Mohon tunggu...
Reni Rosmawati
Reni Rosmawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Mahasiswi Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku

30 November 2022   20:31 Diperbarui: 30 November 2022   20:34 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menghabiskan waktu liburan kali ini sangat menyenangkan karena aku ditemani oleh dua sahabatku. Namanya Ana dan Chandra. Mereka berdua merupakan sahabatku dari kecil sampai saat ini, mereka sangat baik dan juga asyik. Aku jadi teringat ketika kami bertiga masih duduk dibangku sekolah dasar ada saja ide mereka melakukan suatu permainan jika kita sedang bosan sebab tidak ada yang dimainkan.

Selain mereka mengingat banyak permainan, mereka juga suka mengajakku mengeksplor alam. Mancing di rawa misalnya, memanjat pohon jambu, menelusuri alang-alang, membuat tenda di bawah pohon menggunakan daun pisang dan masih banyak lagi. Seru sekali bersama mereka, tidak satu hari pun aku lewatkan tanpa percobaan hal yang baru. Chandra dan Ana adalah kakak beradik dan lebih tua dari aku.

Kini kami bertiga sama-sama sudah menginjak remaja, dan mereka berdua tidak pernah berubah. Tiba-tiba saja hari ini, mereka pagi-pagi sekali sudah ada di teras depan rumahku, mereka memanggil "Seli,, Seli". Aku yang baru saja selesai mandi segera menghampiri mereka. "Ada apa?" Tanyaku pada mereka. "Kamu mau ikut ga ke pantai" kata Ana. Wah membayangkannya saja sudah membuat aku sangat bahagia. Tentu saja aku mengiyakan dan segera menggunakan pakaian terbaikku. Aku menggunakan sendal tali berwarna coklat, celana cream dan baju atasannya berwarna putih serta rambut ku yang teruntai rapih dengan ikat rambut pita diatasnya. Diperjalanan aku di suguhkan dengan langit yang biru dengan sedikit awan putih yang menghiasi langit biru yang cantik itu, tampaknya semesta sangat mendukung untuk menyaksikan pemandangan yang sangat aku inginkan sudah dari lama. Mewujudkan keinginan dengan orang yang dicintai itu adalah suatu hal paling bahagia dalam hidup.

Cukup memakan waktu yang lama diperjalanan, namun lelahnya terbayar dengan segala yang ada di depan mata. Pohon rindang kiri dan kanan, angin yang berhembus dibalik pepohonan menggoyangkan daun-daun yang tersusun rapih didahannya. Tak lengkap rasanya jika pepohonan tidak dipadukan dengan ayunan dibawahnya. Pasir putih yang menyelimuti sekeliling air biru ditengahnya. Betapa bersyukurnya sang pencipta menciptakan keindahan alam yang satu ini. Tidak cukup itu semua menggambarkan betapa istimewanya pantai untuk aku.

Chandra dan Ana tahu betul bahwa aku sangat suka pantai. Karena setiap aku bertemu dengan mereka maka yang aku ceritakan adalah pantai. Sementara Ana jika bertemu denganku dia akan menceritakan tentang tokoh kartun yang sangat ia suka, jika ada tokoh kartun yang tampan menurutnya maka dia akan sangat bersemangat bercerita. Beda jika tokoh kartun yang ia sukai mengalami kegagalan atau kesialan maka Ana akan sedih ketika menceritakannya, bagiku Ana adalah sosok yang sangat perasa. Suasana hatinya mudah berubah-ubah. Untung saja ada Chandra yang mana Chandra ini adalah abang Ana yang siap siaga menuruti semua keinginan adiknya yang manja itu.

Jika Chandra, dia adalah sosok lelaki yang sangat menyukai game. Selain game, Chandra juga suka bermain gitar, tetapi Chandra tidak pandai bernyanyi. Dia malu katanya karena suaranya tidak terlalu bagus. Chandra sering mengajakku untuk bernyanyi ketika dia sedang memainkan gitarnya. Katanya agar suara gitarnya tidak terlalu sepi. Akupun dengan senang hati bernyanyi, meski suara yang aku miliki tidak sebagus suara Isyana. Aku akan tetap percaya diri untuk bernyanyi. Menyanyi adalah kesukaanku selain pantai.

Sambil menikmati angin pantai, Chandra mulai memetik gitarnya lalu kami bernyanyi bersama-sama. Kami mempunyai lagu favorit yang sama, yaitu lagu Pelukku untuk Pelikmu dari Fiersa Besari. Selain lantunan musiknya yang santai, makna liriknya juga sangat mewakili kami para remaja yang dituntut oleh berbagai ekspektasi.

Di sela bernyanyi, Ana yang juga suka mengabadikan moment. Memotret semua pemandangan, tak lupa Ana juga memotret aku dan Chandra yang sedang bernyanyi. Setelahnya barulah Ana mengajak untuk foto bertiga, karena kurang lengkap rasanya jika tidak ada Ana di dalam kamera mini nya itu.

Terlihat sudah tidak ada bayangan di tanah, itu mengisyaratkan kami untuk segera pulang. Ditengah perjalanan pulang kami menyantap bakso Pak Kadir dengan lahap. Aku memandangi Chandra, dia terlihat sangat suka dan sangat menikmatinya. Lengkap sudah kebahagiaan liburan kali ini, aku banyak bersyukur atas apa yang masih bisa aku nikmati hingga saat ini.

            Tetapi tidak tahu mengapa pikiran ini selalu tertuju pada wajah Chandra. Sikap manisnya selama ini cukup membuat aku untuk merasakan benih-benih cinta tumbuh di hatiku setiap aku bertemu dengan dia.  Aku selalu menepis perasaan itu setiap kali aku bertemu dengan Chandra. Karena aku malu telah gagal menjaga komitmen persahabatan ini.

            Biarkan sajalah perasaan ini berjalan apa adanya, toh perasaan ini hadir tanpa di undang maka biarkan saja seiring waktu perasaan ini akan hilang juga dengan sendirinya, gumamku didalam hati. Dan seperti semesta mendukung perasaanku, kami bertiga kembali dalam satu sekolah yang sama. Ana dan Chandra pindah kesekolah yang sama denganku. Wajar saja mereka pindah sesuka hati, uang orang tua mereka  saja sudah menggunung.

            Tak disadari sesungguhnya aku insecure berteman dengan mereka apalagi sampai berani menaruh rasa ke Chandra, sebab dari segi finansial keluarga saja sudah berbeda ditambah kemampuan akademik aku yang biasa-biasa saja tidak ada istimewanya. Selalu aku tanamkan insecure itu menjadi tonggak pemicu semangat untuk mengejar ketertinggalan. Tak lupa esok adalah hari pertama aku sekolah.

            Mulai ku benahi jam belajarku, aku juga mengikuti beberapa ekstrakulikuler disekolah baruku, aktif di setiap pengibaran bendera hari senin sebagai petugas nya, dan mulai berani mengajukan diri untuk mengikuti lomba yang disediakan sekolah. Setahun aku menjalani Sekolah Menengah Atas ini semua terasa menyenangkan, dan sesuai rencana yang aku buat. Aku mampu  survive tidak hanya di bidang akademik tetapi juga di bidang keterampilan.

            Tidak mudah untuk sampai dititik itu, banyak yang aku korbankan mulai dari jam tidur, waktu main dan tenaga serta usaha aku untuk selalu menjaga imun aku tetap sehat dan kuat. Jika remaja lainnya menghabiskan waktu sepulang sekolah dengan shoping, nongkrong di cafe mahal, lebih bagus outfit siapa dan lebih kekinian siapa. Aku harus merelakan itu semua dengan banyak membaca, berlatih keterampilan tanpa kursus apapun itu, merelakan uang jajanku juga untuk kebutuhan yang lebih penting lainnya. Tetap aku syukuri semuanya apapun jalannya, karena tidak ada yang lebih berarti selain proses yang dilalui.

            Jika bertanya bagaimana perjalanan Ana? Dia tetap menjadi sahabatku yang paling setia, dia juga aktif disekolah, kami juga ada mengikuti beberapa ekstrakulikuler yang sama. Kami tumbuh bersama sampai saat ini. Tetapi kakak manis yang membuat aku pertama kalinya merasa jatuh hati itu, dia sudah tidak ingin bergabung dengan aku dan Ana. Yap, Chandra sudah punya circle nya sendiri. Kepribadiannya mulai beda sekarang, ia mulai jarang senyum, merokok, rambut diwarnai, baju dikeluarkan dan celana yang ia sobek-sobek. Sudah sering dijemur dilapangan ia tetap saja mengulangnya.

            Aku sedih melihat perubahan Chandra. Terbesit dipikiran untuk mengembalikan Chandra yang manis seperti dulu. Jika sebelumnya aku selalu menolak jika Ana mengajakku untuk keluar sekedar makan dikantin atau ngobrol di taman. Kali ini demi mendapat peluang bertemu Chandra lebih sering, aku akan meluangkan jam belajarku lebih banyak. Benar saja cara ini berhasil, Chandra dan teman-temannya sering menghabiskan jam istirahat di ujung taman untuk sekedar tertawa dan sesekali merokok jika tidak ada satpam berkeliling.

            Hari berikutnya, aku selalu mengikuti kemana Chandra pergi. Tak usah dijelaskan bagaimana caranya aku tahu Chandra pergi kemana, jiwa intel ini akan ada ketika dibutuhkan. Kebiasaanya tidak berubah, malah semakin memburuk. Aku memutuskan untuk pulang saja, aku muak dengan pemandangan itu. Tapi hati kecil ini masih ingin Chandra tau bahwa aku suka dia.

            Buru-buru aku rebahkan tubuh ini, memutar rekaman ulang dikepala apa saja yang sudah aku lakukan sejauh ini, itu semua tidak ada artinya. Aku bahkan menjadi sering tidur dikelas, sering telat mengumpulkan tugas juga sering mangkir dari kumpulan organisasiku. Seketika lamunan ku buyar ketika aku dengan ada suara ketukan pintu diluar. Aku lihat dari celah rumahku yang bolong terlihat bayang-bayang Chandra dari jaket yang sering ia gunakan. Aku bahagia sekali, tidak di duga-duga tanpa di undang Chandra datang sendiri kerumah setelah sekian lama kami tidak saling menyapa.

            "Hallo Chandra". Sapaku gembira sambil membuka pintu. Chandra tiba-tiba menyodorkan sebuah buku berwarna Cream dengan sangat kasar ke arah wajaku. Mataku langsung terpejam sambil tanganku meraihnya. "Lo, ga usah ngikutin gue kemana gue pergi. Gua risih tau gak?!!" Bentak Chandra. "Dan lo ga usah ada rasa sama gua, lo bukan tipe gua" Bentak Chandra lagi. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Mulutku kaku, bibirku bergetar, kakiku lemas mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Chandra.

            Tangisku pecah beriringan dengan langkah kaki Chandra meninggalkan rumahku tanpa pamit. Seharian aku tidak keluar dari kamar, mengunci pintu kamarku rapat-rapat. Kejadian itu sangat diluar nalar, Chandra yang lemah lembut bisa berkata dengan nada sekeras itu dan mengenai buku. Buku itu adalah diary aku yang aku selalu bawa kemanapun aku pergi. Karena jika aku tiba-tiba sedih atau teringat sesuatu pasti langsung aku tuliskan semuanya dibuku itu. Aku tidak pernah sembarangan mengeluarkan diary itu. Pasti ada yang mengambilnya dan menyerahkannya ke Chandra.

            Hari ini aku memutuskan untuk bersekolah untuk mengikuti ujian susulan. Selesai sudah kegiatan disekolah, aku tidak ingin melakukan kegiatan lain lagi. Aku ingin segera memejamkan mataku kembali. Aku tidak peduli dengan apapun termasuk nilai ujianku, dan langkahku terhenti tiba-tiba ketika aku melihat Chandra dengan perempuan lain. Perempuan itu tak asing dimataku, yah dia deket sama Ana sejak aku jarang bisa diajak nongkrong.

            Mereka ternyata menyadari keberadaanku, dan ada Ana disana. Meski aku sakit melihat Chandra dengan perempuan itu, aku paksakan senyum untuk Ana. Tetapi Ana membuang pandangannya. Tiba-tiba saja dia mendekat dan mengatakan "Ga usah kasih gua senyuman kaya gitu, Lo pikir kita deket? Gua dari dulu ga nganggap lo sahabat". Deg dadaku tiba-tiba saja sesak. Namun aku paksakan untuk memastikan perkataan Ana " Ana, aku salah apa? Ana bercanda kan?". Ana tiba-tiba tertawa "Iya gua bercanda, bercanda kalo gua dari dulu mau temenan sama lo yang MISKIN,, oya satu lagi. Lo punya nyali juga ya suka sama abang gua, pikir-pikir lagi deh. Abang gua ga mungkin mau sama lo culun gini. Untung aja gua nemu buku jadul lo itu, kalo gua ga nemuin buku itu, pasti lo deketin gua terus buat bisa pelet abang gua".

            Sakit sekali rasanya mendengar perkataan itu, sedangkan aku dengan Ana berteman dari kami kecil, kami tumbuh bersama. Aku tak pernah sedikitpun mencoba mengkhianati persahabatan aku dengan Ana. Sesibuknya aku untuk survive, selalu aku sempatkan kejutan kecil disetiap moment bahagia Ana.

            Tak berhenti disitu, penderitaanku bertambah ketika aku dinyatakan tidak lulus di perguruan tinggi manapun dikarenakan nilaiku yang kecil. Itu semua buah dari aku yang terobsesi oleh perlakuan manis Chandra. Memang benar jika sedang meniti ilmu, jangan ada laki-laki diproses mu.

            Frustasi tentu saja, aku tidak punya masa depan rasanya. Teman tak punya, orang tua yang sudah dimasa tuanya tentu saja sudah tidak produktif. Aku yang masih menjadi beban ini ingin sekali rasanya mengakhiri hidup.

            Sambil hilang arah dan harapan, aku berdoa dan meminta agar diberi jalan dan dimudahkan setiap urusaku. Dengan kemapuanku yang apa adanya aku nekat membangun bisnis sendiri. Aku banyak bersyukur karena aku diberikan pundak yang kuat untuk pulih sampai ditahap aku mempunyai bisnis sendiri. Mungkin remaja seumuran aku, akan merusak masa depannya ketika dihadapkan oleh hal diluar nalar mereka, atau memilih mengakhiri hidupnya saja seperti niatku pada saat itu.

            Namun, hal itu tidak akan menyelesaikan masalah hidup para remaja. Justru akan ada masalah baru. Jika memilih bunuh diri, maka ia akan meninggalkan kesedihan dikedua orang tuanya ataupun orang yang bersyukur memiliki dia. Jika ia menghancurkan masa depannya maka nantinya akan ada penyesalan dan susah untuk bangkit kembali dari penyesalan itu.

            Kini diumurku yang menginjak 22 Tahun, aku sudah mempunyai usaha tetap, punya sekitar 150 karyawan, dan hal yang sangat aku banggakan aku mampu mewujudkan salah satu mimpiku yakni mendirikan perpustakaan ditengah pusat kota, dan semua masyarakat mulai dari kalangan remaja, anak-anak atau bahkan lansia dapat datang ketempat itu dan boleh membawa pulang buku yang diinginkan tanpa transaksi apapun. Dengan seperti itu aku harap anak-anak jalanan yang tidak mampu bersekolah dapat belajar membaca secara gratis dari buku yang aku sediakan. Kini hidupku bahagia. Aku mampu menghapus gelar kemiskinan dari diriku dan keluargaku. Tak lupa aku lanjutkan lagi pendidikan ku yang tertinggal. Aku maafkan juga Ana dan Chandra sebagai batu loncatan untuk aku bisa berada dititik ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun