Pertemuan yang aneh dan sangat menyebalkan. Kami berkenalan secara tidak langsung. Di sebuah acara penutupan masa orientasi yang nggak penting. Dalam hiruk pikuk manusia lulusan SMP yang baru memasuki SMA. Sangat norak dan kekanak-kanakan. Banyak yeal-yeal diciptakan oleh senior yang kurasa hanya teriakan nggak jelas, kosong tanpa maksud. Sungguh acara yang tak produktif. Dia berdiri dihadapan podium atas desakan seorang guru. Sepertinya si guru sangat mengenal murid baru itu. Dengan sangat antusias diperkenalkanlah si bocah menyebalkan itu. Seorang murid baru dengan segudang prestasi membanggakan di bidang bela diri. Kebetulan guru itu teman satu perguruan karatenya. Ah...!!! terlihat sekali raut wajah congkak. Sebuah nepotisme pendongkrak popularitas. Virus iri dan dengki merasuki diri tanpa sebab yang pasti. Padahal kalau dipikir-pikir nggak ada yang salah. Satu-satunya yang patut disalahkan hanya sikap buruk dalam hatiku.
Tiga tahun telah berlalu. Kini anggapan burukku tentangnya telah sirna. Kami telah saling mengenal satu sama lain. Tak sekedar perkenalan di atas podium. Boleh dibilang kami cukup akrab. Saat itu dia jadi classmateku.
Ternyata dia orangnya baik dan cerdas. Meski tingkah sombongnya kerap muncul tatkala mendapat sedikit pujian. Wajar saja! Dia memang murid berprestasi, otaknya sangat brilian. Kalau kulihat guru-guru di sini menganggapnya anak emas yang harus selalu digosok dan di sayang biar kemilaunya tak pudar. Sedang aku dan teman-teman yang lain hanyalah gelas kosong yang wajib diisi ilmu setiap hari tanpa peduli berapa kapasitas gelas itu, tumpah bocor bahkan menguap tak ada yang peduli.
Namanya Doni, anak laki-laki pertama dari keluarga Sudiro seorang anggota TNI yang tersohor di desanya. Tak hanya cerdas, dia bahkan nyaris sempurna. Banyak keahlian dia kuasai. Olahraga, tak diragukan lagi kehebatannya mulai darikarate, sepak bola, renang, bulutangkis hingga basket dengan mudahnya dia kuasai. Dalam bidang seni dia lumayan, terbukti dengan terpilihnya dia sebagai salah seorang personil band sekolah. Permainan drumnya mampu menggebrak semangat. Wajahnya pun keren dengan tinggi kurang lebih 175 cm, rambut acak-acakan dan kulit kuning langsat khas orang jawa. Betapa tampannya!
Namaku Syukur
Namaku Syukur. Sebuah nama sederhana dengan arti luar biasa. Mudah mengucapkannya namun susah mengaplikasikannya. Banyak orang mengatakan nama ini adalah nama udik, terkesan kampungan dan sangat konvensional. Memang nama Syukur tak sekontemporer Justien Beiber atau Lady Gaga. Setidaknya inilah nama pemberian orangtuaku yang harus disyukuri. Nama adalah doa, orangtuaku berharap agar aku selalu bersyukur setiap waktu. Jika lupa setidaknya nama inibisa menjadi reminder yang super jelas dan mumpuni.
Sayang seribu sayang, nama ini tak selaras dengan kepribadianku yang selalu mengeluh dan hobi berkeluh kesah. Entah, apa dosa orangtuaku sehingga doa mereka berwujud terbalik dalam kehidupan nyata. Sebenarnya tak ada yang salah dengan doa dan orangtua, akulah yang tak mampu mengemban makna yang terkandung didalamnya. Ini bukan tuntutan sebuah skenario bahwa pemilik nama Syukur harus bersyukur tapi ini adalah amanat untuk segala nama di dunia bahkan yang tak bernama sekalipun.
Kehidupanku berlangsung biasa-biasa saja. Lahir, tumbuh dan dewasa di lingkungan yang biasa. Di sebuah rumah bermodel joglo jawa timuran yang bersanding sederhana dengan perkampungan khas pinggiran sungai Mahakam Samarinda yang sering meluap tatkala hujan tiba. Kampung ini sangat bersahaja dan kental dengan kehidupan religinya. Namun sayang salah seorang pemudanya berkelakuan bejat, dan dia adalah saya.
Hidup tak bisa diprediksi secara pasti hal yang dulu kuanggap nista ternyata membawa kenikmatan tiada tara. Sungguh aku telah berdosa karena mencintainya. My world is too GJ, apakah aku gay?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H