Mohon tunggu...
Rena Widyawinata
Rena Widyawinata Mohon Tunggu... Editor - Health Tech SEO Editor | Novel Editor & Proofreader

Having special interests on health issues and willing to write a simple explanation about it. __________________________________________________________________________________________ Live what you love. But Love what you Live is the most important and hardest thing to learn and do. Visit my blog at: www.spicesofmind.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Sudah Tahu? Kita Punya Alat Tukar Baru!

17 Maret 2016   07:55 Diperbarui: 17 Maret 2016   13:26 1267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi - membayar belanjaan di kasir (Kompas.com)"][/caption]Apa yang Anda ketahui mengenai alat tukar? Mayoritas dari Anda pasti akan menjawab uang. Ya, uang adalah alat tukar yang sah hampir di seluruh negara. Mata uangnya saja yang membedakan. Tapi, kebijakan yang baru-baru ini dibuat oleh pemerintah sepertinya membuat kita memiliki alat tukar baru, lho. Hmm, apa ya kira-kira?

Kebijakan yang memunculkan alat tukar baru adalah kebijakan diet plastik. Lho? Kenapa bisa? Memangnya ada hubungannya? Ya, antara ada dan tiada yang bisa diada-adain sih.

Semenjak pemerintah menetapkan peraturan diet plastik untuk mengurangi jumlah pemakaian plastik, minimarket dan pasar swalayan pun nurut dengan titah para pembuat kebijakan. Plastik yang tadinya fasilitas, kini berbayar Rp200,00/plastik. Dengan dipungutnya biaya, pemerintah berharap masyarakat mau membawa kantong sendiri agar penggunaan plastik dapat berkurang. Lalu, apa hubungannya dengan alat tukar?

Begini ceritanya. Kemarin pagi, seorang perempuan pergi ke sebuah minimarket yang identik dengan warna merah dan kuning. Ia berniat membeli susu kotak. Selesai berbelanja, ia pun bergegas ke kasir untuk menunaikan kewajibannya sebagai pembeli. Membayar.

“Rp11.200,00, Bu. Mau diplastikin?” ujar sang pramuniaga.

“Nggak usah, Mba,” ujar si pembeli sembari menyerahkan selembar Rp20.000,00.

Setelah menerima lembaran hijau itu, ia kembali berkata, “Bu, pake plastik aja ya. Kembaliannya nggak ada.”

Lah gitu?

Setelah permen yang sempat menjadi kembalian sebagai pengganti receh, sekarang plastik seharga Rp200 juga jadi pengganti kembalian ketika stok receh di laci kasir habis? Hahaha, kok lucu. Kebijakan diet plastik yang ditetapkan pemerintah agaknya jadi salah kaprah. Niat diet plastik dengan menetapkan plastik berbayar, malah kini diperjualbelikan sebagai kompensasi tak siapnya receh di meja kasir.

Duh, apa susahnya sih mengeluarkan uang Rp200,00? Cuma sedikit saja kok pelit banget. Kalau kata “seniman” angkutan umum, “Lima ratus, seribu yang diberikan toh tidak akan membuat Anda miskin.” Apa lagi hanya Rp200,00?

Sebenarnya, bukan masalah besar-kecilnya receh yang kita keluarkan. Ini tentang upaya masyarakat mendukung kebijakan pemerintah mengurangi plastik demi bumi kita juga. Kalau pemahaman tentang kepedulian lingkungan tidak tertanam, bagaimana aturan pemerintah mau berjalan? Apalagi jika kebijakan itu berhasil menambah profit usaha. Otak dagang pun didahulukan. Soal bumi, bisalah belakangan.

Hmm, sedih memang jika maksud baik tak diterima dengan baik. Sedih jika lawan/rekan tak memiliki “rasa” yang sama dengan kita. Sedih jika hati tidak sekata. Ibarat cinta bertepuk sebelah tangan. Ibarat baru mau ngejelasin, sang pacar keburu jawab, “Nggak ada yang perlu dijelasin. Semua udah jelas.” Sakit. Sepertinya pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan harus memiliki “rasa” yang sama dulu tentang plastik dan bumi. Harus ada pemahaman yang sama dulu. Agar tak ada cinta yang tak terbalas. Agar tak ada pengkhianatan di balik kebijakan.

Ini ngomong apa sih?

Ya sudahlah daripada makin ngawur, mari sama-sama berdoa agar semakin banyak masyarakat yang memahami pentingnya diet plastik. Semoga makin banyak pula masyarakat yang mendukung program diet plastik. Semoga banyak masyarakat yang paham maksud pemerintah menetapkan kebijakan ini. Sehingga, esensinya benar-benar tertanam, bukan malah menjadikan plastik sebagai “barang jualan” baru.

 Ah, anak kecil ini omongannya sok benar. Tau apa memang?

Entah, tak tahu juga. Saya hanya tau akhir cerita “Pagi Hari di Minimarket” itu. Perempuan tadi tetap menolak tawaran “pembelian” plastik oleh sang kasir dan memilih memberikan recehan yang sudah ia siapkan untuk menggenapkan jumlah kembaliannya. Ih, pelit ya?

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun