Setelah masuk SMA, surat yang saya kirim ataupun surat dari dia semakin jarang. Mungkin karena kami sama-sama sibuk menjadi siswa baru atau mungkin juga karena handphone sudah mulai masuk dalam kehidupan kami.
Akhirnya karena sibuk dengan urusan sekolah, kami tak lagi berhubungan. Pak Pos yang selalu ditunggu tak lagi mengantarkan sepucuk surat untuk saya. Dan saya mulai berhenti menulis sebuah surat.
Sepuluh tahun kemudian, saat saya membuka lemari yang berisikan buku-buku, saya menemukan tumpukan surat yang dikirim oleh sahabat pena saya. Seolah bernostalgia dengan masa lalu, saya membaca satu per satu surat tersebut.
Surat-surat usang itu seolah menjadi harta karun yang bisa dengan mudah membuat saya tertawa ketika membacanya ulang. Iseng-iseng saya menuliskan nama sahabat pena saya itu di media sosial. Akhirnya saya menemukannya setelah sekian tahun.
Dia mengenali saya dan kami berbincang-bincang sejenak lewat DM. Hingga kini kami masih tetap berteman di media sosial. Me-like, komen, dan melihat story layaknya teman lainnya. Namun rasanya berbeda, ketika saya membaca tulisannya di DM atau di kolom komentar dengan tulisan-tulisannya di surat.
Kadang saya begitu rindu ingin menulis surat pada seseorang dan saya kangen merasakan perasaan bahagia saat menerima sebuah surat.Â
Sebuah ritual wajib ketika menerima surat: mengelus-elus amplop, mencium bau lem yang ditempelkan di perangko, membuka amplop pelan-pelan, ketawa cekikikan sendiri saat memegang surat, lalu ngomong sendiri saat membaca suratnya.
Ah, menyenangkan sekali saat-saat itu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI