Hidup di Indonesia banyak peluangnya. Peluang sukses ada. Begitu pun peluang untuk gagal. Peluang menjadi nasionalis ada. Menjadi subeversif pun bisa jadi pilihan. Anda bisa jadi kaum ultra agamis atau memilih menjadi orang yang lebih komunis. Anda bisa memilih menjadi pejabat atau hanya sekedar jadi rakyat. Fasilitas pilihan hidup berserakkan di Indonesia. Pintar-pintarnya anda saja untuk mencari peluang. Hidup di sini mah mudah, banyak pilihannya.
Dengan banyaknya pilihan, sudah pasti di antara pilihan-pilihan untuk dipilih ini beda-beda atau beragam. Kalau sama, ya bukan memilih. Itu mah ga ada pilihan.
Kalau saya tak salah tangkap dari salah satu bukunya Om Yudi Latif yang berjudul Negara Paripurna,memang diakui secara historistas Indonesia sudah memiliki "gen" yang beragam. Wong tanah kita kaya banget sumber daya alamnya, belum lagi lokasinya yang strategis, dan gak lupa orang pribuminya yang manis-manis. Kan gak salah kalau jaman dulu (sampe sekarang) banyak tamu yang ingin singgah di negeri kita. Jadinya.. tamu yang awalnya pengen dagang aja, kepincut deh pengen tinggal di sini. Kawin silanglah sama pribumi. Hasil penyilangannya kawin silang lagi sama hasil penyilangan yang lain. Begitu seterusnya sampe varietas manusia Indonesia jadi sangat beragam.
Dari ujung timur sampe ujung barat hasilnya orang Indonesia ini dari mukanya saja beda-beda. Kita punya ciri khas masing-masing. Minimal anda mampulah mengidentifikasi mana orang Indonesia bagian Barat dan mana orang Indonesia bagian Timur. Saya kasih clue,coba bandingkan hidungnya orang-orang Ambon dengan orang Sunda. Belum lagi bahasanya. Anda pasti cukup mampu untuk bedakan mana orang Jawa mana orang Batak tanpa tahu topik percakapan sehari-hari mereka seperti apa. Jadi jelas kan? Kalo dari ujung barat Indonesia hingga ke Timur kita beragam, kita berbeda.
Lalu masalahnya?
"Beragam iya sih.. banyak pilihan. Tapi beragam itu berbeda. Berbeda itu ga sama. Ga sama itu sumber kekacauan"
Memang, dan faktanya banyak yang sakit hati kalo kejadiannya, seperti: "Aku pilih kamu, kamu pilih dia".Perbedaan yang kentara bukan? Jangan disangkal, perbedaan macam ini bisa bikin kita naik kiloan, bisa bikin kita pengen terus-terusan jajan Silver Queen segambreng, belum lagi pengen ngumpat sambil ndoai terus biar si "dia" yang dipilih sama "kamu" cepet mati.
Itu disaster buat lingkup yang lebih personal. Ini ada yang lebih masif. Perbedaan "kepentingan" bisa bikin perang. Kita tau World War sampe jadi Dwilogy gara-gara ada "perbedaan" antara blok sekutu sama blok poros. Coba kalau mereka "sama". Kaga jadi perang kan? Antara Israel dan Palestina. Gak akan ada perang tuh kalau kepengennya sama.
Kita tau kemaren negara kita gaduh di musim pilkada. Postingan netizen didominasi jadi topik politik praktis. Saya milih A. Saya milih B. A jangan dipilih. Sesat. B jangan dipilih. Kafir. Ga perang sih. Cuman tetep aja berisik. Coba kalau kandidatnya 1. Semua milihnya S. Sukirman. Aman toh?
Sama itu bikin damai. Sama itu menenangkan. Percaya?
Tapi jangan dulu percaya. Soalnya ada juga yang bilang, berbeda itu gakalah bikin damai, juga gakalah menenangkan.
Warna warna untuk saling menghiasi alam bukankah harus beda-beda? Coba kalau kita hanya hidup dalam satu warna. Putih misalnya. Lalu? Alam semesta hanya satu warna. Bumi ini warna putih. Langit putih. Daun putih. Tanah Putih. Ikan Putih. Air got putih. Air minum putih. Jangan dibayangin ada shade gradasi putihnya, dari putih terang sampe ada putih gading. Yaudah satu. Bayangin aja semua putih. Ga kebayangkan?
Coba amati, kalau semua materi alam semesta, sifatnya sama. Mungkin gak akan ada termometer, karena raksa bentuknya harus padat kaya logam lainnya. Atau mungkin gak ada yang namanya matahari, kalau bintang harus sama-sama mengorbit bareng-bareng planet lain. Atau mungkin gak akan ada daratan, kalau semuanya harus sama sifatnya kaya lautan. Fatalnya, gak akan ada gorengan, kalau minyak dipaksa sama titik didihnya kaya air minum kalian.
Contoh lain lagi ditegaskan juga oleh driver online yang ngobrol dengan saya beberapa waktu yang lalu. Katanya, " Alhamdulilah kalo orang mikirnya beda-beda, apalagi saat musim mudik, semua berpikiran akan pergi di jam, hari dan jalur yang sama, itu akan jauh lebih menguras energi, lebih menguras waktu juga perasaan.Â
Misalnya saja, 1/10 warga Jakarta ingin mudik ke arah lebih timur. Tapi dari 1/10 semuanya ingin menggunakan kereta di hari yang sama, gerbong yang sama, jam yang sama. Kaga bisa ketampung wong sekali perjalanan paling berapa ribu orang, sedangkan 1/10 warga Jakarta hampir kurang lebih 900 ribu warga. Atau semuanya naik mobil pribadi, di jam, hari, dan rute yang sama.
Insyaallah, neng.Jasa marga akan merasa sangat gagal dalam menunaikan kerjanya."
Sulit bukan kalau harus serba sama?
Jadi mending sama atau beda?
Serba sama, ya sulit. Seba beda, juga gakalah sulit.
Tapi sebenarnya kitalah sendiri yang membuat sulit. Saya percaya Tuhan Maha Adil. Mengadakan alam semesta sebegitu rapinya hingga, tiap materi punya ciri khasnya masing-masing. Dan hebatnya, dengan perbedaan-perbedaan dari tiap materi ciptaan-Nya, mereka saling berkaitan dengan materi yang lainnya menjadi satu sistem yang seimbang. Alam semesta, Galaksi, Tata surya, Bumi, Ekosistem, hingga yang terkecil seperti sel dan juga atom.Â
Andaikata, manusia tak ada. Alam semesta ini tetap pada keseimbangannya. Tiap aspeknya selalu menuju pada titik yang adil. Bagian bagian yang beragam saling bahu membahu menciptakan ekosistem yang seimbang. Tanah selalu dibawah, sebagai alas tempat satwa dan tanaman darat untuk hidup. Pohon menjadi sumber oksigen untuk binatang dan pengikat tanah di sekelilingnya. Dan satwa sebagai pengisi rangka ekosistem tersebut, membantu reproduski tumbuh-tumbuhan atau sekedar menyuburkan tanah. Sekecil apapun perannya, mereka jalani, beriringan dengan mahluk-mahluk lain yang berbeda.
Lalu manusia?
Kita sama-sama satu jenis mahluk Tuhan. Ya, kita ini manusia. Kita mesti belajar dari alam. Dibekali dengan akal dan nalar, seharusnya kita jauh lebih cerdas dari sekedar kerja alam itu sendiri. Saya percaya, kita semua mahluk pembelajar. Kita bisa mengambil banyak pelajaran dari sekeliling kita untuk menjadikan pribadi kita dan sekelililng kita menjadi sistem yang lebih beradab.
Khususnya Indonesia. Cobalah jangan terlalu banyak mengungkit perbedaan yang memecah belah. Kita ini sama. Jauh lebih banyak kesamaan yang bisa dipotensikan untuk menjadikan peluang besar agar Indonesia menjadi bangsa yang maju, jauh lebih banyak cinta dan kerukunan kalau kita bisa menjadikan perbedaan ini sebagai ajang berbagi peran dalam gotong royong memajukan bangsa. Saya percaya keseimbangan kehidupan sesama manusia dan alam akan tercipta ketika perbedaan dan persamaan didudukkan pada tempatnya. Minimal dari negeri kita sendiri Indonesia.
Tuhan memang pembuat hukum alam yang adil. Tuhan ciptakan berbagai peluang kehidupan. Pintar-pintar kita saja untuk bisa pertanggungjawabkan semua yang kita lakukan. Mau terus-terusan serba sama? Atau mau terus-terusan saling hina dalam beda? Tergantung kamu. Karena hidup banyak peluang. Apalagi, di Indonesia.
Salam damai,
Wassalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H