Mohon tunggu...
Reno Maratur Munthe
Reno Maratur Munthe Mohon Tunggu... Penulis - Reno

Munthe Strategic and International Studies (MSIS)

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kesenjangan Dalam Hukum Tanah Nasional

7 November 2021   03:29 Diperbarui: 20 November 2021   17:28 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hak ulayat masyarakat hukum adat di Indonesia masih eksis keberadaanya seperti di wilayah Sumatera Barat. Hal tersebut dapat dilihat dalam Penjelasan Umum Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Sumatera Barat Nomor 16 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya bahwa: 

"Di Provinsi Sumatera Barat dalam kenyataannya masih diakuinya tanah-tanah dalam lingkungan masyarakat hukum adat yang pengurusan, penguasaan dan penggunaannya didasarkan pada ketentuan hukum adat setempat dan diakui oleh para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan sebagai tanah ulayatnya, sehingga dikenal adanya tanah ulayat Nagari, tanah ulayat suku, tanah ulayat kaum dan tanah ulayat Rajo yang diatur menurut adat yang berlaku pada tiap Nagari yang ada di Sumatera Barat".

Pemberlakuan hukum adat Sumatera Barat (tanah ulayat) dalam Hukum Tanah Nasional secara implisit telah disebutkan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang berbunyi "Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi."

Pada tingkatan peraturan pelaksananya telah disahkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang merupakan perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, namun pada Peraturan Pemerintah ini tanah ulayat tidak termasuk obyek pendaftaran tanah, hal ini dikaitkan dengan Pasal 9 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah ini yaitu ayat (1) bahwa obyek pendaftaran tanah meliputi: 

a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai, b. Tanah hak pengelolaan, c. Tanah wakaf, d. Hak milik atas satuan rumah susun, e. Hak tanggungan, f. Tanah negara. Ayat (2) bahwa dalam tanah negara sebagai obyek pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, pendaftarannya dilakukan dengan cara membukukan bidang tanah yang merupakan tanah negara dalam daftar tanah. 

Disini dapat dilihat bahwasanya kepastian hukum bagi tanah ulayat dalam pendaftaran tanah tidak ada. Proses pengakuan haknya dihormati namun dalam tataran pelaksananya berupa bukti sertifikat sebagai proses pendaftaran tanah tidak diakui. Sehingga tanah ulayat masyarakat adat antara hidup dan mati. 

Hal ini tentu amat disayangkan karena masih banyak tanah ulayat masyarakat adat diberbagai daerah di Indonesia apalagi di daerah Provinsi Sumatera Barat. 

Dua tahun setelahnya, pada tanggal 24 Juni 1999 telah disahkan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Dalam Pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. 

Sedangkan yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat sesuai pasal 1 ayat (3) adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.

Sebagaimana telah diterangkan diatas, bahwasanya tanah ulayat bukanlah merupakan obyek pendaftaran tanah, namun berdasarkan ketentuan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 pada Pasal 4 ayat (1) dan (2) ini menyebutkan tanah ulayat dapat dikuasai oleh perseorangan dan badan hukum dengan cara didaftar sebagai hak atas tanah apabila dikehendaki oleh pemegang haknya yaitu warga masyarakat hukum adat menurut kententuan hukum adatnya yang berlaku. 

Kemudian oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan bisa menguasai tanah ulayat setelah tanah tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat itu atau oleh warganya sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku.

Dengan demikian, secara tegas dapat diketahui tanah ulayat bisa dikuasai oleh perseorangan dan badan hukum, padahal tanah ulayat merupakan hak ulayat masyarakat hukum adat yang tidak bisa dibagi dan harus dihormati demi persatuan bangsa serta tanah air tercinta sesuai dengan amanat UUPA Pasal 3. Hal ini tentu membuat bingung masyarakat hukum adat dengan tidak adanya kepastian hukum bagi perlindungan hak mereka. 

Selanjutnya Pemerintah Daerah Sumatera Barat telah mensahkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya. Sebagai daerah yang masih banyak tanah ulayatnya tentu dibutuhkan peraturan daerah agar tidak terjadi konflik antar masyarakat mengenai tanah ulayat ini.

Melihat keunikan masyarakat serta tataran hukum adatnya yang ada di bumi Minangkabau bila dibandingkan dengan masyarakat adat pada daerah lain di Indonesia, yang masih kuat menjunjung moralitas disamping hukum itu sendiri. Pepatah Roma mengatakan, "Quid leges sine moribus", yang maknanya apa artinya undang-undang kalau tidak disertai moralitas? Dengan demikian, hukum tidak akan berarti tanpa dijiwai moralitas, hukum akan kosong tanpa moralitas. 

Masyarakat di Sumatera Barat terdiri atas wilayah yang disebut Nagari, berdasarkan ketentuan perda ini pasal 1 ayat (5) yang dimaksud dengan nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat dalam Provinsi Sumatera Barat yang terdiri dari suku dan kumpulan suku mempunyai wilayah dengan batas-batas tertentu.

 Dengan demikian, jenis tanah ulayat bagi masyarakat minangkabau dibagi 4 sesuai dengan Pasal 5 Perda ini yaitu tanah ulayat nagari, tanah ulayat suku tanah ulayat kaum dan tanah ulayat rajo. 

Dalam Pasal 1 perda ini diterangkan bahwa Tanah ulayat nagari adalah tanah ulayat beserta sumber daya alam yang ada diatas dan didalamnya merupakan hak penguasaan oleh ninik mamak kerapatan adat nagari (KAN) dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat nagari, sedangkan pemerintahan nagari bertindak sebagai pihak yang mengatur untuk pemanfaatannya. 

Tanah ulayat suku adalah hak milik atas sebidang tanah beserta sumber daya alam yang berada diatasnya dan didalamnya merupakan hak milik kolektif semua anggota suku tertentu yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh penghulu-penghulu suku. 

Tanah ulayat kaum adalah hak milik atas sebidang tanah beserta sumber daya alam yang berada diatasnya dan didalamnya merupakan hak milik semua anggota kaum yang terdiri dari jurai/paruik yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh mamak jurai/mamak kepala waris. 

Tanah ulayat rajo adalah hak milik atas sebidang tanah beserta sumber daya alam yang berada diatasnya dan didalamnya yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh laki-laki tertua dari garis keturunan ibu yang saat ini masih hidup disebagian nagari di Provinsi Sumatera Barat. 

Memang dalam masyarakat hukum adat minangkabau, penghulu dan mamak kepala waris punya kedudukan penting. Sehingga mereka mempunyai amanah untuk menjaga dan memelihara serta memanfaatkan tanah adat kaumnya untuk kebaikan mereka bersama.

Berdasar pada Pasal 1 perda ini dijelaskan yang dimaksud dengan penghulu adalah pemimpin dalam suku ataupun kaum, ia adalah pemegang hak ulayat atas sako (gelar kebesaran pemimpin) dan pusako (harta pusaka berupa tanah ulayat dan harta benda). Sedangkan mamak kepala waris adalah laki-laki tertua atau yang dituakan di jurai/paruik dalam suatu keluarga. 

Perda ini secara jelas menyebutkan adanya pendaftaran atas tanah ulayat bahkan menjadi Bab khusus dalam perda ini yaitu Bab V Pasal 8 dengan menerangkan siapa-siapa yang menjadi pemegang hak tanah ulayat dimasing-masing nagari, suku, kaum dan rajo. 

Yang amat disayangkan dalam Pasal 8 huruf e menyebutkan bahwa penguasa dan pemilik tanah ulayat bisa memberikan bagian tanah ulayat kepada perorangan dan bisa didaftarkan karena dikerjakan secara terus menerus dan menjadi sumber kehidupan.

Untuk mencapai suatu ketertiban dalam masyarakat, diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat. Yang perlu dipahami bersama, sengketa/konflik akan rawan terjadi apabila tidak ada kepastian hukum berupa aturan hukum yang jelas mengenai tanah ulayat. 

Dari sekian pasal dalam perda ini, posisi penghulu dan mamak kepala waris akan menjadi rawan godaan bagi pihak manapun untuk menguasai tanah ulayat, meskipun memang dapat sekilas dipahami perda ini bertujuan agar para investor/pengusaha tidak perlu takut menanamkan modal usaha/investasinya di tanah minangkabau akibat trauma dengan sengketa tanah ulayat yang tidak berujung di Sumatera Barat, dan pemerintah daerah Sumatera Barat seolah-olah lepas tangan dalam menghadapi permasalahan yang ada dengan menyerahkan persoalan sengketa ini ke pengadilan bila tidak bisa diselesaikan secara musyawarah dan mufakat ditingkat KAN. 

Jikalau memang perda ini dimaksudkan untuk menyelesaikan sengketa maka seharusnya didominasi pasal-pasal yang menghormati tanah ulayat serta jangan sampai tanah ulayat sebagai pemersatu kemenakan-kemenakan atau anggota keluarga-anggota keluarga masyarakat hukum adat dibagi-bagi bahkan menjadi hak milik perseorangan dan badan hukum dan diobral hingga identitas lokalnya mulai luntur dan satu persatu anggota keluarga dan kemenakan pergi merantau dan tidak mengurus tanah ulayat tersebut. 

Hukum sebagai kaidah sosial, tidak lepas dari nilai (values) yang berlaku pada suatu masyarakat. Bahkan dapat dikatakan, bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. 

Dengan dikeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan tersebut dari mulai peraturan menteri hingga peraturan daerah dan gubernur, apakah akan menjamin eksistensi tanah adat untuk masa yang akan datang. 

Hal ini perlu dijawab kalau memang tanah ulayat perlu dipertahankan di bumi Indonesia ini bahkan di Sumatera Barat. Jangan sampai tanah ulayat menjadi bahan komoditas jual beli dan transaksi bagi pihak-pihak yang ingin menguasai tanah ulayat yang pada ujungnya untuk dimiliki secara pribadi, apalagi penghulu dan mamak kepala warisnya tidak paham dengan aturan hukum tanah ulayat akan mudah tergoda dengan bujukan dan rayuan agar mau menjual tanah milik kaumnya.

Dan memang di Sumatera Barat tidak ada tanah yang tak bertuan, pasti ada pemiliknya walaupun diujung gunung atau sungai, baik itu milik perseorangan dan badan hukum bahkan mayoritasnya adalah tanah ulayat yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat minangkabau yang terdiri dari suku-suku, kaum-kaum dan nagari-nagari. 

Konsekuensi amanat Undang-Undang Pokok Agraria yang mana seharusnya tanah ulayat tersebut harus dijaga sedemikian rupa tidak berkesesuaian dengan peraturan pelaksana dibawahnya yang malah mengobral habis tanah ulayat agar cepat punah dari bumi Indonesia, dan yang tersisa adalah hak-hak milik pribadi yang membuat masyarakat Indonesia terutama minangkabau kehilangan identitas komunalnya demi menjaga persatuan dan kekeluargaan.

Secara khusus, Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18B ayat (2) menyatakan bahwasanya Negara mengakui dan menghormati Kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisional sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Demikian pula dengan masayarakat Minangkabau. 

Bagi masyarakat Minangkabau, tanah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari mereka. Sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya, mayoritas masyarakat adat minangkabau masih berkaitan dengan tanah yaitu bertani, berkebun dan beternak. Sehingga ketergantungan ini beralasan penting bagi masyarakat minangkabau untuk menjaga status tanah ulayatnya. 

Sekiranya tanah tersebut dikelola oleh para investor tanpa melibatkan masyarakat hukum adat, maka ini merupakan upaya penghapusan status kepemilikan tanah ulayat bagi masyarakat minangkabau perlahan-lahan dan pada akhirnya mematikan kehidupan mereka dan membuat satu keluarga, satu suku dan satu kaum tercerai berai pergi kedaerah lain atau merantau akibat tanah ulayatnya hilang atau beralih kepada orang lain.

Memang diakui, kalau tanah itu dikelola masyarakat hukum adat tidak akan menghasilkan nilai manfaat bagi daerah. Akan tetapi bagi masyarakat hukum adat minangkabau setempat hal itu merupakan sumber penghidupan mereka dan mereka tidak punya keahlian yang lain dan akan tetap menjadi budak ditanah sendiri. 

Serta juga, yang paling utama, tanah bagi masyarakat minangkabau lambang harga diri dan lambang kehormatan kaum adatnya, keluarganya dan sukunya. 

Dan ini yang akan menjadi bencana sengketa konflik tanah ditingkat horizontal apabila penguasaan tanah adat oleh pihak-pihak lain diluar masyarakat hukum adat minangkabau dilakukan dengan cara penghilangan status tanah adat itu sendiri, bahkan sekarang ini banyak tanah ulayat sudah menjadi tanah milik pribadi-pribadi atau individu-individu dan badan hukum.

Tanah Ulayat Minangkabau dalam konsep kepemilikan termasuk dalam arti sempit yaitu berupa harta kekayaan yang tergolong pusaka tinggi yang mempunyai kekuatan berlaku ke dalam maupun keluar baik dapat dimanfaatkan oleh anggota masyarakatnya ataupun diluar masyarakatnya dengan pemberian berupa adat diisi limbago dituang (suatu pemberian berupa uang oleh pihak ketiga yang mengelola dan menguasai tanah ulayat, kepada penguasa dan atau pemilik ulayat berdasarkan kesepakatan masyarakat adanya.). 

Asas utama tanah ulayat Minangkabau adalah jua ndak makan bali, gadai ndak makan sando (tanah ulayat tidak dapat dijual dan digadai), namun dalam keadaan mendesak dapat dialihkan/dipindahtangan sementara seperti Mait terbujur di tengah rumah (mayat terbujur di tengah rumah), Rumah gadang ketirisan (rumah adat yang bocor atapnya atau rusak), Gadih gadang indak balaki (gadis dewasa yang belum bersuami), atau Membangkik batang terandam (menegakkan gelar pusaka atau mengangkat penghulu). Untuk dapat melakukan pemindahtangankan/pengalihan tanah ulayat tersebut harus dengan kesepakatan dari seluruh anggota kaum yang bersangkutan.

Jika hal seperti ini terus dibiarkan, kedepannya tanah ulayat hanya diingat sebatas nama saja atau sekedar bahan kajian/penelitian tanpa memiliki status kepastian hukum yang jelas serta akan menghilang perlahan-lahan dari bumi Minangkabau di Sumatera Barat. Hal seperti ini tentu tidak sejalan dengan amanat Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. 

Oleh sebab itu, pemberlakuan hukum adat Sumatera Barat dalam hukum tanah nasional perlulah dibenahi bersama. Kesenjangan atau permasalahan dengan diberlakukannya hukum adat di Sumatera Barat juga dapat diminimalisir. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun