk kelangsungan hidup, adanya adaptasi budaya dengan ekologi juga memiliki alasan filosofis tersendiri.Â
Misalnya jika dikaji dari sistem produksi hewan ternak, Â tidak semata-mata harus diburu setiap saat, ada waktunya dan hal ini dikarenakan adanya pengetahuan lokal tentang memperlakukan buruannya.Â
Begitu juga dengan teknik bertani dan berkebun lainnya.
3. Psikologi.Â
Dorongan biologis dan psikologis mempengaruhi bagaimana manusia mengarahkan perilaku terhadap : lingkungan, manusia, hewan peliharaan, hewan ternak, komoditas pangan dan cuaca.Â
Ada pengalaman turun-temurun yang mengolahnya menjadi suatu informasi, maka dari itu dalam sistem pangan ini setiap manusia akan memiliki kesadaran akan kebutuhan tentang keberlanjutan kebutuhan dasar seperti : sandang, pangan, papan dan teknologi jika hari ini.
Pendekatan biokultural ini akan menjadi refleksi dan evaluasi tentang betapa kerasnya dan cepatnya kemajuan perubahan global ini, namun dengan pendekatan biokultural dikembalikan lagi bahwa apa yang ditanam dan dipelihara memiliki fase istirahat sejenak untuk bertumbuh dan berkembang.Â
Sehingga nilai-nilai kemanusiaan pada ekologi akan lestari, harapannya pendekatan ini bisa digunakan tidak hanya di Indonesia namun di negara manapun, kuncinya adalah mau tetap bersinergi dengan keberagaman tanpa harus merusaknya.Â
Dokumentasi pengajuan pendekatan biokultural dari Indonesia :Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H