Mohon tunggu...
renny dewi
renny dewi Mohon Tunggu... -

akademisi bidang teknologi informasi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pak Menteri, Pelaksanaan Ujian Nasional Itu Mudah

4 Mei 2013   13:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:07 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin saya termasuk segelintir orang yang masih pro dengan adanya ujian nasional (UN). Karena saya optimis, bahwa suatu negara harus punya standar “kepintaran” siswa, tanpa mengesampingkan penilaian guru yang sudah membimbing bertahun-tahun. Dengan catatan, pemerintah harus bisa memberikan fasilitas standar dan kemampuan guru yang merata hingga ke pelosok-pelosok daerah.

Tahun 2013 ini mungkin rekor pelaksanaan UN terburuk sepanjang era Presiden SBY. Tetapi justru pengalaman seperti ini yang membuka mata kita bahwa suatu sistem itu tidak ada yang abadi. Bukan justru mengolok-olok atau mengambinghitamkan yang lain. Dengan harapan yang tinggi, Pak Mendikbud, Prof M.Nuh, ingin memberantas yang namanya kecurangan UN dengan menyediakan 20 macam soal. Namun ternyata juga masih ada saja kesalahan teknis di lapangan.

Mari kita simulasikan pelaksanaan UN dalam estimasi angka.

Ada 33 provinsi di Indonesia. Setiap satu provinsi ada satu orang dari Kemendikbud dan dua orang dari pihak yang ditunjuk Kemendikbud sebagai tim ad-hoc, bisa dari LSM, atau ormas-ormas lain yang bergerak dibidang pendidikan. Sehingga jika ditotal ada minimal 99 orang yang dilibatkan dalam pelaksanaan UN mulai dari hulu (Kementerian) hingga hilir (Polsek).

Sedangkan Kepala sekolah tidak boleh diam saja. Jika misalkan tanggal 15 April 2013 sudah dinyatakan sebagai hari UN untuk tingkat SMA, maka setidaknya 1 atau 2 hari sebelum pelaksanaan UN, Kepsek harus MEMASTIKAN bahwa soal untuk sekolah yang bersangkutan sudah ada di kantor Polsek terdekat. Memang semuanya harus PROAKTIF. Karena UN itu acara rutin tahunan, artinya 1 tahun hanya sekali demi pendidikan bangsa. Sayangnya belum banyak yang berpikir demikian.

Jika terjadi kesalahan, Menteri tinggal tunjuk hidung saja. Daerah mana yang kacau, kekacauannya seperti apa, dan lain-lain. Tentu hal ini disertai dengan adanya bukti-bukti pendukung (semacam berita acara), agar tidak terkesan subjektif dan terhindar dari tuduhan/penyimpangan yang bersifat teknis. Kuncinya, libatkan semua elemen masyarakat, supaya mereka tahu permasalahan pelik tiap tahun yang dihadapi oleh pemerintah tidak semudah membalikkan tangan.

Sedangkan untuk yang koar-koar menyuarakan UN dihapus, silahkan dipikirkan solusi terbaik untuk pemerintah seperti apa dan apakah mampu menjamin pendidikan bangsa akan lebih baik jika UN dihapuskan. Salah satu pemerhati pendidikan, Republik Belajar, mempunyai pandangan lain dalam memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia kini.

Referensi lain:

http://republikbelajar.org/ --> Belajar Menyenangkan Era Digitalisasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun