Satu Ramadhan 1436 H telah dimulai terhitung sejak Kamis (18/06/2015). Ada sekian milyar Muslim di seantero dunia yang serta-merta memasuki fase baru dalam hidupnya. Baik yang sudah dengan persiapan sebelumnya, atau tak sama sekali.
Tulisan sederhana ini hendak diniatkan untuk menguliti beberapa keganjilan dan penyempalan yang terjadi selama Ramadhan—khususnya yang berlangsung di Indonesia. Entah dimulai sejak kapan. Intinya, perkara ini terkadang membuat rasa kepantasan kita beraduk sengit di dalam diri. Baiklah, mari kita mulai.
Keganjilan pertama jelang Ramadhan adalah, harga daging & sembako melonjak drastis. Ini aneh bukan? Harga melambung itu karena adanya permintaan yang tinggi. Pasti. Pertanyaannya, siapa yang meminta? Besar kemungkinan ya umat Muslim yang menyambut Ramadhan dengan daging, kurma, sirup, penganan, gorengan, dkk seangkatannya. Padahal perintah puasa Ramadhan yang paling tegas adalah, menahan makan-minum (bukan menahan lapar-haus). Sebab tak ada satu pun manusia di jagat ini yang bisa menahan kemunculan lapar dari perutnya, dan rasa haus yang timbul dari kerongkongannya. Kerana yang ditahan lapar dan haus, maka wajar ketika berbuka, segala makanan yang sebelum Ramadhan tak pernah ada, diadakan. Sebanyak mungkin kalau bisa.
Keganjilan kedua. Jamaah shalat khususnya Isya & tarawih tumpah ruah hingga ke luar masjid. Pekan kedua hingga ketiga Ramadhan, fenomena ini terus menyusut. Sebab para jamaah yang semula semangat berapiapi itu, sudah pindah berjamaah ke cafe di banyak mall. Dalihnya, ngabuburit dan buka bersama. Meskipun kalau mau menggunakan Hadis, perbuatan itu sama sekali tak pernah dikerjakan Nabi Muhammad Saw. Termasuk tarawih, yang tak pernah beliau kerjakan secara berjamaah di Masjid Nabawi, melainkan di kediamannya.
Keganjilan ketiga. Kebisingan merajalela di seantero tempat. Terutama di kitaran masjid. Anak-anak kecil seolah dapat izin tak tertulis dari orangtua mereka untuk meledakkan gendang telinga banyak orang dengan petasan berjenis rupa—yang sudah sama kita tahu, kerap menelan korban tahun ke tahun.
Belum lagi pelantang suara di masjid yang seenaknya saja berkoar di pagi buta, dengan dalih membangunkan sahur. Khusus di tempat penulis bermukim, masjid kami bersebelahan dengan salah satu keluarga non-Muslim. Selama ini mereka memang diam saja. Warga kampung kami pun dengan bangga sambil petantang-petenteng mengatakan bahwa mereka (keluarga non-Muslim) harus punya tenggang rasa. Padahal kalau kondisinya kita balik, apakah kita yang Muslim sanggup seperti itu? Sampai di sini, sudah terjadi penindasan dari yang mayoritas pada minoritas. Agama, Islam khususnya, tak syak berdiri di atas landasan yang rapuh begitu.
Mari kita lanjutkan kajian perihal puasa secara lebih bertanggungjawab. Kata puasa dalam bahasa Arab adalah “shiyam atau shaum,” keduanya merupakan bentuk masdar (menunjuk pada makna pekerjaan), yang bermakna menahan. Sedangkan secara istilah fiqh, berarti menahan diri sepanjang hari dari terbitnya fajar sampai matahari terbenam dengan niat tertentu; menahan dari segala sesuatu yang menyebabkan batalnya puasa bagi orang Islam yang berakal, sehat, dan suci dari haid dan nifas bagi seorang Muslimah.
Puasa Ramadhan hukumnya wajib bagi semua Muslim/ah beriman yang memenuhi syarat melakukannya. Sementara bagi penulis, yang masih punya perkara besar pada perut & perkelaminan, yang menjadi bentuk kelancangan pada larangan Allah Swt, jelas tak masuk kategori wajib puasa.
Ketika hijrah ke Madinah, sejatinya Rasulullah Saw telah menunaikan puasa. Misal, puasa Putih (tiga hari setiap bulan) dan puasa Asyura. Setelah itu Allah Swt mewajibkan puasa pada bulan Ramadhan sebagaimana disebutkan dalam al-Quran. Siti Aisyah ra, mengatakan bahwa sebelum datangnya kewajiban puasa Ramadhan, Rasulullah Saw telah melaksanakan puasa Asyura. Setelah kewajiban puasa Ramadhan turun, siapa pun diperbolehkan melaksanakan puasa Asyura atau meninggalkannya.[1]
Puasa kan mestinya menahan hawa nafsu sendiri. Bukan mengurusi hawa nafsu orang lain. Maka yang sepantasnya dipersiapkan adalah, kosongkan rumah dari makanan-minuman. Apa pun jenisnya. Sepikan diri dari kuasa hawa nafsu. Kosongkan diri dari keakuan (ananiyah) yang jadi ciri hadirnya sifat keiblisan dalam diri manusia. Sepi-menyepi. Dalam hal ini, ritus masyarakat Bali bisa dijadikan bahan pembelajaran atau pembanding sebelum kaum Muslim melakoni puasa Ramadhan. Dari disiplin seperti itulah kewajiban puasa baru mulai berlaku. Sebab yang sanggup melakukan itu adalah mereka yang beriman saja:
“Hai orang-orang yang beriman! diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Ingat, ayat di atas hanya perintah berpuasa—bukan puasa pada bulan Ramadhan. Perintah yang nyata terkait puasa Ramadhan baru tertera pada surat yang sama ayat 185:
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Kerana itu, sesiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.”
Ramadhan yang Kehilangan Greget
APA yang menarik dari puasa Ramadhan? Sejujurnya, jika menggunakan rujukan nash (al-Quran-Hadis), jawabannya sangat sedikit sekali—untuk tidak mengatakannya kurang menarik. Penjelasannya begini.
Pertama, ada sekian milyar Muslim lain yang berpuasa berjamaah. Entah seberapa ratus juta dari mereka yang tetiba minta dihormati oleh mereka yang tak berpuasa. Mau itu sesama Muslim/umat beragama lain. Mereka yang tak berpuasa (padahal bisa jadi non-Muslim), dilarang makan-minum sembarangan demi kata "menghormati" itu. Aneh kan?
Padahal kan seharusnya tugas mereka yang berpuasa untuk menahan diri dari godaan makan-minum itu. Alhasil, kondisi inilah yang membuat tingkat konsumsi meningkat di Ramadhan. Bulan yang konon diduga sebagai bulan belajar demi menghadapi 11 bulan lain. Nyatanya?
Kedua, dalam sebuah Hadis Qudsi riwayat Bukhari ra yang ia dapat dari Abu Hurairah ra, Rasulullah Muhammad Saw bersabda, "Seluruh amal anak Adam adalah untuknya sendiri, kecuali puasa. sungguh, puasa itu untuk-Ku & Aku akan membalasnya." Dengan lain kata, puasa adalah ibadah paling misterius dalam Islam.
Ada pun janji Allah terkait 10 malam pertama yang berisi Rahmat; 10 malam kedua berisi Ampunan; 10 malam terakhir dibebaskan dari api neraka & berkah laylat al-qadar, itu semua kembali pada rumusan awal di atas: Jika kita adalah golongan orang beriman yang dipanggil al-Quran dalam ayat 183 itu, bisa jadi Ramadhan akan datang sambil memeluk kita erat dan hangat. Jika tak, mari bertanya pada diri sendiri. Sudah berapa Ramadhan kita lewati, & sudah berimankah kita pada Allah yang Satu? Sementara kecintaan kita pada selain-Nya, jelas lebih membelenggu selama Ramadhan berlangsung.
Apa enaknya puasa di antara sekian banyak orang lain yang juga berpuasa? Coba bayangkan kondisi sebaliknya. Mana yang lebih menarik? Sudah dalam kondisi yang tak menarik itu pun, kita masih sering meminta pihak lain yang tak berpuasa untuk menenggang rasa. Pada tingkat praktik, penulis meyakini sepenuhnya, bangsa Nusantara ini bukan ahlinya tenggang rasa. Sebab tenggang rasa itu sulit sekali diwujudkan. Kita, terlatih menerima (ikhlas). Seperti kata upavāsa dalam bahasa Sansekerta yang kemudian kita serap jadi puasa dengan penerimaan tingkat tinggi.
Perkara itu saja mestinya sudah cukup untuk menjadi tolok ukur, betapa puasa—khususnya puasa Ramadhan sudah ter-Nusantara-kan. Mereka yang lulus puasa sebulan nanti, harus jadi lebih santun. Lebih peka. Lebih tajam rasa kemanusiaannya. Bukan melulu bicara surga-neraka yang jaraknya terlalu jauh dari hidup dan kehidupan kita sekarang dan di sini.
Semoga dengan bekal tersebut, kita bukan termasuk yang lebih peduli pada pakaian baru jelang hari raya Idul Fitri & aneka kue serta minuman berwarna yang bisa disajikan di meja tamu. Semoga pula kita masuk dalam golongan manusia yang gemar mencari kesejatian diri dari Ramadhan yang belum tentu bisa kita temui tahun yang akan datang. Wallahu'alam bi ash-shawaf. []
Marhaban ya Ramadhan...
[1] Sila merujuk kitab Al-Misbah Al-Munir fi Tahzib Tafsir karya Ibnu Katsir, 1999: h. 103.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H