Mohon tunggu...
Yohana Reni Anggraeni
Yohana Reni Anggraeni Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi FISIP UAJY

Mari Mengulik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Mengalah Tidak Menjadikan Mereka Kalah

18 Desember 2020   11:18 Diperbarui: 18 Desember 2020   11:29 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap budaya terlahir dengan latar belakang sejarah yang berbeda. Perbedaan inilah yang pada akhirnya akan membentuk sebuah keragaman. Namun, tidak menutup kemungkinan dari sebuah perbedaan budaya dan tujuan inilah menimbulkan konflik yang dapat menyerang semua pihak. Lalu bagaimana menanggapi konflik yang terjadi di tengah budaya yang multikultural ini ?

Bukan sesuatu hal yang tabu melihat budaya orang lain berbeda dengan budaya sendiri. Khususnya, kita sudah terlahir di tengah negara yang multikultural. Setiap budaya tentunya memiliki tujuan dan cara masing -- masing untuk mewujudkannnya. hal inilah yang seharusnya menciptakan sebuah keanekaragaman dan kekayaan budaya yang indah. Namun, dari banyaknya perbedaan inilah, sebuah konflik akan muncul dengan mudah. Konflik bisa terjadi antar budaya yang berbeda atau bahkan konflik di masyarakat dalam satu budaya.

Stella Ting-Toomey dan John Oetzel (2001) (dalam Baldwin, dkk., 2014, h. 281) menyatakan bahwa konflik muncul ketika sebuah komunitas budaya memiliki ketidakcocokan pada tujuan yang hendak diinginkan dimana akhirnya menyebabkan saling bergantung dan mengalami frustasi secara emosional. Banyak akar permasalahan yang akhirnya dapat menimbulkan konflik. Mulai dari adanya persaingan, adanya keinginan untuk menguasai pihak yang dianggap lebih bawah dari kendalinya, dan mungkin konflik juga muncul akibat ketika keduabelah pihak tidak dapat bekerjasama untuk mencapai tujuan nya.

Berdasarkan apa yang dipaparkan oleh BBC News.com dan Tirto.id mengenai yang terjadi pada masyarakat Adat di Kuningan, Jawa Barat akibat membangun makam untuk tokoh Sunda Wiwitan berujung dengan konflik. Dalam peristiwa mengenai penyegelan makam Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan menjadi salah satu contoh bahwa konflik muncul akibat adanya ketidakcocokan pada tujuan yang hendak masyarakat Sunda Wiwitan lakukan. 

Masyarakat setempat yang tidak termasuk kedalam masyarakat Adat Sunda Wiwitan memiliki kesalahpahaman persepi mengenai pembangunan makam tersebut. Terlihat dalam hal ini masyarakat Adat Sunda Wiwitan yang merupakan pribumi asli dari daerah Kuningan, Jawa Barat justru merasa terdiskriminasi di rumahnya sendiri.

Masyarakat adat di Kuningan, Jawa Barat memang masih kental dengan kebudayaan nya. Oleh karena itu, pembangunan makam untuk tokoh penting dalam masyarakat Ajaran Djawa Sunda (ADS) ini memang berbeda dengan makam masyarakat pada umumnya. Makam yang berbentuk menyerupai tugu dengan batu yang menjulang seperti menhir di desain khusus dengan makna tersendiri. Namun, tidak semua dapat menerima keputusan tersebut. 

Beberapa orang yang tidak mengenal budaya masyarakat Sunda Wiwitan menjadi salah kaprah dengan apa yang dilakukan oleh masyarakat adat ini. Dengan ketidakcocokan mereka terhadap apa yang masyarakat adat lakukan akhirnya berujung dengan demo secara besar-besaran. Karena, mereka yang tidak paham tujuan pembangunan makam tersebut memunculkan stigma negatif terhadap masyarakat adat dengan menyatakan makam tersebut akan menjadi tempat pemujaan.

Konflik yang terjadi ditunjukan melalui berbagai bentuk, diantaranya ekspresi verbal, perilaku sekelompok masyarakat intoleran seperti kerusuhan. Dalam menghadapi sebuah konflik yang terjadi, kita harus memapu mengelola konflik tersebut dengan bijak. Konflik harus bisa terselesaikan demi tercapainya kedamain. Pengelolaan konflik merupakan bagaimana cara kita memperlakukan konflik yang kita hadapi dengan tujuan meminimalisir ketegangan atau bahkan mengakhirinya dengan solusi. Pengelolaan konflik bisa dilakukan dengan berbagai cara. Namun, kunci utama dalam pengelolaan konflik adalah komunikasi yang terbuka antar duabelah pihak.

Berdasarkan Rahim (2002) dan Ting-Toomey (2005) (dalam Baldwin, dkk., 2014, h. 282) mengelola konflik terdapat beberapa hal yang dapat dilakuakan diantaranya :

1. Menghindari / menarik diri.

Pada situasi ini individu atau sebuah kelompok lebih memilih untuk tidak mengkonfrontasi pihak lain dan memilih untuk diam lalu menghilang. Keputusan menghindari masalah mungkin akan berhasil dalam jangka pendek namun tidak untuk jangka panjang.

2. Mengakomodasi (mengalah)

Pada situasi ini adanya pengorbanan yang dilakuakan oleh salah satu pihak demi terselesainya konflik dan tercipta hubungan yang harmonis. Pengorbanan yang dilakukan biasanya dengan cara mengabaikan prinsip demi kebaikan dengan tidak memikirkan ketidaknyamanan diri sendiri.

3. Mendominasi (Bersaing)

Prinsip ini menegakan menang-kalah, dimana harus terdapat satu pihak yang berhasil atau menang dan pihak lain harus mengakui kekalahannya atau gagal. Cara ini secara tidak langsung dapat merusak sebuah hubungan karena lebih ke arah egois menginginkan pihak lain mengalah.

4. Pendekatan kolaboratif (Pengintegrasian)

Pada situasi ini kedua belah pihak sama sama tidak dirugikan. Keduabelah pihak berkomitmen untuk bekerjasama dalam menyelesaikan konflik. Semua pihak mencari solusi yang saling menguntungkan untuk semunya.

5. Mengkompromikan

Pendekatan dilakukan dengan mencari solusi secara kolaboratif, biasanya dengan kedua belah pihak untuk mencapai tujuan namun tidak semuanya. Kompromi ini seringkali di dorong oleh kepentingan pribadi yang menguntungkan dirinya.

Ting -- Toomey (2005) (dalam Baldwin, dkk., 2014, h. 282) juga mengatakan bahwa dalam budaya kolektivisme dan budaya individualism memiliki perbedaan dalam mengelola konflik. Masyarakat dengan budaya kolektivisme cenderung memperhatikan orang lain dibanding dengan masyarakat individualisme yang cenderung mementingkan kebutuhan mereka sendiri. Masyarakat kolektivisme lebih memilih menghindari atau mengalah pada konflik yang dihadapi, sedangkan masyarakat dengan budaya individualistik akan lebih mendominasi dalam menyelesaikan konflik.

www.cnnindonesia.com
www.cnnindonesia.com
Hal ini juga terjadi pada masyarakat Adat Sunda Karuhun yang memiliki budaya kolektivis dimana saat mereka mengalami konflik tersebut, mereka lebih cenderung mengalah kepada mereka yang menuntut. Masyarakat adat mengambil keputusan untuk tidak melanjutkan terlebih dahulu pembangunan makam dan akhirnya mengalah untuk mengikhlaskan makam tersebut disegel oleh aparat. Pengelolaan konflik yang diambil oleh masyarakat adat ini sangat terlihat jelas bahwa mereka lebih mementingkan kepentingan semuanya, meskipun mereka tidak nyaman dengan pilihan mereka. 

Kolektivisme mereka sangat nampak dengan apa yang mereka lakukan saat mengalami konflik. Sedangkan, kaum dilaur masyarakat adat sangat terlihat bahwa mereka memiliki budaya individualistic yang selalu mendominasi saat mendapatkan konflik. Mereka merasa bahwa apa yang mereka lakukan adalah kebenaran dan apa yang masyarakat adat lakukan sebuah kesalahan yang harus dihentikan. 

Dari kasus tersebut pengelolaan konflik yang dipakai oleh masyarakat adat dan masyarakat biasa sangat terlihat perbedaannya. Menurut penjelasan masyarakat adat sendiri menyatakan bahwa mengalah adalah jalan terbaik untuk saat ini, sampai akhirnya mereka yang memiliki rasa intoleran yang tinggi sadar akan sebuah keragaman budaya.

Tidak hanya permasalahan mengenai pembangunan makam untuk tokoh Sunda Wiwitan, masyarakat adat juga mengalami diskriminasi dengan tidak diperbolehkan menuliskan "Selam Sunda Wiwitan" dalam kolom agama di KTP. Mereka akhirnya hanya diperbolehkan untuk menulis "penghayat kepercayaan" (tirto.id, 2020). Dari hal ini masyarakat adat tidak dapat berbuat apapun karena ada pihak yang lebih berwenang, mereka juga merasa jika mereka hanya sekelompok minoritas yang suaranya akan kalah dengan mayoritas diluaran sana. Sampai akhirnya mereka harus mengalah dengan mau menuliskan "penghayat kepercayaan" di kolom agama KTP.

Semua konflik memang sehurusnya diatasi sebijak mungkin tanpa ada yang dirugikan. Namun, untuk kasus mengenai masyarakat adat Sunda Wiwitan ini pengelolaan konflik yang dilakukan masih cenderung merugikan masyaraklat adat dimana mereka harus terus meneurus mengalah dengan permasalahan yang dihadapi hanya karena mereka kaum minoritas yang suara nya terkadang tidak di dengarkan. Budaya seharusnya tidak dijadikan sebagai senjata berbahaya untuk budaya lainnya yang seolah-olah dapat melukai dan merugikan budaya lain. Justru dengan adanya perbedaan budaya setiap individu dituntut untuk saling bertoleransi dan menunjukan bahwa mereka adalah manusia yang beradab.

Daftar Pustaka

Amindoni, A. (2020, Juli 23). Sunda Wiwitan: Pembangunan makam dilarang karena 'khawatir musyrik', masyarakat adat keluhkan'diskriminasi rumah sendiri'. BBC News Indonesia, pp. 

Baldwin, J., Coleman, R. R., & dkk. (2014). Intercultural Communication for Everyday Life. USA: Willey Blackwell.

Prabowo, H. (2020, Juli 19). Makam Sunda Wiwitan Disegel :"Dikeroyok Negara dan Kaum Intoleran". Tirto.id sosial budaya, pp. h

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun