"Eh! Tau novel Fifty Shades of Grey gak? Kemaren gue baca..."
"Astagfirullah! Â Gak faedah bangetsi!"
HEHEHEHE...
        Siapa yang tidak tahu tentang film box office ini yang diangkat dari novel trilogi karya E.L. James? Sekitar dua tahun yang lalu film ini menjadi bahan perbincangan nakal remaja untuk membahas topik-topik sensual. Saya sempat ingin menonton, tapi urung dan sama sekali tidak berminat ketika melihat trailernya yang kelewat erotis dan terbayang bagaimana vulgarnya adegan seks yang termuat sepanjang film. Karena jelas, ini adult matter dan saya merasa risih:(
        Dan dengan malu, saya pun harus akui, sampai beberapa waktu yang lalu saya masih belum menonton filmnya, tapi saya telah membaca novelnya untuk buku pertama dan kedua. What?!
        Sebentar, netizen…
        Di sini saya tidak akan memaparkan atau mengulas bagaimana plot dari novelnya, tidakpun menilai cara penulis menarasikan, atau mendeskripsikan perasaan saya di tiap ceritanya. Namun, ada poin yang ingin saya ceritakan tentang pemahaman yang saya baru ketahui, salah satunya adalah saya baru mengerti, ternyata seks itu  berbeda dari cinta.
Perangkat, Cara Kerja, dan Kenikmatannya berbeda!
        Buat saya, enaknya membaca novel di luar genre sci-fi atau kisah-kisah mistis itu bisa dijadikan studi kasus saya untuk memahami suatu realitas yang lebih utuh dengan mengkaji bagaimana keterhubungan satu data realitas  dengan realitas lainnya. HAH?! Sederhananya, buat saya, membaca novel yang adegannya disadur dari kegiatan manusia biasa akan cenderung lebih dekat dengan kehidupan nyata kita sehari-hari. Dari sana, bisa kita ambil banyak pelajaran. Sebagai contoh, saya telah menangkap pemahaman dalam mendistingsi seks dan cinta.
        Sebelumnya, saya  memang yakin bahwa cinta berbeda dari sekadar hubungan intim. Cinta yah cinta, tapi kalau senggama yah pasti cinta. Dan setelah saya baca novel ini, saya menyadari ternyata hal tersebut tidak terjadi seperti data se-sok-tahunya-pengetahuan saya. Saya mendapati perangkat, cara kerja, hingga kenikmatan dari dua hal tersebut bisa terjelaskan dengan cirinya masing-masing, meskipun kita sering mempaketkan kedua realitas ini dalam satu objek pemenuhan yang sama, yaitu dari pasangan.
        Perangkat cinta adalah perasaan secara psikologis, sedangkan perangkat seks lebih kepada fisik. Sejauh pengamatan saya selama membaca novel ini, ditambah dengan mengaitkannya pada kasus-kasus mengenai para lelaki yang tidak mau bertanggungjawab terhadap perempuannya yang dihamilinya, dan juga referensi-referensi yang saya baca, membuat realitas mengenai seks dan cinta lebih jelas terlihat kontrasnya seperti apa.
        Bila kita tinjau dengan hanya membedah apa saja perangkatnya, cinta bisa berdiri sendiri tanpa seks. Cinta sering berkutat pada kecenderungan-kecenderungan perasaan positif ketika dekat degan objek yang dicintai dan subjek tentunya akan merasakan ketidaknyamanan ketika terjadi sesuatu yang mengancam eksistensi objek.
        Miss Steele, si lakon yang menarasikan sudut pandangannya terhadap hubungannya yang rumit dengan Mr. Grey, menunjukkan bahwa ia mencintai Mr. Grey tanpa atau dengan segala sisi gelap pasangannya meskipun seringkali ia harus merasa tersakiti dengan perilaku menyimpang Grey agar ia bisa terus bersama lakon utama tersebut.
        Di lain sisi,  pengalaman dan segala kesan traumatisnya menghasilkan kerangka berpikir Grey tentang suatu hubungan personal, yang ia definisikan sebagai hubugan tanpa adanya satu perasaan atau komitmen yang lebih informal. Ia membawa aktivitas tersebut menjadi sangat kaku, penuh dengan aturan, dan objek seperti benar-benar didudukkan sebagai pemuas birahinya saja.
        Senada dengan gaya hidup orang Amerika atau Eropa yang lebih liberal terhadap aktivitas intercourse, seks memang bukanlah barang istimewa seperti anggapan kita yang lebih konservatif terhadap hubungan intim. One night stand, swing, hook up, dll menjadi istilah yang memotret bahwa seks bisa berdaulat tanpa adanya perangkat afeksi yang terlibat.
        Jika perangkatnya berbeda, maka cara kerjanya pun akan berbeda. Meskipun bahannya merupakan pasangan dari subjek, tapi aspek yang diolah tetaplah tak sama. Cinta mengolah bentuk-bentuk perhatian, kasih sayang, dll. Sedangkan seks, lebih pada rangsangan-rangsangan fisik. Dan walaupun sama-sama menghasilkan rasa bahagia bila terpenuhi, output dari masing-masing pun jelas berbeda. Yang satu secara kejiwaan, yang satu lagi kenikmatan secara fisik.
        Hal ini dikuatkan dalam teori hierarki kebutuhan oleh Abraham Maslow yang mengklasifikasikan seks ke dalam kebutuhan biologis di tingkat bawah, sedangkan cinta ada pada tingkat ke-3 pada aspek belongingness setelah kebutuhan rasa aman.
        Hikmah yang saya petik
Dalam buku Manusia, Sebuah Misteri, Louis Leahey memaparkan afektivitas positif disebut sebagai cinta yang bersifat utilitaris (cinta yang mengindahkan diri sendiri) dan hal kedua cinta akan dinamakan sebagai cinta kebaikan hati, cinta tanpa pamrih, cinta yang berkorban (amour de bienveillance, amour désintéessé, amour oblatif).
Dari sana saya menangkap cinta memang secara naluriah bisa dijalankan dengan dua fungsi secra berbarengan, lagi seimbang. Jika cinta hanya diartikan sebagai cinta kebaikan, cinta tanpa pamrih, cinta yang berkorban, dari sudut pandang subjek saja, subjek  justru akan ditaruh sebagai orang yang tidak punya hak apapun terhadap objek. Objek akan berkuasa terhadap apa-apa yang subjek lakukan terkait dirinya. Seperti yang digambarkan lakon Miss Steele terhadap Mr. Grey dalam Fifty Shades of Grey, blind love membuatnya kabur dalam melihat realitas yang pada kenyataannya Grey belum mencintainya, Meskipun ia disuguhi seperangkat kemewahan, ia malah bermain sebagai seorang objek pemuas nafsu pasangannya. Yang saya takutkan, hal ini terjadi kepada jutaan perempuan polos lainnya yang buta dalam mencintai anak lelaki tanpa berpikir apakah ia akan dicintai lagi? Jika ia dicintai, maka bukankah konsekuensi logisnya perempuan-perempuan yang mencintai pasangannya akan dilindungi martabat dan harga dirinya? Sayangnya bentuk cinta laki-laki yang tak becus bertanggung jawab, lebih banyak pada cinta yang utilitaris dan sangat egosentris. Ia akan mencintai objeknya (perempuan) selama dirinya terpuaskan. Setelah ia menggunakan perempuan yang ia hamili; cinta dalam bentuk kebaikan, tanpa pamrih, berkorban hanya gombal omong kosong dan refleksi mental pencundangnya.
Dan begitupun pernikahan, dua aspek cinta ini menjadi salah satu paket terpenuhinya hak dan kewajiban seseorang sebagai pasangan dari kekasihnya. Ia berhak bahagia dari serangkaian hubungan yang ia jalani, dan ia pun secara logis akan memenuhi apa yang harusnya ia penuhi. Ketika sumber pemuasnya yang ada dalam diri anda habis, dia akan ke mana kalau tak cinta? Hal ini menjadi dasar bahwa kita bisa lebih hati-hati dalam memilih pasangan, siapapun anda, baik pria maupun wanita, jangan sampai cintanya pasangan anda hanya sekedar cinta yang utilitaris.Â
Karena, ingat anda pun berhak bahagia!
Sumber:
Leahy, Louis. 1993. Manusia, Sebuah Misteri. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.    Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H