Mohon tunggu...
Reni Soengkunie
Reni Soengkunie Mohon Tunggu... Freelancer - Tukang baca buku. Tukang nonton film. Tukang review

Instagram/Twitter @Renisoengkunie Email: reni.soengkunie@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Belajar Mencintai Buku Tanpa Harus Memiliki

18 Mei 2020   23:27 Diperbarui: 19 Mei 2020   11:30 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rak buku. (sumber: Pixabay)

Tentu semua orang sudah paham bagaimana peran sebuah buku bagi kehidupan seorang pencinta buku. Bisa dibilang buku itu merupakan harta paling berharga bagi mereka. 

Biasanya mereka selalu memperlakukan buku-bukunya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. Membelai-belai sampulnya, menciumi bau kertasnya, memeluknya dalam dekapan, dan juga tak akan membiarkan satu lipatan atau noda sedikit pun pada bukunya. 

Tak hanya itu, para pencinta buku itu juga fanatik dalam berbelanja buku. Suka ngaku khilaf dalam berbelanja buku, tapi terus saja diulangi perbuatannya itu. 

Katanya, lebih baik menyesal membeli buku daripada menyesal gara-gara tak jadi beli buku. Belanja buku terus, walaupun entah kapan buku tersebut mau dibaca, sebab TBR (To Be Read) semakin hari semakin menggunung.

Saya sendiri juga tak beda jauh, begitu hati-hati sekali ketika berhadapan dengan buku-buku saya. Ketika membeli buku baru, saya juga melakukan seperti yang dilakukan para pencinta buku lainnya, membaui harumnya aroma buku baru yang begitu khas, memberi nama si buku di halaman depan, menyampulinya, lalu meletakannya di rak buku dengan rapi setelah selesai membacanya. 

Bisa dibilang saya ini dulunya juga sangat posesif terhadap buku koleksi saya, rasanya itu gak rela aja kalau buku yang saya miliki itu dipinjam orang. Secara tahu sendiri bagaimana perlakuan orang lain terhadap buku yang dipinjam. 

Kadang kertasnya dilipat meski sudah saya bawakan pembatas buku, kadang sampulnya kotor, dan tak cuma sekali dua kali buku tersebut tak pernah kembali setelah dipinjam.

Saya kemudian jadi enggan meminjamkan buku-buku saya karena ulah oknum-oknum tersebut. Apalagi kalau yang dipinjam itu buku-buku favorit saya. Nehi nehi nehi! Kalau mau pinjam atau minta, boleh, tapi buku yang saya tak suka alias buku yang tak tuntas saya baca karena tidak menarik. 

Saat saya tanya beberapa teman saya sesama pencinta buku tentang tabiat saya yang buruk ini, mereka setuju dan tak menganggap kalau saya ini aneh atau berlebihan. Karena mereka juga melakukan hal serupa terhadap buku-buku mereka.

"Aku mending beliin mereka buku baru ketimbang kasih pinjam bukuku pada teman!" ucap teman saya.

Alhasil, setiap bulannya buku saya terus bertambah banyak dan semakin banyak. Saya selalu menganggarankan uang untuk membeli buku setiap bulannya, dan kadang akan kembali membeli buku lagi setelah tergoda ada diskonan atau obralan buku. Mungkin saya salah satu penganut, 'pakai baju yang lama, beli buku yang baru'. 

Jadi jumlah buku saya itu jauh lebih banyak ketimbang jumlah baju di lemari saya. Padahal di antara tumpukan buku tersebut ada begitu banyak buku yang belum sempat say abaca karena keterbatasan waktu. Gini nih, kalau minat belanja buku besar tapi waktu baca cuma sedikit. Akhirnya kerjaannya hanya menimbun buku terus.

Hingga akhirnya saya bertemu dengan sebuah buku yang membuat saya tersadar akan satu hal. Bahwa mencintai itu tak harus selamanya memiliki. Saya kembali berpikir tentang sari pati dari kegiatan saya membaca buku. 

Kenapa dengan membaca begitu banyak buku itu saya justru menjadi orang yang egois dalam memiliki sesuatu? Apakah proses membaca ini tak mampu membuat untuk berbagi?

Padahal selain pada buku, saya bukan jenis orang yang biasa saja dengan barang lain yang dipinjam teman. Bahkan tak kembali pun tak pernah jadi masalah.

Bisa dibilang, sangat jarang membaca ulang buku yang sudah saya baca. Biasanya setelah selesai membaca, saya selalu membuat review dan menulis poin-poin penting di dalam buku tersebut, jadi jika suatu hari saya butuh buku tersebut saya tinggal membuka review yang saya buat tanpa harus membaca ulang buku tersebut. Jadi, untuk apa saya menumpuk buku sebanyak ini di rumah saya kalau tidak saya baca lagi?

Akhirnya bulan kemarin, saya melepas buku-buku kesayangan saya itu. Sebagian saya jual murah dan uang yang terkumpul itu saya gunakan untuk biaya membeli obat-obatan dan pakan untuk kucing liar. 

Sebagian lagi saya berikan pada beberapa orang yang membutuhkan. Saya kira saya akan merasa kehilangan, tapi ternyata saya justru merasa lega dengan hilangnya tumpukan buku tersebut dalam hidup saya. Saya tak lagi merasakan beban karenanya.

Buku bagus itu harusnya dibagikan ke orang lain agar mereka juga bisa membacanya. Lagi pula masa kecil saya itu sangat susah sekali untuk mendapatkan buku, jadi harusnya saya bisa lebih meringankan orang lain untuk mendapatkan bacaan yang bagus. 

Dengan melepaskan buku-buku-buku ini, saya jadi terbebas dari perasaan takut atau was-was terhadap buku. Saya jadi memiliki pandangan lain terhadap sebuah buku. 

Kini saya menganggap bahwa buku itu hanya sarana perantara dalam menyerap kebahagiaan, sudah semestinya kebahagiaan itu kembali harus disalurkan agar tidak berhenti di saya saja. Mungkin bagi saya itu bekas, tapi bagi orang lain itu merupakan buku barunya.

Dengan melepas buku koleksi saya ini bukan berarti saya berhenti membeli buku. tidak! Saya masih membei buku, tapi kini saya akan berpikir ulang ketika akan membeli buku. Apakah buku ini benar-benar penting untuk saya? 

Apakah buku ini memang yang saya minati? Jadi saya tak lagi membeli buku hanya karena sedang obral ataupun diskon besar-besaran. Dan setelah selesai membacanya, saya bisa mengeluarkan buku tersebut pada orang lain yang membutuhkan. Kalau kata seni hidup minimalis, satu buku yang masuk ke rumah harus ada satu buku yang keluar rumah.

Terlebih saya ini orang yang memiliki alergi debu. Tentu bisa dibayangkan, bagaimana letihnya saya harus merawat buku-buku saya itu agar si buku tak berdebu. Kini saya jadi terbebas dari tugas bersih-bersih. 

Kalaupun ingin melihat deretan buku yang banyak, saya bisa berkunjung ke perpustakaan. Mengeluarkan buku dari rumah itu bukan berarti saya tak lagi membaca buku setiap hari.

Saya tetap membaca buku setiap hari, tetap membeli, hanya saja saya tak menyimpannya seperti dulu. Saya hanya menyisakan buku-buku yang memang saya butuhkan, selebihnya biar orang lain yang menjaga buku-buku itu.

Kata orang mencintai tanpa memiliki itu omong kosong. Tapi jika memilikinya hanya menjadi beban dalam hidup kita, kenapa kita tak mencoba untuk melepaskannya agar kita bisa bahagia? 

Biarkan orang lain juga bisa merasakan perasaan jatuh cinta yang sama terhadap buku-buku kita. Pada akhirnya semua buku yang sudah kita baca akan tersimpan di memori otak kita, sedangkan buku akan usang dan mungkin akan dimakan rayap.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun