Seharusnya Zelensky dapat dengan matang dalam menganalisa langkah Ukraina utnuk bergabung dengan NATO dan UE sebagai sebuah langkah yang tepat.
Namun ternyata langkah tersebut justru ibarat pisau bermata dua yang saat ini membuat masyarakatnya menderita dan mengungsi ke banyak negara penyangga yang ada di sekitaran mereka.
Membaca geopolitik yang ada, seharusnya Zelensky dapat memainkan peran di kawasan sebagai pihak yang benar-benar dibutuhkan kedua pihak penguasa di Eropa yakni Amerika Serikat dan Rusia.
Andai saja Zelensky tidak condong memihak ke salah satu pihak seperti saat ini, mungkin akan sangat banyak dampak positif yang akan dinikmati oleh Ukraina.
Zelensky sebenarnya dapat mencontoh dan meniru gaya berpikir seorang pemimpin yang besar di era 40--60an yakni Bung Karno atau Soekarno yang memainkan perang dingin blok barat dan timur saat itu dengan mendirikan sebuah blok baru yakni Gerakan Non Blok.
Dengan ingin bergabungnya Ukraina dengan NATO membuat Rusia geram dan justru menegaskan pada dunia kemana arah politik Zelensky yang membawa negaranya menjauh dari pengaruh Rusia.
Hal ini sangat disayangkan karena dari letak wilayah, bahasa, serta pengaruh para oligarki atau pengusaha-pengusaha konglomerat di Ukraina yang lebih condong ke Rusia.Â
Bahkan banyak sekali masyarakat Ukraina yang berbahasa Rusia dalam kehidupan sehari-harinya membuat peran dan pengaruh Rusia di Ukraina tidak dapat terlepaskan.
Dengan memainkan peran geopolitik yang netral dan memihak pada kedua belah pihak, dimana bisa saja Zelensky membagi Ukraina - yang wilayahnya cukup besar ini - untuk sebagian (wilayah barat) lebih dipengaruhi barat dan sebagian lagi (wilayah timur) dipengaruhi Rusia.Â
Seandainya saja Zelensky dapat berpikir dan memosisikan geopolitik negaranya seperti itu, tentunya kerugian dan dampak yang mereka rasakan saat ini tidak akan terjadi.
Itulah mengapa untuk menjadi seorang pemimpin tidaklah mudah. Hanya sedikit dari mereka yang dapat berhasil tanpa begitu banyak pengalaman dan proses politik sebelumnya.