Pelecehan gender merupakan perilaku yang merendahkan perempuan secara seksual di tingkat kelompok seperti membuat gurauan atau komentar tentang perempuan      sebagai objek seks atau          memamerkan/mendistribusikan gambar        perempuan sebagai objek seks, ucapan atau bahasa tubuh yang secara seksual mengejek tampilan, bentuk tubuh atau pakaian seseorang, atau mempertontonkan atau menyebarkan  pornografi. Perhatian seksual yang tidak diinginkan meliputi perilaku merendahkan perempuan dengan menjadikannya sebagai objek seksual seperti upaya berulang-ulang dan pemaksaan untuk membangun hubungan romantis, menyentuh bagian tubuh yang tidak diinginkan, mengirim email cabul atau bernuansa seksual atau mengajukan pertanyaan tentang kehidupan seksual seseorang. Sedangkan pemaksaan seksual umumnya berbentuk suap atau ancaman secara eksplisit atau implisit untuk memfasilitasi terjadinya tindakan seksual (misal pemaksaan tindakan seksual dengan imbalan yang berhubungan dengan pekerjaan atau pendidikan korban).
Pelecahan seksual dapat terjadi di wilayah publik seperti pertokoan, jalan, atau        transportasi umum oleh pelaku yang tidak dikenal korban (stranger sexual harassment) maupun di wilayah di mana korban biasa      beraktivitas seperti tempat kerja, kantor, kampus, lingkungan rumah atau sekolah oleh pelaku yang dikenal baik oleh korban (Fairchild & Rudman, 2008; Pina, Gannon, & Saunders, 2008). Pelecehan seksual dapat dialami oleh laki-laki maupun perempuan walaupun berbagai penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku adalah laki-laki dan korban adalah perempuan (Lonsway, Cartona, & Magley, 2007; Pina dkk., 2008; WHO, 2012). (UNIFEM) menjelaskan tingginya prevalensi  pelecehan seksual yang terjadi pada lingkungan sosial yang dikenal baik korban maupun di wilayah publik  sehingga memerlukan  penanganan serius. Misalnya, 40-50%  perempuan yang di wilayah Uni Eropa dan 30-40 persen perempuan bekerja di Jepang, Malaysia, Filipina dan Korea Selatan melaporkan pernah mengalami berbagai bentuk pelecahan seksual di tempat kerja. Di Amerika Serikat, lebih dari 80% remaja perempuan berusia 12-16 tahun mengaku pernah mengalami pelecehan seksual di sekolah umum Pemberitaan di media massa tentang pelecehan seksual oleh dosen terhadap mahasiswa di beberapa universitas di Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Barat akhir-akhir ini semakin menyadarkan masyarakat mengenai rawannya kampus sebagai lokus kekerasan terhadap mahasiswa, khususnya perempuan (The Jakarta Post, 2019; BBC News, 2019). Hasil survey tahun 2018 yang dilakukan oleh Lentera Sintas Indonesia bekerja sama dengan organisasi pro-perlindungan perempuan terhadap 470 responden perempuan di berbagai lokasi di Jakarta menemukan bahwa hampir 36 persen perempuan melaporkan pernah mengalami pelecehan seksual dalam transportasi umum konvensional dan hampir 10% mengalami pelecehan seksual ketika menggunakan moda transportasi online. Masing-masing Sepertiga dan seperenam responden melaporkan mengalami pelecehan seksual dalam tatapan melecehkan secara seksual dan rabaan di wilayah tubuh. Semantara itu pelecehan seksual dalam bentuk perilaku eksibisionis, pelaku menggesekkan tubuh ke korban, dan pelaku melakukan masturbasi di depan korban dilaporkan oleh masing-masing 11%, 6% dan 2 % responden. Meskipun demikian, Komnas Perempuan mengakui bahwa jumlah kasus pelecehan seksual di Indonesia masih sangat terbatas. Hal ini kemungkinan besar karena alasan korban tidak menyadari bahwa ia telah menjadi korban kekerasan seksual, ketidakberanian melaporkan karena kekhawatiran dampak negatif yang tidak diinginkan atau belum efektifnya sistem perlindungan terhadap korban kekerasan seksual.
Menurut Fairchild & Rudman (2008), penyebab pelecehan seksual dijelaskan oleh 4 (empat) teori yang berbeda. Pendekatan  biologis/alami (natural/biological model) memandang bahwa pelecehan seksual bukan    merupakan perbuatan melecehkan yang bersifat seksis sehingga tidak menimbulkan dampak negatif. Pelecehan seksual lebih disebabkan disebabkan oleh keterkaitan alamiah antara perempuan dan laki-laki. Model organisasi (organizational model) berpendapat bahwa pelecahan seksual difasilitasi oleh relasi kuasa dalam sebuah struktur hirarki. Pihak yang memiliki kewenangan dipandang memiliki peluang untuk menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan kepuasan seksualnya dengan melakukan pelecehan seksual dengan bawahannya (subordinate). Selanjutnya      pendekatan sosial budaya (socio cultural model) berpendapat bahwa pelecehan seksual  merupakan mekanisme untuk mempertahankan dominasi kaum laki-laki atas perempuan baik secara ekonomi maupun pekerjaan. Pelecehan seksual dapat mempertahankan dominasi perempuan dengan cara menghambat atau membatasi pengembangan potensi/kemampuan perempuan atau mengintimidasi mereka untuk keluar dari pekerjaan. Sementara itu sex role spillover model memandang bahwa pelecehan seksual sangat mungkin terjadi di lingkungan baik ketika perempuan menjadi kelompok minoritas (misal: bekerja di tempat yang didominasi laki-laki) maupun ketika perempuan             menjadi kelompok mayoritas (misal: bekerja di tempat yang didominasi perempuan).
METODE PENELITIAN
Â
Â
Sampel studi kuantitatif ini adalah mahasiswa laki-laki dan perempuan yang sedang menempuh studi sarjana pada dua program studi yaitu ilmu kesejahteraan sosial dan ilmu politik pada sebuah perguruan tinggi negeri di wilayah Jawa Barat. Pemilihan sampel dilakukan secara non-random dengan menggunakan teknik convenience sampling. Peneliti berkoordinasi dengan para dosen mata kuliah dan kemudian mendatangi para mahasiswa di kelas, menjelaskan tujuan studi, dan mengundang mereka untuk berpartisipasi dalam penelitian. Informed consent diberikan kepada para calon responden untuk menegaskan bahwa keterlibatan mereka dalam penelitian bersifat sukarela dan perlindungan kerahasiaan atas informasi yang diberikan dijamin oleh para peneliti. Responden mengisi kuesioner (paper- based) di dalam kelas dan mengembalikannya kepada pengumpul data pada hari yang sama. Pengumpulan data dilakukan pada pertengahan  tahun 2018
Variabel-variabel yang digali dan dianalisa dalam penelitian ini mencakup variabel sosial-demografis seperti jenis kelamin, tahun masuk kuliah, usia, dan program studi. Penelitian juga mengukur pengetahuan mengenai pelecehan seksual menggunakan Skala Pengetahuan tentang Pelecehan Seksual (SPPS) yang secara khusus didesain tim peneliti untuk tujuan penelitian mengingat belum adanya instrumen yang terstandar untuk menggali pengetahuan mengenai pelecean seksual. Skala tersebut didesain dengan merujuk referensi konseptual tentang pelecehan seksual berdasarkan penelitian yang ada. Skala tersebut terdiri atas 12 item yang mewakili bentuk- bentuk pelecehan seksual (misal: sentuhan yang tidak diinginkan, komentar bernada seksual yang membuat tidak nyaman). Jawaban yang benar diberi skor 1 dan jawaban salah diberi skor 0 sehingga total skor pengetahuan berada dalam rentang 0-12. Semakin tinggi skor berarti semakin baik tingkat pengetahuan mengenai pelecehan seksual. Cronbach alpha untuk SPSS adalah 0.76 menunjukkan tingkat realibilitas intrumen yang dikategorikan baik.
Variabel lainnya seperti pengalaman pelecehan seksual menggunakan (SPPS) yang artinya Skala Pengalaman Pelecehan Seksual. Skala Pengalaman Pelecehan Seksual ini mennjukan  pengalaman responden dengan menanyakan apakah mereka pernah mengalami minimal satu dari (duabelas) bentuk-bentuk pelecehan seksual yang dideskripsikan pada Skala Pengetahuan tentang Pelecehan Seksual baik yang dilakukan oleh seseorang yang mereka  kenal baik dan oleh seseorang yang tidak dikenal/asing. Sementara itu variabel sikap terhadap peran jender digali dengan menggunakan Attitudes Toward Women Scale (AWS) short version yang terdiri atas 25 item untuk menggali sejauh mana dukungan atau penolakan individu terhadap kesetaraan peran laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sosial dan keluarga menggunakan skala Likert 4 poin (0=tidak setuju, 1=agak tidak setuju, 2=agak setuju , 3=setuju). Total skor total berada dalam rentang 0-75 di mana semakin tinggi skor berarti semakin mendukung kesetaraan jender dan sebaliknya skor yang semakin rendah menunjukkan ketidaksetujuan terhadap kesetaraan peran laki-laki dan perempuan (Spence, Helmerich, & Stapp, 1973). Skor uji realibilitas AWS adalah 0.78 yang berarti sangat  baik.
Data penelitian diolah dan dianalisa menggunakan SPSS software versi 22. Analisa data univariate dan bivariate dilakukan untuk melakukan analisa deskriptif terkait distribusi variabel-variabel yang digali. Simple multiregressions diterapkan untuk menguji asosiasi variabel-variabel bebas seperti karakteristik demografis, pengalaman pelecehan seksual dan keyakinan terhadap peran jender dalam kehidupan masyarakat dengan variabel terikat (pengetahuan mengenai pelecehan seksual). Analisa multi regresi dapat menunjukkan asosiasi satu variabel bebas terhadap variabel terikat dengan mengonrol pengaruh variabel bebas lainnya. Peneliti melakukan pre-regression analysis dan untuk menguji terpenuhinya asumsi-asumsi linearitas sebagai prasyarat untuk melakukan multi- regresi (Tabachnick & Fidell, 2013). Dalam analisa data, jenis kelamin, program studi, usia, dan pengalaman pelecehan seksual diperlakukan sebagai variabel kategorikal. Dalam analisa jenis kelamin dikategorikan atas 1=perempuan dan 0 =laki-laki; program studi dikategorikan atas 1=ilmu sosial dan 0=ilmu politik; kelompok usia dikategorikan atas 1=usia 21 tahun dan di atas 21 tahun dan 0=usia 20 tahun dan di bawahnya serta pengalaman pelecehan seksual dikategorikan atas 1=pernah mengalami minimal satu kali pelecehan seksual dan 0=tidak pernah mengalami pelecehan seksual. Sementara itu sikap terhadap peran jender dan pengetahuan mengenai pelecehan seksual diperlakukan sebagai variabel continuous.
HASIL DAN PEMBAHASAN