Mohon tunggu...
Reni
Reni Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Freelance

Hanya ibu-ibu rumah tangga yang ingin sukses

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

I Try To Copy A Smile

8 November 2019   02:56 Diperbarui: 8 November 2019   02:54 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seharusnya aku begitu, seperti mereka yang tak sungkan say "hay..." dengan orang sekitar. Rasanya ada sedikit perasaan cemburu pada siapa saja yang begitu mudah berucap. Menyapa mereka dengan senyum dan bercengkrama lewat kisah yang mengalir, begitu yang ku mau dan itu yang sangat ku inginkan. Aku pun ingin merasakan nyaman  dengan keramaian dan tak menginginkan bersembunyi dalam kesendirian.  

Melihat mereka tertawa bersamaan sambil bercanda dalam persahabatan, menyadarkanku tentang sesuatu yang kurang dalam kehidupan ini. Hmm...diriku yang tak sama dengan mereka, diriku yang tak mampu bergaul dengan mudah, diriku yang enggan mengucap kata, dan diriku yang selalu merasa aman dalam kamar atau kesunyian. Kadang kegelisahan ini membuatku semakin jenuh dengan diriku sendiri, mengapa aku tak mampu seperti mereka? Toh hanya cukup mengeluarkan suara untuk berbagi cerita atau sekedar bertanya kabar, atau cukup dengan senyum sebagai isyarat persahabatan.

Zidan namaku, aku dilahirkan dengan cara yang sama dengan semua orang. Aku pun dibesarkan dengan cara yang sama dengan mereka. Pernah memiliki ibu dan ayah lengkap seperti manusia pada umumnya, tentunya dengan kasih sayang yang sangat tak terbatas dari keduanya. 

Mencoba terbiasa dengan mereka yang mengajakku berbagi tawa, lebih sulit dari Ujian Nasional kelulusan SMA. Adakalanya mereka sanggup mengerti aku dengan sangat baik, ada masanya mereka terlalu menuntut untuk aku memahami, dan ini bukan hal yang mudah bagiku. Aku yang tak mampu mengungkapkan perasaan lewat kata dan mereka bilang itu egois. Sebenarnya aku hanya terlalu betah dengan "diam", yang sesungguhnya aku hanya terlalu larut dengan mulut yang terbungkam. 

Awalnya aku berpikir sikap ku ini karena perbedaaan pendapat atau hanya pikiran yang tak sejalan dengan mereka, awalnya aku mengira mereka begitu mudah menyalahkan seseorang yang bahkan tak memiliki keberanian untuk melontarkan kata. Hingga akhirnya akupun menyadari akan diri ini yang ternyata berbeda dengan mereka.

"Aku kecewa "

Salah satu perasaan favorite  dari mereka yang pernah hadir dalam lingkaran hidupku. Entah karena sikapku yang mereka sebut kasar dan sebagian menamainya arogan, atau karena sebenarnya mereka menginginkan aku yang lemah lembut dan terlihat ceria seperti yang mereka lakukan. Ketika mereka menyebut senyum adalah ibadah yang tak sulit dan menyenangkan, berbeda denganku yang selalu mengalami kesukaran dalam memaparkannya (senyum).

"Lihat..."

Salah satu teman menepuk pundakku sambil menunjuk kearah layar netbook, aku pun memahami isyaratnya dan segera memperhatikan apa yang sebenernya ingin dia tunjukkan, dan kenapa dia ingin aku melihat hal tersebut, ada pesan apa dan kenapa harus aku? Begitulah aku yang sangat gemar berdiskusi dengan diri tanpa ada usaha untuk mengungkapkannya dan lebih suka untuk langsung bertindak dari pada harus berkicau ini itu. Ketika ada sesuatu yang sedikit saja menyentuhku, entah itu sentuhan tangan, isyarat mata, ekspresi dari raut muka atau bahkan sekedar cerita dari mereka yang ku temui dijalan tanpa tegur sapa, aku pun tak mampu mengelak dari diskusi panjangku dengan diri. Terkadang dia (diri) berprasangka dengan anggunnya, terkadang dia (diri) menyapa sangat lirih mungkin takut terdengar dan teraba oleh mereka, dan terkadang dia (diri) terlalu negative memandang segalanya, hmm...begitulah caraku hidup.

Aulia, seorang teman perempuan yang ku sebut kakak. Aku bukan seseorang yang mudah menanggapi mereka yang ada disekitarku, aku pun bukan orang yang mudah meluapkan rasa persaudaraan dengan mereka yang baru ku kenal, karena aku lebih suka menyimpan semua dan menikmatinya sendiri. Terlihat egois bukan? Ya, saat kau memendam perasaaanmu sendiri tanpa sesekali mengungkapkannya.  

Begitulah adanya, aku yang selalu kehabisan cara dan tak mampu berekspresi dihadapan siapa saja.

"Lucu bukan? Seekor penguin yang sedang belajar terbang, jatuh bangun berulang kali, iiuuuhhh pasti sangat menyakitkan" Suara Alifah yang kerap ku dengar. Aku menatapnya yang terlihat begitu takjub melihat video itu.

"Hmm..."

Jawabku singkat sambil terus memperhatikannya. Ada rasa penasaran saat matanya terlihat lebih bening dari biasanya, hmm...berkaca-kaca. Ada keinginan untuk bertanya apa yang ia rasa seperti kabanyakan orang meluapkan perhatian lewat kata "kamu kenapa?". Ada kemauan untuk menepuk pundaknya seperti kebanyakan orang menenangkan sahabat yang sedang merasa perih, dan lagi-lagi aku tak sanggup mengekspresikannya. 

Dia yang mengerti setiap pandangan mata yang ku layangkan padanya, seolah mengerti apa yang ingin ku ucapkan. Menatapku tajam lalu kembali mengklik menu play again pada media playernya, dan aku segera memperhatikan video yang ia putar kembali.

"Sama sepertiku, lucu yah menganggap diri sendiri seperti penguin", dia tersenyum dan aku pun segera menyadari senyuman yang ia paksakan.

"Putus asa, sebenarnya satu perasaan yang sangat jarang dan hampir tidak pernah aku rasa. Jatuh bangun lagi, bangun jalan lagi, jalan terus berlari. Lihat, dia jatuh bangun tanpa mengeluh, yang sebenarnya kita tak mampu meraba apa yang ia rasa. Bahasa apa yang ia gunakan, cara apa yang mampu ia lakukan, dan bagaimana ia mengekspresikan. Satu rahasia yang harus kau tahu bahwa dirimu sebenarnya sama dengan yang lain, ya...sama-sama memiliki kelemahan dan pastinya juga kelebihan. 

Penguin ini mungkin tidak akan pernah bisa terbang seperti bangsa burung lainnya karena dia berbeda, saat yang lain bisa terbang bebas di udara dia justru bisa menyelam dalam air es yang sangat dingin. Berani merasa sakit saat jatuh karena belajar terbang sementara dia tahu mengudara bukanlah takdir miliknya.

 Awalnya, aku mengira kau begitu keras dan memiliki sifat seperti petasan yang sangat mudah meledak saat sedikit saja terkena api, dan pada waktu itu aku belum mengerti hatimu yang ternyata lebih lembut dari orang pada umumnya hingga sangat sensitive dengan apa saja. Aku yang tak pernah memahami usahamu untuk berdiri sejajar dengan yang lain, aku yang tak pernah bisa mengalahkan ego dan tak mampu melihat semua yang kau perjuangkan. 

Terkadang aku tak memahami bagaimana perasaanmu, memaksamu bercanda gurau dan tertawa lepas denganku, memaksamu bercerita yang sesungguhnya itu sangat mengusikmu, dan memaksamu bergaul dengan oang yang baru dikenal padahal itu sangat sulit untukmu. Masa-masa yang kurang menyenangkan saat aku memaksamu untuk berbicara dan berujung pada perselisihan, masa ketika aku tak mampu memahami perasaan yang kau coba luapkan lewat bungkaman...."

"Kak..."

Aku mencoba menghentikan perbincangan ini meski sulit untuk ikut ambil suara disela perkataan seseorang. Aku sungguh mengerti dengan apa yang ingin dia ungkapkan, menyalahkan diri karena tak mampu memahamiku dan ini sangat tak mengasikkan bagiku.

"Aku hanya tak mampu mengendalikan ucapan ketika aku mulai kesal, aku sering melukaimu karena takut diri sendiri terluka. Sebenarnya, aku bukan tak mengerti bagaimana cara berterimakasih dan mengatakan maaf. 

Ada sesuatu yang selalu menghentikanku untuk meluapkan penyesalan lewat maaf, aku terlalu menyesal dan kecewa dengan diriku sendiri karena tak mampu menjelaskan sesuatu pada orang lain, aku memilih diam karena bersuara sangat sulit bagiku. Sebenarnya aku memikirkan lebih dari yang terlihat. Maaf dan terimakasih bagiku lebih dari kata dan tak cukup dengan hanya bicara untuk mengekspresikannya."

Hmm...harapannya aku bisa mengatakan itu semua dengan tegas sambil menatapnya, dan lagi-lagi ini hanya diskusi ku dengan diri. Menarik nafas panjang dan mengeluarkannya dengan sangat perlahan, artikel bilang ini bisa mengurangi rasa grogi dan bisa membuat kita berbicara lancar di depan umum. Aku melakukannya berkali-kali dan tak ada perubahan, hingga aku pun menyadari bahwa yang aku rasa bukanlah grogi dan ini lebih dari sekedar kurang percaya diri. Aku tertunduk lemas dan seperti biasa, memilih untuk diam.

The End

Cerpen ini pemberian dari Teman, Kaka, Sahabatku .....

Cerpen ini Juga Terbit di : I Try To Copy A Smile

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun