Mohon tunggu...
Agustina Reni Suwandari
Agustina Reni Suwandari Mohon Tunggu... Guru - SMP Stella Duce 1 Yogyakarta

Guru Bahasa Inggris dan senang menulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kapan Berkemah (Lagi)?

27 Agustus 2024   14:33 Diperbarui: 31 Agustus 2024   17:03 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tendaku Berdiri Kelas 7 Parikesit. Dok. Pribadi

"Ma'am, apakah soblok (tempat menanak nasi) nanti perlu diberi air?" tanya seorang siswi saat saya melewati tendanya menuju kamar mandi. 

Dia sendirian sedang mengemban tugas yang diberikan. Teman-temannya satu tenda sedang berlarian mendengar peluit yang dibunyikan. Tanda berkumpul harus dilaksanakan.

"What do you mean?" Saya kurang mengerti apa maksudnya.

"Baru saja masak nasi setengah matang dan akan saya pindahkan ke soblok. Nah, sobloknya nanti harus diberi air atau tidak, Ma'am?"

Saya tersenyum geli mendengar pertanyaannya. Ah, generasi alpha. Apa-apa tersedia dan terbiasa dengan satu click saja.

"Kalau tidak diberi air, nanti nasinya bisa gosong dong."

Anak itu pun tersenyum sendiri dengan pertanyaannya. Akhirnya saya tunjukkan caranya seberapa banyak air yang diperlukan untuk menanak nasi menggunakan soblok.

Pernah mengikuti Jambore Nasional 1981 di Cibubur, Jakarta juga beberapa jambore daerah lainnya, berkemah bagi saya menjadi sesuatu yang indah. Tahun 1981, saat zaman belum ada HP -telepon rumah saja satu kampung yang mempunyai baru satu-dua orang, khususnya di kota kelahiran saya- media massa masih sangat terbatas. 

Selain koran dan majalah yang tentu saja terbatas oplah, saat itu hanya ada TVRI dan RRI juga sedikit radio swasta saja yang membuat pengetahuan saya sebagai siswa SMP menjadi tidak leluasa. 

Salah satu momen  yang tersimpan hangat di kepala adalah ketika saya dan pramuka lain sedang berjalan kembali ke kemah sehabis mengikuti upacara pembukaan JAMNAS di Cibubur. 

Di belakang,  terdengar suara yang meminta kami memberi jalan karena kehadiran orang besar. Ternyata beliau  adalah (alm) Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang kala itu hadir sebagai Ketua Kwartir Nasional (Kwarnas) Gerakan Pramuka. 

Beliau juga dinobatkan sebagai Bapak Pramuka Indonesia. Ah, saya hanya mengetahui beliau lewat foto yang terpampang di dinding sekolah ketika SD. Seandainya itu terjadi setakat ini sudah bisa dibayangkan apa yang biasanya terjadi. Dan foto itu pasti akan tersimpan abadi.

14 Agustus 2024, hari pandu se-Indonesia yang baru saja berlalu membuka kembali kenangan akan itu. 

Melihat anak-anak di mana-mana kompak memakai seragam pramuka  menjadi pemandangan yang tak biasa. Gerakan kepanduan bukan hanya milik Indonesia. Gerakan ini dirayakan di seluruh dunia, pada 22 Februari tepatnya. 

Perayaan ini juga dilangsungkan untuk memperingati sang pendiri yakni Baden Powel, Bapak Pandu dunia. Dari sinilah Gerakan Pramuka di Indonesia diadopsi dan diadaptasi.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2010, tujuan Gerakan Pramuka adalah agar setiap anggotanya memiliki kepribadian yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, berjiwa patriotik, taat hukum, disiplin, menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa, dan memiliki kecakapan hidup sebagai kader bangsa dalam menjaga dan membangun NKRI, mengamalkan Pancasila, serta melestarikan lingkungan hidup (pramuka.or.id). Jelaslah bahwa Gerakan Pramuka bukanlah gerakan yang tanpa arti. Ada sesuatu yang diperjuangkan di sana.

Menarik ketika kegiatan pramuka di Kurikulum Merdeka setakat ini adalah kegiatan ekstrakurikuler yang wajib disediakan oleh sekolah tetapi tidak wajib diikuti oleh peserta didik alias sukarela (kemdikbud.go.id). Yang berwenang dan jajarannya pastilah mempunyai alasan sendiri mengapa kebijakan ini berganti.  

Ah, saya hanya guru SMP yang kadang memiliki tanya. Untuk apa kwarnas, kwarda, kwarcab dan gudep ketika para pandu semakin sedikit terlihat? Adalah fakta ketika pramuka tidak menjadi kegiatan wajib, hanya sedikit siswa yang mengikutinya. 

So, selama ini terpaksa? Barangkali iya jawabnya. Tapi bukankah ada saying  yang mengatakan paksa supaya bisa dan menjadi terbiasa dan akhirnya akan menjadi budaya?

Menoleh ke belakang tentang gerakan kepanduan, kegiatan pramuka yang identik dengan tali temali, sandi morse, semaphore atau rumput, membuat dragbar atau bahkan menyusuri sungai atau memanjat tebing, sudah semestinya disesuaikan dengan perkembangan zaman.

Kasus-kasus seperti menyusur sungai  yang seketika banjir karena musim hujan dan tak sedikit memakan korban,  jurit malam  di mana para pramuka berjalan di tengah malam melewati kuburan yang konon kabarnya.

Bahkan ada yang kesurupan dan kegiatan lain yang membahayakan, semestinya bisa dialihkan dalam kegiatan-kegiatan yang lebih mendidik sesuai dengan tujuan gerakan kepanduan.  Kasus soblok di atas akan menjadi bagian cerita  yang tak terlupakan. 

Begitu juga nasi yang menjadi gosong atau bahkan masih keras untuk disantap karena kurang matang, atau sayur yang terlalu asin atau bahkan hambar rasa karena kurang garam. 

Mendirikan tenda tidak semudah yang dibayangkan. Bukan hanya sekadar mempraktikkan tali temali sebagai salah satu kegiatan yang pernah diajarkan, tetapi tentang nilai kehidupan yakni bekerja sama dan memperhitungkan agar tenda dapat berdiri kokoh dan kencang supaya tidak roboh ketika angin bertiup kencang atau patok terantuk kaki. 

Belum lagi adu argumen karena masing-masing mempunyai pendapat sendiri dan merasa lebih benar. Sekalipun badan telah berpeluh, tetapi pramuka tak boleh gampang mengeluh. 

Value yang luar biasa. Memasak nasi diperkemahan tentu saja berbeda dengan menanak nasi di rumah yang sekali pencet semua teratasi dengan takaran yang memang sudah disiapkan. Belum lagi berbagi tempat tidur yang biasanya di rumah beralaskan matras empuk dalam kamar ber-AC. 

Dalam perkemahan, mereka harus berdingin-dingin ria atau bersumuk-sumuk (gerah karena panas) bersama teman sebaya di dalam tenda.

Belum lagi dengkuran teman atau posisi tidur yang malang melintang menggusur teman-teman satu tenda. Semua dinamika kehidupan mini muncul di sana. 

Masih tambah pula drama-drama yang dimainkan teman sebaya karena mereka terbiasa dengan budaya keluarga berbeda-beda yang kadang kala semakin membuat teman setenda kesal rasanya.  

Perkemahan pramuka membawa cerita yang tidak biasa dan akan menjadi kerinduan ketika kegiatan pramuka tak lagi wajib ada. Apakah kegiatan-kegiatan yang biasa dilakukan tak lagi berterima ketika semua tersedia? Untuk apa susah payah menanak nasi memakai soblok? 

Bukankah sudah ada teknologi sebagai pengganti? Sekali klik, tinggalkan dan nasi pun segera terhidang. Dragbar untuk apa, ketika dengan sekali pencet ambulan pun tiba.

Tidur di atas tikar dan beralaskan tas sebagai penopang kepala, masih pula menikmati irama dengkur yang tak terukur, susah betul. Mengapa ini harus dilewati ketika pilihan yang lebih nyaman saja ada. 

Mengapa harus bersusah payah pula? Adakah itu yang terlintas dalam pikiran ketika kegiatan pramuka (berkemah) seolah terpinggirkan?

Dunia memang tak lagi sama. Tetapi dibalik itu semua, ada nilai-nilai kehidupan yang akan dibawa pulang dan menjadi pengalaman yang tak terlupakan. 

Nilai-nilai disiplin, mandiri, berdaya juang, berpikir kritis, bekerja sama, menghargai perbedaan, mencintai alam, dan tentu saja masih banyak nilai hidup lainnya menjadi nilai-nilai yang bisa dikembangkan dalam satu kegiatan, perkemahan pramuka. 

Di perkemahan yang (dulu) menjadi kegiatan wajib yang harus diikuti oleh seluruh siswa dalam pramuka kini menjadi kenangan yang berarti sekalipun hanya dalam kegiatan persami.

Ah... Rasanya kok ada yang hilang manakala kegiatan tersebut menjadi salah satu kegiatan ekstrakurikuler (saja) dan bukan lagi sebuah program yang diharuskan, di mana peserta didik bisa berkembang menjadi man for and with others dalam seragam coklat muda, coklat tua dan setangan lehernya.

Salam Pramuka!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun