Kegagalan sebenarnya merupakan salah satu proses dalam bertumbuh dalam kehidupan manusia. Seseorang yang mengalami kegagalan bisa dikatakan bahwa dirinya tengah dalam tahap belajar.Â
Berbeda dengan orang yang tidak belajar atau bertumbuh, maka mereka tak akan merasakan apa itu sebuah kegagalan. Hanya saja sebagian orang masih merasa kesulitan dalam menerima sebuah kegagalan.Â
Banyak yang beranggapan bahwa satu kegagalan merupakan garis akhir yang menentukan semuanya. Padahal  setiap orang memiliki jatah untuk gagal sesuai porsi usahanya.
Santrock pernah menjelaskan bahwa kegagalan merupakan sebuah kondisi dimana tidak terwujudnya sebuah harapan. Keadaan seperti inilah yang menyebabkan konflik emosional dalam diri seseorang.Â
Adanya kesenjangan antara diri nyata dan diri ideal yang tidak terwujud inilah yang kemudian menyebabkan seseorang merasa telah gagal, sehingga memicu hadirnya rasa depresi pada seseorang. 1Â
Hal ini selaras dengan teori humanistic milik Rogers yang mana dia menjelaskan akan pentingnya kesesuaian antara diri nyata dan diri ideal. Â
Karena jika diri ideal ini tidak bisa realistis terhadap kenyataannya, hal ini akan menyebabkan ketidaksesuaian yang mengakibatkan ketidakpuasan, ketidakbahagian, perasan cemas, hingga terganggunya kesehatan mental seseorang. 2Â
Kegagalan memang bukan hal yang mudah. Hal ini tak jarang membuat seseorang mudah menyerah akibat tidak mampu mewujudkan hal yang diinginkan, sehingga tidak bisa menjaga dirinya di dalam ranah lingkungan sosialnya.Â
Norma sosial yang ada di lingkungan sekitar tak jarang membuat seseorang memaksakan diri melebihi kapasitas yang dimilikinya. 3Â
Menurut Harmani dan Hidayat4, kegagalan yang dirasakan begitu menyakitkan dalam diri seseorang ini dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor dalam diri dan luar diri.Â
Faktor dalam diri mencakup efikasi diri, kontrol diri, motivasi, dan ketidakmampuan diri. Sedangkan faktor dari luar diri ini mencakup harapan, usaha, cita-cita, dan atribusi.
Sejak kecil kita sudah terbiasa atau lebih tepatnya dibiasakan agar kita berhasil atau menang dalam suatu hal. Tak jarang juga kita dituntut untuk berusaha mencapai sesuatu yang kita inginkan hingga bisa berhasil.Â
Kita dibekali bagaimana cara berjuang dan meraih apa yang perlu kita perjuangkan. Hanya saja kita tak pernah dibekali kemampuan untuk menerima kegagalan.Â
Sehingga sangat amat wajar jika suatu hari nanti kita mengalami sebuah kegagalan, lantas kita merasa semua yang kita perjuangkan terasa tak ada artinya.
Hal pertama yang harus diselamatkan dari sebuah kegagalan tak lain dan tak bukan adalah diri kita sendiri. Tak mudah untuk menerima diri sendiri setelah kita mengalami kegagalan.Â
Biasanya kita begitu mudah untuk menghakimi diri sendiri, menyalahkan semuanya pada diri sendiri, dan tak jarang menganggap diri begitu tidak berharga.Â
Kegagalan semacam ini sering menjadi luka batin dalam diri seseorang yang kemudian menjadi bibit-bibit lahirnya gangguan psikologis. Entah itu stres, depresi, gangguan kecemasan, anti sosial, dan sebagainya.
Memang tidak mudah untuk menerima sebuah kegagalan. Perasaan sedih dan kecewa itu merupakan hal yang wajar dialami jika kita mengalami kegagalan.Â
Tidak apa-apa jika kita merasakan perasaan seperti itu, tak perlu dipungkiri atau bahkan ditekan di alam bawah sadar kita.Â
Seperti yang kita tahu batin tak akan pernah bisa benar-benar sembuh tanpa kita obati. Langkah pertama mengobati luka ini ya adalah dengan sadar kalau kita terluka.Â
Sadari bahwa kita memang sudah gagal, kita belum bisa meraih apa yang kita inginkan. Apakah hal itu menyakitkan? Tentu, sehingga tidak apa-apa kalau dalam proses luka itu kita merasa sedih bahkan menangis.
Setelah kita menyadari kita terluka, maka langkah berikutnya adalah berusaha menyembuhkannya. Cara menyembuhkan luka tiap orang ini berbeda-beda, tergantung seberapa besar luka yang dialami seseorang.Â
Orang yang begitu menaruh harapan besar pada sebuah keberhasilan, tentu akan memiliki peluang lebih besar dalam mendapatkan luka.
 Sehingga pertolongan dalam menangani luka ini perlu disesuaikan pada masing-masing individu. Apakah seseorang itu mungkin hanya cukup membutuhkan waktu untuk istirahat, atau mereka butuh bantuan orang lain untuk memvalidasi luka yang mereka miliki ini.Â
Bukan masalah juga bila membutuhkan bantuan professional kejiwaan bila luka ini sudah sampai mengganggu aktivitas sehari-hari.
Banyak orang terlalu terburu-buru untuk segera bangkit dan memulai lagi, padahal mereka masih memiliki luka yang belum ditangani.Â
Sehingga penanganan dari sebuah kegagalan ini adalah dengan cara menerima kegagalan itu, memaafkan diri sendiri, mengobati luka yang mungkin disebabkan oleh kegagalan tersebut, dan barulah seseorang bisa bangkit untuk memulai hal baru lagi.
Daftar Pustaka
1. Santrock, J.W. (2012). Life Span Development. Jakarta: Erlangga
2. Schultz, D.P. & Schultz, S.E. 2020. Teori Kepribadian. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
3. Iksan, M. (2015). Atribusi kegagalan berprestasi siswa SMP dan SMA. Tabularasa. Vol 10 (2)
4. Tresnani, L. D. & Casmini. (2021). Penerimaan diri dari kegagalan akademik perempuan perfeksionisme. Al-Hikmah. Vol 18 (2)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H