Dalam surat itu, De Mooie Sos (Sos yang Tampan) yang tengah berada dalam perjalanan pulang ke Jawa, menghaturkan maafnya tak sempat berpamitan kepada pasangan Abendanon yang tinggal di Amsterdam.
"Saya bertekad memperbaiki dan menyelamatkan kehidupan saya. Ada keinginan dan kemauan, dan di atas itu, ambisi tuk menyumbangkan pengalaman-pengalaman yang telah saya dapat kepada bangsa saya."
Maka Sosrokartono pun mengakhiri petualangannya di Eropa pada 1925 setelah mengembara selama 29 tahun.
Berlabuh di Tanah Pasundan
DI SEBUAH RUMAH PANGGUNG di Jalan Pungkur No. 7, Bandung (sekarang tepat di seberang terminal Kebon Kalapa), pernah berdiri rumah pengobatan bernama Pondok Darussalam. Rumah inilah yang menjadi pelabuhan terakhir Sosrokartono setelah ia kembali dari Eropa.
Rumah panggung itu terbuat dari kayu dengan dinding bambu. Dibangun memanjang membentuk huruf L sepanjang Jalan Pungkur. Sosrokartono diminta menempati gedung itu oleh RM Soerjodipoetro, adik Ki Hajar Dewantara.
Gedung inilah yang menjadi saksi kesaktian Sosrokartono yang mengobati pasiennya hanya dengan mencelupkan telunjuk ke dalam air di gelas. Jari telunjuk itu adalah simbolisasi dari huruf alif (١) yang jadi ciri khas beliau saat mengobati orang sakit. Kenapa huruf alif?
Ja’far Ash-Shadiq ra (dalam Schimmel, 1996: 230) mengungkapkan: ”Tuhan membuat huruf Hijaiyyah sebagai induk segala benda; indeks dari segala sesuatu yang bisa dilihat... Segala sesuatu bisa diketahui melalui huruf.”
Kemampuan ajaib Sosrokartono inilah yang membuat ia digelari persoonlijke magnetisme oleh seorang dokter yang anak kerabatnya disembuhkan oleh Sosrokartono ketika masih melanglang buana di Eropa.
Menurut Budya Pradipta, Ketua Paguyuban Sosrokartanan Jakarta dan dosen tetap bahasa, sastra, dan budaya Jawa, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, mengatakan, “Darussalam adalah bekas gedung Taman Siswa, Bandung. Eyang Sosro di sana karena diminta menjadi pimpinan Nationale Middelbare School (Sekolah Menengah Nasional) milik Taman Siswa.”