Mohon tunggu...
Renisa A Ariadno
Renisa A Ariadno Mohon Tunggu... -

Menulis membuat kata menjadi lebih mudah disampaikan. :) Personal blog handsstory.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Kekerasan terhadap Anak: Ketika Anak Tak Mampu Bicara

5 September 2017   09:49 Diperbarui: 5 September 2017   11:20 1296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
indonesiaunicef.blogspot.com

Mendengar kata 'kekerasan terhadap anak' pasti membuat anda berpikir mengenai kekerasan berbentuk fisik yang menyebabkan seorang anak mengalami memar atau luka. Atau mungkin anda terpikir dengan pelecehan seksual yang sampai hari ini masih terjadi di Indonesia. Bahkan di kota besar. Benarkah kekerasan terhadap anak hanya terdiri dari dua jenis kekerasan tersebut? Apakah kekerasan terhadap anak merupakan satu topik yang perlu diperhatikan? Dan mengapa masih ada kekerasan terhadap anak yang terjadi di Indonesia?

KEKERASAN TERHADAP ANAK DI INDONESIA       

Definisi dari kekerasan terhadap anak menurut WHO adalah segala bentuk tindakan yang menyakitkan secara fisik ataupun emosional, pelecehan seksual, penelantaran, eksploitasi, komersial dan lainnya yang dapat memberikan kerugian yang nyata atau potensial pada kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak, dan dilakukan dalam konteks hubungan tanggung jawab. Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kekerasan pada anak tidak hanya terpaku pada kekerasan fisik dan pelecehan seksual. Bahkan tekanan emosional yang dapat mengganggu fungsi anak sudah dapat dikategorikan sebagai tindak kekerasan pada anak.

Kekerasan pada anak dapat terjadi dikarenakan beberapa faktor. Menurut KOMNAS Perlindungan Anak tahun 2006, yang dapat menjadi pemicu adalah kekerasan dalam rumah tangga dimana anak seringkali menjadi sasaran kemarahan orangtua, disfungsi keluarga yang ditandai dengan orangtua yang tidak berperan seperti seharusnya, adanya tekanan ekonomi, dan pandangan yang keliru mengenai peran anak dalam keluarga dimana orangtua cenderung mengasuh anak seenaknya karena anak dianggap tidak tahu apa-apa dan tidak memiliki 'kekuatan'. Kekerasan pada anak sendiri juga dapat dipicu dari media, seperti televisi.

Kekerasan yang dilakukan pada anak dapat menimbulkan dampak yang berkepanjangan dan memberikan efek negatif dalam tumbuh kembang anak tersebut. Kerugian yang dapat dialami seorang anak tidak hanya dari sisi fisik tetapi juga psikologis. Tumbuh kembang anak dapat terganggu, anak memiliki risiko lebih tinggi mengalami depresi di usia muda, dan anak dapat mengalami trauma yang tidak dapat hilang dengan mudah. Hal ini, akan berakibat buruk bagi Indonesia karena calon penerus bangsa memiliki mental yang terganggu.

Kekerasan pada anak merupakan topik yang cukup penting untuk dibahas. Kekerasan pada anak sendiri termasuk dalam bagian SDGs atau Sustainable Development Goals yang sama-sama ingin dicapai Indonesia. Kenyataannya, angka kekerasan pada anak masih tinggi di Indonesia. 

Laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia di triwulan 4 tahun 2013 sendiri menyebutkan pada tahun 2012 terdapat 1051 anak yang menjadi korban kekerasan, dan 436 kasus diantaranya adalah kekerasan seksual. Bahkan kasus bullying anak di sekolah mencapai 40% dan yang dilaporkan hanya sekitar 32%. Angka terbaru masih cukup sulit untuk didapatkan dikarenakan banyaknya kasus kekerasan yang tidak dilaporkan, terutama kasus yang terjadi dalam rumah tangga.

Pemerintah sendiri sudah melakukan berbagai intervensi untuk menangani tingginya kasus kekerasan pada anak. Intervensi terdiri dari pemberian akses pelayanan kesehatan untuk anak korban kekerasan. Akses ini bisa didapatkan dari puskesmas hingga di rumah sakit rujukan. Pelayanan yang diberikan pun meliputi tiga aspek, yaitu aspek medis (pemeriksaan fisik dan penunjang), mediko legal (visum et repertum), dan psikososial (rumah aman). Tidak hanya pelayanan kuratif, pemerintah juga sudah meningkatkan upaya promotif dan preventif pada masyarakat. Penyuluhan diberikan mengenai dampak kekerasan pada anak  terhadap tumbuh kembang anak secara fisik maupun psikologis.

Pertanyaannya adalah kenapa kasus kekerasan pada anak masih ada setiap tahun bahkan cenderung meningkat?

Dijabarkan dalam Profil Kesehatan Indonesia tahun 2015, bahwa program penanganan kekerasan pada anak bukanlah program prioritas. Dukungan dan komitmen pemerintah daerah juga cenderung berkurang setiap tahunnya. 

Dapat dilihat dari anggaran yang belum memadai dan pelatihan tenaga kesehatan untuk menangani kekerasan pada anak yang hanya diikuti dokter saja. Padahal pelatihan ini ditujukan pada tenaga kesehatan lainnya. Upaya yang terlihat cukup baik hanya penambahan jumlah puskesmas yang dapat menangani kasus kekerasan pada anak. Namun, penambahan ini tidak diikuti dengan anggaran yang memadai. Pelaksanaan secara nyata juga masih kurang.

Salah satu penyebab kasus yang masih tinggi adalah kurangnya kesadaran masyarakat dan perugas kesehatan untuk melaporkan kasus kekerasan yang ditemukan. Dimana kasus kekerasan pada anak masih dianggap masalah pribadi terutama yang terjadi di dalam rumah sendiri. Bahkan ada sebagian masyarakat yang masih belum mengetahui perilaku seperti apa yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan pada anak. 

Dampak dari kekerasan sendiri juga belum banyak diketahui. Anak juga sering mengalami kesulitan karena masih belum memiliki kemampuan dan kekuatan untuk melaporkan pengalaman buruk yang dialaminya sendiri. Saudara atau orang lain yang melihat tindak kekerasan juga cenderung diam dan tidak melaporkan karena tidak ingin dianggap 'mengadu' atau ikut campur urusan orang lain. 

Tak terkecuali petugas kesehatan yang mungkin masih mengalami keraguan dalam melaporkan hasil temuan. Padahal pemerintah sudah memberikan perlindungan pada tenaga kesehatan pada Permenkes nomor 68 tahun 2013 tentang Kewajiban Pemberi Layanan Kesehatan Untuk Memberikan Informasi Apabila Ada Dugaan Kasus Kekerasan Terhadap Anak.

Apakah pemerintah sudah mencoba menangani kondisi tersebut? Jawabannya adalah sudah.

Indonesia bekerja sama dengan UNICEF. Pada Hari Anak Nasional 2015, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melansir kampanye nasional Pelindung Anak yang sebelumnya sudah dikembangkan UNICEF. 

Kampanye ini mengajak seluruh warga Indonesia untuk berkontribusi langsung agar menghentikan kekerasan pada anak dan melindungi anak dari segala bentuk kekerasan. Sekitar 4.000 anak muda dalam rentang usia 14-24 tahun sudah berpartisipasi mengisi survey mengenai bagaimana cara melawan kekerasan di masa kecil. Anak muda juga turut serta dalam kampanye dengan memberikan edukasi baik secara offline maupun online untuk menyebarkan informasi ke mayarakat luas.

Untuk menyukseskan kampanye yang sudah dibentuk untuk menurunkan angka kekerasan pada anak, sangat diperlukan kontribusi dari semua pihak. Termasuk dari masyarakat sendiri. Orangtua harus paham betul mengenai pentingnya anak dan peran anak dalam keluarga serta memperbaiki pola asuh menjadi lebih mendidik dan melindungi anak. Perlu dilakukan edukasi dari rumah ke rumah mengenai dampak dari kekerasan pada anak agar keluarga juga lebih terpapar. Warga yang pernah melihat tindak kekerasan juga perlu secara aktif melaporkan.

Anak belum memiliki kekuatan untuk membela diri sendiri, kita sebagai orang yang lebih dewasa harus berperan sebagai pelindung mereka. Agar anak dapat terhindar dari berbagai macam bentuk kekerasan yang mengintainya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun