Tindakan pengesampingan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dipandang merupakan tindakan yang sah dan wajar karena selain pembentuk undang-undang sebagai penjelmaan atas kehendak rakyat yang dianggap diatas segalanya, juga karena berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (ius constitutum) di Indonesia sampai dengan saat ini tidak ada satu norma yang menyatakan secara tegas bahwa pembentuk undang-undang wajib secara mutlak mengikuti Putusan Mahkamah Konstitusi.Â
Selain itu sifat Putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak dapat dilaksanakan sendiri (non-self implementing) merupakan faktor pendukung lainnya sehingga terjadi pengesampingan oleh Pembentuk Undang-Undang. Â
Satu sisi lainnya, pengesampingan Putusan Mahkamah Konstitusi oleh pembentuk undang-undang akan mempengaruhi kewibawaan suatu putusan yang dikeluarkan badan peradilan. Kewibawaan putusan yang dikeluarkan oleh badan peradilan sesungguhnya terletak pada kekuatan mengikatnya, apalagi Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang tidak hanya mengikat para pihak (inter parties) tetapi juga mengikat siapapun (erga omnes) termasuk pembentuk undang-undang.
Dikatakan mengikat siapapun (erga omnes) karena yang menjadi objek peraturan perundang-undangannya adalah yang bersifat abstrak atau mengatur kepentingan umum. Asas erga omnes tercermin dari ketentuan yang menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung dapat dilaksanakan dengan tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang kecuali peraturan perundang-undangan mengatur lain.
Perihal sifat final dan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi kerap menjadi bahan perbincangan kalangan hukum yaitu perihal munculnya kata "mengikat" yang menyertai kata "final" tersebut. Ada yang mempersoalkan dengan alasan bahwa Pasal 24 C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 tidak menyebutkan kata "mengikat" namun hanya menyebutkan kata "final" saja.
Tidak disebutkannya kata "mengikat," sesungguhnya bukan merupakan persoalan substansial karena tentunya setiap putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap pasti memiliki sifat mengikat. Secara akademik, hal itu merupakan konsekuensi yuridis untuk menekankan bahwa putusan hakim atau pengadilan wajib ditaati.
Putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap memiliki kekuatan hukum mengikat (legal binding-power) sebagaimana halnya undang-undang. Cicero mengumpamakan hakim sebagai "hukum yang berbicara" dan hukum atau undang-undang itu disebut sebagai "hakim yang diam."
Dengan demikian, adanya kata "mengikat" yang menyertai kata "final" itu tidak lain adalah penegasan bahwa suatu putusan yang telah dinyatakan bersifat final maka padanya sekaligus melekat sifat mengikat secara hukum. Artinya, tanpa perlu disertai kata "mengikat" itu pun sesungguhnya suatu putusan yang tegas dinyatakan bersifat final dengan sendirinya memiliki sifat "mengikat".
Selain itu fakta empirik yang berlaku universal bahwa tidak ada satu putusan mahkamah konstitusi di negara-negara dunia ini yang sifatnya tidak final.Â
Ketentuan di atas merefleksikan kekuatan hukum mengikat dan karena sifat hukumnya secara publik maka berlaku pada siapa saja, tidak hanya berlaku bagi para pihak yang berperkara. Asas putusan Mahkamah Konstitusi berkekuatan hukum tetap dan bersifat final sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 24 C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan disebutkan dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyiÂ
"Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh."
Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). -RM.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H