Pendidikan sejatinya adalah hak bagi tiap masyarakat, seperti yang tertuang di dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 28 ayat 1 yang menyatakan "setiap warga Negara berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak memperoleh pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidup serta kesejahteraan umat manusia".Â
Merujuk pada undang-undang tersebut maka pemerintah berkewajiban untuk memfasilitasi pengajaran demi mencerdaskan bangsa. Akan tetapi, pada kenyataannya masih terjadi ketidakmerataan dan ketidaksetaraan akses terhadap pendidikan di Indonesia. Menurut Wayan (1992), pemeraan pendidikan yang berkaitan dengan mutu proses dan output/hasil pendidikan di Indonesia belumlah merata. Pandemi yang sedang terjadi pun akhirnya memperparah hal ini yang tentu berpengaruh kepada kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Pemerataan pendidikan di Indonesia dapat dikatakan belum tercapai, baik dari segi kualitas mutu pendidikan atau tenaga pendidik maupun fasilitasnya. Hal ini tergambar dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti SMERU Research Institute, Ridho Al Izzati yang menemukan bahwa anak dari rumah tangga yang termasuk dalam 60 persen termiskin hanya memiliki kesempatan 1 persen sampai 20 persen dalam melanjutkan jenjang pendidikan di perguruan tinggi.Â
Hal ini bertolak belakang dengan anak dari rumah tangga yang termasuk dalam kelompok 61 persen sampai 100 persen terkaya yang mempunyai kesempatan 20 persen sampai 60 persen untuk melanjutkan pendidikan mereka sampai perguruan tingi. Selain itu, ketimpangan ini terlihat dari alokasi anggaran pendidikan. Dilansir dari Tirto.id diketahui bahwa alokasi anggaran daerah untuk pendidikan masih kecil karena peruntukan dana pendidikan pemerintah daerah masih terbatas untuk rehabilitasi sekolah dan pengadaan buku.
Permasalahan tidak meratanya dan ketimpangan akses pendidikan di Indonesia pun diperparah oleh pandemi Covid-19. Pandemi Covid-19 di Indonesia pertama kali terdeteksi pada bulan Maret 2020 lalu. Sejak itu banyak terjadi perubahan sosial yang acap disebut new normal. New normal itu sendiri merupakan sebuah keadaan dan kebiasaan baru yang merupakan hasil adaptasi terhadap kejadian tak terduga ini.Â
Pendidikan merupakan salah satu bidang yang terdampak oleh pandemi ini, sehingga kini sistem pendidikan di Indonesia berlangsung secara dari atau biasa disebut dengan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Berdasarkan hasil riset dari ISEAS-Yusof Ishak Institute, diketahui bahwa hampir 69 juta siswa Indonesia kehilangan akses pendidikan dan pembelajaran selama pandemi. Namun, sebaliknya, banyak kelompok siswa yang berasal dari keluarga mapan lebih mudah belajar jarak jauh. Riset ini mengatakan bahwa hal ini merupakan implikasi dari ketimpangan. Dalam penelitian yang sama, didapati hanya 40 persen orang Indonesia yang memiliki akses terhadap internet.
Ketimpangan-ketimpangan yang terlihat jelas ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti rendahnya sarana fisik, rendahnya kualitas guru, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya prestasi siswa, tidak meratanya pendidikan ke seluruh pelosok desa, rendahnya kecocokan pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja, serta mahalnya biaya pendidikan.Â
Menurut Coleman (1968), konsep kesetaraan atau pemerataan meliputi beberapa hal, seperti menyediakan akses pendidikan gratis hingga tingkat tertentu, disediakannya kurikulum bagi semua anak tak terkecuali latar belakang apapun, menyediakan sekolah yang sama bagi anak-anak walaupun berlatar belakang bidang yang berbeda, dan memberikan kesetaraan dalam kasih sayang.
Fenomena ini dapat dilihat dari segi kacamata teori konflik di mana konsep sentral dari teori ini adalah wewenang dan posisi. Distribusi wewenang dan kekkuasaan secara tidak merata tanpa kecuali menjadi faktor yang menentukan konflik secara sistematis. Serta menurut Marx, tatanan sistem masyarakat baik itu sosial, ekonomi, politik, budaya bahkan ideologi (termasuk sistem pendidikan dan kurikulum) dipengaruhi oleh cara-cara produksi masyarakat kapitalisme (Holborn, at all, 2004).Â
Arus berfikir Marx berdasarkan pada dua gagasan besar, yakni infrastruktur dan suprastruktur. Marx berpandangan bahwa infrastruktur ditentukan oleh tenaga-tenaga produktif dan hubungan-hubungan roduksi. Kemudian, suprastruktur terdiri dari tatanan institusional yaitu lembaga yang mengatur masayarakat di luar bidang produksi, seperti: pendidikan, kesehatan, hukum, dan negara. Maka dalam pandangan teori konfli, lembaga pendidikan berfungsi untuk mensubsidi kebertahanan sistem ekonomi kapitalisme.
Ketimpangan akses pendidikan Indonesia jika dipahami dengan pandangan teori konflik, maka dapat dikatakan bahwa institusi pendidikan Indonesia bergerak sebagai lembaga yang melestarikan status quo. Hal ini tergambarkan dari hasil penelitian yang dijabarkan di atas, di mana anak yang berasal dari keluarga mapan memiliki peluang lebih besar melanjutkan pendidikannya dibanding mereka yang berasal dari keluarga miskin. Sehingga pada akhirnya nilai-nilai masyarakat kapitalisme yang sudah mapan makin lestari. Secara kasar dapat dikatakan yang kaya semakin kaya, sedangkan yang miskin semakin miskin.