[caption caption="Ilustrasi - membayar belanjaan di kasir (Kompas.com)"][/caption]Apa yang Anda ketahui mengenai alat tukar? Mayoritas dari Anda pasti akan menjawab uang. Ya, uang adalah alat tukar yang sah hampir di seluruh negara. Mata uangnya saja yang membedakan. Tapi, kebijakan yang baru-baru ini dibuat oleh pemerintah sepertinya membuat kita memiliki alat tukar baru, lho. Hmm, apa ya kira-kira?
Kebijakan yang memunculkan alat tukar baru adalah kebijakan diet plastik. Lho? Kenapa bisa? Memangnya ada hubungannya? Ya, antara ada dan tiada yang bisa diada-adain sih.
Semenjak pemerintah menetapkan peraturan diet plastik untuk mengurangi jumlah pemakaian plastik, minimarket dan pasar swalayan pun nurut dengan titah para pembuat kebijakan. Plastik yang tadinya fasilitas, kini berbayar Rp200,00/plastik. Dengan dipungutnya biaya, pemerintah berharap masyarakat mau membawa kantong sendiri agar penggunaan plastik dapat berkurang. Lalu, apa hubungannya dengan alat tukar?
Begini ceritanya. Kemarin pagi, seorang perempuan pergi ke sebuah minimarket yang identik dengan warna merah dan kuning. Ia berniat membeli susu kotak. Selesai berbelanja, ia pun bergegas ke kasir untuk menunaikan kewajibannya sebagai pembeli. Membayar.
“Rp11.200,00, Bu. Mau diplastikin?” ujar sang pramuniaga.
“Nggak usah, Mba,” ujar si pembeli sembari menyerahkan selembar Rp20.000,00.
Setelah menerima lembaran hijau itu, ia kembali berkata, “Bu, pake plastik aja ya. Kembaliannya nggak ada.”
Lah gitu?
Setelah permen yang sempat menjadi kembalian sebagai pengganti receh, sekarang plastik seharga Rp200 juga jadi pengganti kembalian ketika stok receh di laci kasir habis? Hahaha, kok lucu. Kebijakan diet plastik yang ditetapkan pemerintah agaknya jadi salah kaprah. Niat diet plastik dengan menetapkan plastik berbayar, malah kini diperjualbelikan sebagai kompensasi tak siapnya receh di meja kasir.
Duh, apa susahnya sih mengeluarkan uang Rp200,00? Cuma sedikit saja kok pelit banget. Kalau kata “seniman” angkutan umum, “Lima ratus, seribu yang diberikan toh tidak akan membuat Anda miskin.” Apa lagi hanya Rp200,00?
Sebenarnya, bukan masalah besar-kecilnya receh yang kita keluarkan. Ini tentang upaya masyarakat mendukung kebijakan pemerintah mengurangi plastik demi bumi kita juga. Kalau pemahaman tentang kepedulian lingkungan tidak tertanam, bagaimana aturan pemerintah mau berjalan? Apalagi jika kebijakan itu berhasil menambah profit usaha. Otak dagang pun didahulukan. Soal bumi, bisalah belakangan.