Ngomong-ngomong soal keuangan, saya cukup malas kalau sudah berurusan dengan pecahan uang logam yang betul-betul receh. Pertama, meskipun dompet nampak seperti juragan sembako, tapi isinya belum tentu mampu membayar gula sekilo. Sudah mah kalau dibawa-bawa berat; kebuka sedikit, malah berceceran; eh, pas mau dibayar ke penjual malah kurang. Tengsin kan.
Belum lagi, untuk kepribadianku yang kurang rapi, memiliki uang-uang recehan dalam jumlah banyak pun buatku bukan jadi satu keuntungan. Punya penyakit sering lupa mah, sembarang banget kalau naro uang. Bisa berserakan di tas, kasur, meja kerja, kamar mandi, saku celana, jaket, kemeja orang (?) Kalau begini terus, jadinya keuanganku seringkali gak terkontrol berapa yang dipunya, juga berapa yang telah keluar. Giliran pas lagi butuh-butuhnya, harus inspeksi seluruh rumah. Kan ribet.
Yang tidak kalah mengesalkan adalah kenyataan bahwa orang yang tidak menginginkan kehadiran receh bukan hanya me, my self, and I. Apalagi teman-teman kosan, kalau diberi pundi pundi logam, seperti diberi tanggung jawab menata kota Jakarta.
Lebaynya, saya hanya merasa diakui dengan logam-logam kembalian beli garam ini hanya ketika belanja di tukang sayur, warung-warung kecil, atau toko-toko yang masih bisa dijangkau kaum proletar sepeeti saya. Sisanya, sudah terguncang psikologis duluan, entah takut kurang, disangka hasil nafkah dari perempatan, atau keribetan ngitung uang di kasir yang bisa memperlama antrian.
Namun nyatanya, memiliki uang kertas pun tidak selalu berakhir bahagia. Seperti pembayaran biaya makan, tiket, atau urunan saat hangout. Pemilik pecahan terbesar biasanya yang akan meng-handle pembayaran agar payment di kasir lebih mudah. Ceritanya sih biar lebih mudah, tapi tetap saja bikin hidup susah.
Masalahnya, seringkali, mereka yang punya pecahan lebih kecil hobi banget pura-pura tidak menghitung pajak yang tidak tercantum di daftar harga. Dan merasa fine-fine saja menggulirkan tanggung jawab pajak yang sering dianggap "tidak seberapa kan". Gak rugi, enggak!:'(
Tapi itu tidak boleh terjadi lagi!
Karena, Itukan dulu. Setelah tahu ada Sakuku dari Bank BCA, bener-bener aktivitas keuanganku dibikin simpel pisan. Life changing banget, deh. Ke mana-mana, gak repot bawa dompet, apalagi receh-receh.
Dan pastinya keuanganku bisa lebih terkontrol  untuk tahu berapa pemasukan dan pengeluaran. Tercatat rapi! Dan tentunya, tidak ada lagi uang yang tercecer-cecer berserakkan hingga dipulung orang:').
Yang paling aku suka, Sakuku ini punya fitur Split Bill yang sangat membantu dalam hal payment pas lagi hangout atau kebutuhan-kebutuhan urunan yang seringkali nominalnya ada angka desimal kaya USBN matematika.
Buktinya kemaren, bersama seorang sahabat saya, kita membeli buku untuk dihadiahkan kepada salah satu teman yang sebentar lagi berulang tahun.
Dengan pedenya tidak bawa dompet, hanya dibekali handphone dengan aplikasi Sakuku dan BCA mobile. Datang ke Gramedia berasa anak sultan. Pilih buku, ke kasir, buka aplikasi Sakuku, scan kode QR, Beres!
Setelah, transaksi berhasil, di bawah notifikasi  ada menu Split Bill. Setelah itu tinggal pilih kontak teman kita yang ikut urunan. Dan kita bisa ceklis fitur bagi rata untuk tagihan urunan yang memang disepakati sama rata. Atau kita pun bisa mengisi nominal lain sesuai tagihan yang teman kamu punya. Tekan lanjut, dan voila! Tinggal temen kamu deh yang transfer ke akun Sakuku kita.
Kalau mau top up? Ya, tinggal transfer dari BCA mobile. Nah, makanya aku tuh gak khawatir lagi kalau hangout gak bawa dompet. Tinggal pake aplikasi Sakuku. Kalau mau bayar barengan tinggal pake Split Bill. Urunan bisa akurat, no more receh, no more dompet.
Pertanyaannya,
Kapan nih kamu hangout pake Sakuku bareng aku? Hihihi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H