Mohon tunggu...
Reni P
Reni P Mohon Tunggu... Buruh - Saintis yang lagi belajar nulis

Seneng guyon Visit renipeb.medium.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

YouTube dan Etalase Kebodohan

14 Februari 2018   22:44 Diperbarui: 15 Februari 2018   20:41 2229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: photo stock

Sudah lama tak berselancar di YouTube, saya agak penasaran sudah semengerikan apa perkembangan konten di salah satu platform raksasa tersebut. Di beranda ada banyak video rekomendasi dari channel yang dulu saya kagumi. Ya, dulu. Awalnya saya kagum dengan misi mereka di masa-masa awal pembuatan konten.

Karena background founders-nya dulu memang pernah menetap di berbagai negara yang mana bahasa pengantarnya adalah bahasa Inggris. Tentu tak semua orang punya pengalaman merasakan budaya dan bahasa selain di Indonesia. Dari sanalah mereka ingin berbagi sekaligus mengedukasi dengan merangkum bagaimana budaya dan bahasa di luar sana dengan cara-cara yang lebih menarik dan pastinya asyik.

Semakin lama, semakin banyak pelanggan yang mereka miliki. Kualitas video mereka semakin berkembang, properti yang disediakan sudah pula semakin niat. Tapi, dari sanalah yang saya mulai tidak sukai. Konten semakin tak etis, seluruh budaya barat dibagi dengan bangga, ditampilkan dengan menarik. Luar biasa. Konten yang membahas seks, jenis-jenis minuman keras, tata cara meminumnya, belum lagi bumbu bahasa kotor seakan memang wajar terjadi dan dilakukan dengan penuh rasa b a n g g a.

Video yang saat itu saya tonton merupakan video tanggapan mereka terhadap reaksi netizen yang menurut mereka adalah "hate comments". Dari awal sampai akhir memang nadanya agak benci-benci gimana gitu. Tapi, kalau melihat dari sisi keobjektifan, saya sendiri sudah sangat tidak sepakat dengan jalan pikir mereka. Ada banyak sekali statements yang mereka lontarkan, beberapa adalah:

"Kalo Lo nggak suka, ngapain lu nonton? Banyak ko channel yang baik-baik."

"Kita ga ngajarin kalian untuk mabok, kita selalu bilang 'minum boleh, mabok jangan'."

Dan ketika anda coba memahami sedikit tren YouTube hari ini, ternyata bukan hanya video yang baru saja saya ceritakan, tetapi banyak sekali video-video yang berseliweran dengan konten isi penuh umpatan, tutorial yang menjerumuskan, juga hal-hal yang semestinya tidak layak untuk ditonton bagi bangsa yang mengaku dirinya beradab.

"Loh, bukannya benar, kalau ga suka kenapa harus ditonton? Anda bisa memblokir konten mereka. Sehingga Anda tidak perlu repot untuk menyaksikan mereka."

Saya mengeluhkan hal ini bukan untuk konsumsi saya pribadi. Pertama, memang saya belum punya anak, saya masih berumur 20 tahun, dan saya belum ada rencana untuk ke pelaminan. Tapi, saya punya dua adik yang masih di bawah umur. Anak SD zaman sekarang mainannya bukan lagi monopoli, congklak, atau sekadar masak-masakan. Rengekan mereka seputar gadget, kuota streaming, dan gaming, dan pemandangan yang instagrammable. Saya bisa saja meblokir akun-akun tersebut, tapi adik-adik saya? Apa tanggung jawab konten kreator terhadap perkembangan moral adik-adik saya?

Rasa penasaran saya membuat saya mengomentari channel tersebut.

"Kalau nanti anak2 kalian tau (bahwa) kalian seorang youtube content creator, apa kalian mengizinkan anak-anak kalian untuk nonton video kalian? hehehe jeus keurieus."

Meskipun tidak dibalas oleh pemilik channel tersebut, saya sudah dikirimi delegasi dengan inisiatif tingkat tinggi yang mungkin terinspirasi dari cara pandang salah satu akun YouTube Gamer Indonesia. Katanya begini:

Itu gunanya lo sebagai orang tua buat ngajarin anak lo... This is the internet dude.. You can do whatever the f*** you want.. If i'm a parent.. i won't mind them drinking alcohol when they come of age.. Hell, I'll even drink with them... There's nothing wrong in drinking alcohol as long as you are not addicted to it (JANGAN MABOK) Harsh words? Even without this channel lil kids will learn about those words anyway.... Its a parents duty to correct if they did something they aren't supposed to.

Silahkan Anda terjemahkan sendiri lah yah. Tapi yang menjadi poin bagi saya adalah Ini adalah salah satu legitimasi bodoh yang penuh keputusasaan. Saya cukup gerah dengan statement, ITU TUGAS LO SEBAGAI ORANG TUA BUAT NGAJARIN ANAK LO. Berkali-kali digaungkan, yang mulanya dianggap tabu, kemudian menjadi sedikit wajar, hingga akhirnya benar-benar wajar. Jelas celah pengkritisannya buanyak!

  • Jelas, orang tua mah tugasnya ngajarin anaknya. TAPI BUKAN BERARTI TUGAS ANDA NGERUSAK ANAK ORANG, WOY. Saya bisa saja mengajari adik saya atau mungkin kelak anak saya, tapi bagi anak-anak yang tak punya orang tua, Anda berani bertanggung jawab?
  • Dan sadarkah? Tidak semua anak berani terbuka dengan orang tua mereka. Hanya sebagian kecil saja. Apalagi dengan masalah konten langganan YouTube mereka. Anak-anak hari ini kebanyakan lebih percaya dengan teman-temannya ketimbang ibu bapanya untuk masalah konten YouTube. Lah enak emak bapakanya kalo well-educated mereka bisa kasih treatment edukasi yang baik. Kalo anak dari orang tua berpendidikan rendah?
  • Jika Anda pernah membaca psikologi perkembangan anak, anak-anak usia dini SD hingga pertengahan SMP. otak analisis mereka masing berkembang. Kebanyakan mereka nerima data untuk dijadikan bahan analisisnya di masa selanjutnya. Ketika data yang mereka berupa nilai-nilai negatif, maka jangan heran kelak dewasa yah begitu pula cara pandangnya. Dan sekira masih SD dan SMP disuguhi konten seks dan minuman keras. Lah gimana yah. Gimana ga deg-degan sebagai orang tua?
  • Pikiran, "Gua mah bebasin aja nanti kalo jadi orang tua, kalau bisa minum bareng. Yang penting tidak mabok." Adalah salah satu cabang kedunguan selanjutnya. Kenapa? Pertama siapa yang dapat menjamin Anda minum, kemudian Anda normal-normal saja? Cobalah empati dengan memikirkan sebentar saja bila Anda memiliki anak perempuan. Kekhawatiran yang jelas adalah rantai kriminalitas selanjutnya seperti pemerkosaan tanpa diketahui korbannya. Mana ada orang mabuk yang sadar? Saya kira kasus-kasus seperti ini sudah tak jarang lagi.
  • Satu konten dihapus tidak akan mengubah keadaan, karena di luar sana banyak konten yang serupa. Ini yang menjadi kesedihan bagi saya, semua orang berpikiran seolah statement keputusasaan ini memang benar. Semua tak mampu diubah karena lingkungan sudah bekerja dengan sistem seperti itu. Lalu, bisakah statement tersebut dijadikan dalih para pejabat untuk mengkorupsi dana rakyat karena toh atasannya, koleganya, rekan-rekannya semua berjalan dengan prinsip KKN. Sulit sekali diubah. Bisa?

Hati-hati dalam menoleransi sesuatu yang tak benar kemudian bergeser menjadi sesuatu yang dianggap benar. Tak prihatinkah dengan keadaan serba tolerable dengan hal yang jelas-jelas salah? Bukankah hak-hak kita lagi yang akan direnggut dari ketidakbenaran tersebut? Berapa banyak lagi bibit kebobrokan bangsa ini yang akan menggiring menuju bangsa yang lebih terbelakang. Kalau tak mampu mewarnai lingkungan menjadi lebih baik, setidaknya jangan berkontribusi memundurkan peradaban. Kalau Anda hidup hanya untuk merusak orang lain, Anda tidak lebih berguna dari sekadar kerbau di sawah.

Dan sungguh. Kebodohan nyata adalah, sudah salah, bangga.

sumber: tukang streaming
sumber: tukang streaming

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun