[caption caption="Dahlan Iskan-Sumber:Dahkan Iskan Way"][/caption]
Â
Apa kabar Abah?
Sudah lama sekali saya tidak mengikuti kiprah Dahlan Iskan sejak beliau berhenti menjabat sebagai menteri BUMN. Bahkan peristiwa dijadikan tersangka saya juga tidak intens mengikuti. Tapi ada peristiwa yang tidak sengaja saya baca, membuat ingatan akan "mimpi buruk" terhadap Jawa Pos muncul kembali. Inilah yang membuat saya menulis ini. Mohon berkenan Abah.
 Peristiwa Sumber Waras yang melibatkan Ahok sangat ramai saat ini. Kebetulan saya membaca twitter Iwan Piliang. Sebuah pemikiran uda Iwan yang sangat mengecewakan. Masih teringat akan tulisan Iwan Piliang di kasus Tranfer Pricing. Beliau mengatakan bahwa Tranfer pricing lebih heboh dari kasus pajak Gayus. Tapi kemudian tidak terdengar lagi kicau uda Iwan. Sempat timbul pemikiran atau tepatnya curiga. Tapi sudahlah.Â
 Ini awal mula saya sangat terganggu akan komentar Iwan Piliang.
 Saya percaya Jacob Oetama dan Dahlan Iskan adalah dua orang tokoh paling terkemuka di dunia pers. Bahkan jabatan Jacob Oetama sebagai kepala pers diserahkan kepada Dahlan Iskan. Dahlan dan Jacob Oetama pasti sama sama ingin negara ini berdiri disemua golongan. Bukan ekstrim kiri atau kanan. Mereka pasti ingin bangsa ini bersatu. Bukan saling membenci. Lalu apa pantas ucapan Iwan Piliang ini? Saya percaya Dahkan Iskan tidak nyaman dengan apa kata Iwan Piliang.
 Apa hubungan dengan Dahlan Iskan dan Jawapos?Â
Sekitar dari 20 tahun yang lalu, saya pindah ke Surabaya. Saya masih mencari koran yang biasa saya baca. Tetapi sangat susah dan lama lama saya sudah malas mencarinya. Yang ada adalah Jawa Pos. Saya makin lama makin menikmati gaya Jawa Pos. Juga saat berpindah ke format ukuran tabloid. Membuat saya bangga sebagai pembaca sebuah koran pelopor. Saya sangat menyukai kolom dari Dahlan Iskan. Selama di Surabaya, saya merasakan Dahlan Iskan sangat melegenda. Saya sudah jatuh hati ke Jawa Pos.
 Kemudian sampailah masa ketika Dahlan Iskan merubah atau membuat aturan baru perekrutan wartawan. Saya selalu menyimak iklan lowongan wartawan tersebut, Entah kenapa, yang terjawab beberapa tahun kemudian.  Indek prestasi minimal adalah 3. Ini harga mati. Saya sempat berpikir, kenapa mahasiswa teknik yang saat itu dapat IP 3 saja susah diadu dengan jurusan lain yang IP 3 adalah gampang? Kenapa juga universitas yang top di sanding dengan yang kurang?
 Pertanyaan saya tersebut tercermin dari yang diterima oleh Jawa Pos sebagai wartawan. Terlihat lulusan dari mana sudah terbaca. Jarang sekali yang di terima dari lulusan universitas terbaik dari jurusan favorit. Saya maklum, wartawan Jawa Pos dulu terkenal bergaji awal prihatin. Saya yakin lulusan dari Universitas Top dan jurusan favorit akan kerja di perusahaan besar bergaji lebih baik. Dan wartawan yang diterima enteh kenapa saya berasumsi adalah dari latar belakang yang "golongan kanan". Karena nama dan universitas asalnya. Maaf.
 Dan satu atau dua tahun kemudian saya rasakan perubahan di Jawa Pos. Berita yang selama ini tajam tidak memihak menjadi sangat ekstrim bila menyangkut agama tertentu. Terutama bila menyangkut Israel-Palestina. Membaca Jawa Pos saat itu seperti mendengar kemarahan Habib Rizieq terhadap Ahok. Sangat tidak nyaman. Seperti kita harus membenci orang lain. Saya benar benar tidak nyaman. Maaf.
 Dan untunglah saya pindah kota lain dan "terbebas" dari Jawa Pos. Itu sekitar 10 tahun yang lalu. Selama ini saya berlangganan koran lokal dan lebih sering baca berita online. Sampai kemudian saya membaca twitter Iwan Piliang ini. Uda iwan yang selama ini memang secara sepihak melawan Gubernur Basuki, telah menampilkan tuduhan korupsi secara terang-terangan dan secara masif ke Ahok. Dan ternyata wartawan Jawa Pos yang kemarin disemprot Ahok terhubung dengan Iwan Piliang.
 Ini dari twitter Iwan Piliang.
Bagaimana bisa wartawan yang sejak awal ada kecenderungan tidak balance, melahirkan berita yang baik? Inilah yang membuat saya teringat akan Jawa Pos belasan tahun yang lalu. Hasil perekrutan IP minimal 3 yang pernah digagas pak Dahlan Iskan. Condong ke kanan. Saya jujur kehilangan sosok Jawa Pos di halaman depan yang bernas, jujur, independen, dan tidak memihak. Dan terutama sumber sumber "rahasia" yang membuat Jawa Pos menampilkan sisi yang tidak diketahui koran lain. Yang ada adalah kemarahan karena agama.
 Saya tidak tahu bagaimana Jawa Pos saat ini. Di tangan Azrul Ananda, saya yakin sehebat Dahlan Iskan. Bahkan Dahlan Iskan berkata Azrul lebih hebat. Saya percaya. Saya adalah orang yang dulu sering ikut acara nonton langsung F1 di Bongo's cafe yang menampilkan Azrul sebagai nara sumbernya. Semoga ditangan Azruh, ada seleksi wartawan yang lebih baik. Jangan ada kebencian. Mencerahkan 1 orang lebih mulia daripada mengajar kebencian 1000 orang.Â
 Semoga saja kisah wartawan yang curhat dengan haters Ahok hanya sampai disini. Tidak heran kemaren Ahok sangat marah ke wartawan ini. Teryata dia adalah haters yang selalu menulis berita yang merugikan. Dahkan Iskan pernah merasakan bagaimana dipermainkan hukum dalam kasus sawah fiktif. Bagaimana dengan Ahok? Mari kita berimbang sebelum ada hasil pengadilan.
 Ahok sudah diperiksa harta kekayaannya oleh KPK. Bahkan Ahok berkata tidak akan ada pejabat yang bisa lolos kalau diperiksa KPK harta kekeyaannya. Ahok menjadi model pelaporan harta pejabat LHKPN oleh KPK. Selama ini Pejabat mengisi sendiri dan tidak diperiksa. Semoga sistem LHKPN ala KPK ini diterapkan ke semua pejabat.
 Mohon Abah Dahlan Iskan bisa mentertibkan wartawan di Jakarta yang terkesan tidak adil dan berimbang. Kami butuh pejabat Jujur seperti Bapak selama menjabat, Ahok, Jokowi, Risma dan beberapa yang lain, yang tidak dikriminalisasi dan di politisasi. Bayangkan kalau harga tanah yang di beli PLN jaman pak Dahlan ditulis BPK ada kemalahan dan merugikan negara. Padahal itu sesuai semua aturan.Â
 Demikian catatan saya. Semoga Abah Dahlan atau Mas azrul jaya selalu.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H