"Kalau di Amerika dia bisa langsung dikenali sebagai orang Indonesia. Kalau di Indonesia pasti dia akan bisa langsung dikenali sebagai orang Jawa."
Tidak jauh beda dari suami si teman, teman-teman saya semasa kuliah juga berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka kebanyakan memang dari daerah Jawa. Karena logat dan cara bicaranya itu kadang kami bisa tahu dari Jawa mana mereka berasal.
Karena kedekatan serta niat bercanda, sering kali kami menyebut mereka dengan singkatan "Glodok" alias "Gerombolan Medok" atau "Rojali" alias "Rombongan Jawa Lieur (pusing)".
Herannya, meski di Bandung mereka juga tertular "teh", "euy", "tea" dan beberapa ungkapan bahasa Sunda lainnya, medoknya itu tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Tetap melekat.
Demikian juga kalau seorang dari daerah Sumatera pindah ke daerah lainnya. Tidak serta merta bisa menghilangkan logat aslinya. Bahkan ketika ia sudah lama di daerah perantauannya logat itu akan tetap terbawa. Sehalus apa pun. Beberapa daerah yang secara suara logat gampang diingat pasti akan lebih susah lagi "menyembunyikan" meski mungkin fasih juga berbahasa daerah peratanuannya kini. Contohnya, teman-teman "Rojali" dan "Glodok" saya itu. Apalagi di tempat bermukimnya sekarang masih terjalin hubungan dengan orang-orang lain satu daerah di tempat itu, pasti bahasa dan logatnya akan segera terpancing.
Barusan saya kedatangan seorang tamu dari Roma. Dia sudah empat tahun tidak pulang ke Indonesia. Maka ini adalah mudiknya yang pertama.
Dalam bayangan saya, dia akan berdialeg atau aksen orang Itali seperti ada teman saya yang lain. Tapi, begitu kami bertemu tadi saya kaget banget sebab yang saya dengar tetap logat aslinya. Orang Sunda asli. Kami jadi tertawa-tawa soal ini.
"Nggak akan beda saya mah, Mbak... Di Roma kan numpang belajar aja. Logat mah tetep sama atuh..." Katanya seraya tertawa-tawa melihat saya tidak menyangka. Katanya lagi, di sana pun logat itu tidak bisa dia hilangkan begitu saja meski dalam kondisi berada diantara teman-teman sekampus atau orang asli Itali.
Berbarengan dengan itu juga, saya kembali melihat Pak Jokowi yang sedang diwawancara wartawan CNN Â dengan menggunakan Bahasa Inggris. Orang banyak mungkin akan ngenyek (mengejek) logat beliau dan dianggap tidak bisa berbahasa Inggris dengan baik. Tapi, si wartawan nampak mengerti dan enjoy saja dengan logat Jawanya Bapak Presiden satu itu.
Jadi, saya pikir, tetaplah bangga dan tidak malu menunjukkan pada logat asli yang dimiliki bangsa ini justru menambah keunikan sekaligus mengenalkan pada dunia luar tentang siapa Indonesia itu sebenarnya. (anj 19)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H