- Bukannya manusia kerja buat cari uang?
Yas! Kita ga bisa menafikkan karena semua orang mempunyai kebutuhan. Dan exactly, kebutuhan tersebut mesti dipenuhi. Dan normalnya di zaman milenial kini apalagi di kota-kota besar, pemenuhan kebutuhannya gabisa jauh dari benda yang namanya, UANG.
Untuk hal sederhana saja, masalah kebutuhan perut. Ketika lapar, orang pasti akan mencari makan sebagai pemenuh kebutuhannya. Makanan tentunya tak bisa didapatkan secara cuma-cuma hanya sekedar meminta. Pasti harus ditukar dengan uang sebagai gantinya. Menanam pun tentu tak bisa sekedar langsung menamam, mesti harus membeli bibitnya, pupuk juga pestisida, bukankah hal-hal tersebut mesti didapatkan dengan cara membayar dengan uang?
Belum lagi pemenuhan yang lain seperti kebutuhan komunikasi, perawatan, hiburan, keamanan dan lainnya, semuanya butuh cost dan kita gabisa menyangkal jaman sekarang there's no such a free thing, right?
So, that's why orang mau dari pagi hingga sore atau malam, bahkan ada yang sampai tak kenal waktu untuk bekerja.
- Lantas, Masalahnya?
Sejatinya, profesi-profesi yang ada muncul karena adanya kebutuhan masyarakat akan pemecahan masalah pada bidang-bidang tertentu, tak hanya sekedar memutar roda ekonomi masyarakat. Bukankah profesi dokter tidak muncul tiba-tiba menjadi satu profesi menjanjikan yang hadir di masyarakat? Pasti ada masalah yang mesti dipecahkan sebagai penyebab adanya profesi dokter ini.
Kita tahu mungkin Ibnu Sina tak pernah membayangkan ke depannya cita-cita karirnya menjadi seorang tabib. Berangkat dari masalah mengenai penyakit masyarakat, ditambah keinginan tahunya yang tinggi terhadap pemecahannya, Ia mengabdikan dirinya untuk meneliti hingga menemukan metode kedokteran yang lebih modern di masanya. Bukankah konyol dengan konteks saat itu bila terbesit di pikirnya "ah nanti kalau aku dewasa aku mau menjadi tabib karena prospek fee-nya bisa menjanjikan"?
Dan masalahnya hari ini terang di mana-mana, profesi yang dicari adalah profesi yang menjanjikan keuntungan untuk pribadi bukan lagi masyarakat secara makro. Parahnya, institusi pendidikan pencetak profesi ini pun turut mendukung. Pernahkah pembaca melihat atau mendengar ketika institusi pendidikan dalam mempromosikan lembaganya, yang dijanjikannya adalah cetakan didikannya bisa mengayomi dan memberdayakan masyarakat? Pernahkah terdengar janji, cetakan didikannya mau bekerja ke pelosok-pelosok negeri yang belum tersentuh kemewahan peradaban? Faktanya kita memang lebih banyak mendengar gaungan kepastian bahwa cetakan-cetakan pendidikan mampu bekerja untuk menghasilkan uang, minimal mampu untuk membayar kredit motor, membeli mobil, atau memberangkatkan mamah papah untuk berhaji.Â
Tak akan menjadi problem kalau orang punya keinginan untuk membeli motor hingga keinginan mulia memberangkatkan orang tua ke tanah suci. Tak pernah ada dalil menjadi orang kaya adalah sesuatu yang haram. Yang jadi masalah adalah orang mau berprofesi yang dia kejar hanyalah sekedar materi, materi, dan materi.Â
Saya menjadikan hal ini sebagai satu problem yang cukup kritis, karena di sinilah seharusnya roda produktifitas bangsa bergerak bukan hanya sekedar karena materi semata. Tapi, ada kesadaran dalam tiap individunya dalam merelakan dirinya untuk berkontribusi dalam pembangunan peradaban bangsanya lewat profesi yang ia jalani. Saya sudah cukup muak dengan keluhan-keluhan orang-orang yang mencaci negerinya sendri, tapi ia sendiri tak ada kemauan untuk bergerak dalam membenahi apa yang dia keluhkan.
Bayangkanlah sendiri bagaimana negeri kita jadinya, kalau semua orang profesinya hanya diarahkan sebagai pemuas kebutuhan-kebutuhan pribadinya tanpa ada pertimbangan masyarakatnya seperti apa.
Harus berapa banyak lagi perusahaan yang tak peduli dengan kelestarian lingkungannya demi cost yang lebih murah untuk biaya produksinya? Harus berapa banyak lagi politikus yang rela menggadaikan sumber daya masyarakat demi memakmurkan keluarganya? Harus berapa banyak lagi public figur yang mau menjual sensasi ketimbang menuntun masyarakat ke arah yang lebih baik?
Pikirkanlah, apakah layak kalau seorang guru yang dinantinya bukan lagi kecerdasan murid-muridnya, tapi gaji di awal bulan? Apakah layak seorang pendakwah menetapkah tarif selangit, di kala umatnya melarat? Apakah layak seorang dosen memperilakukan mahasiswinya seperti wanita lacur pinggir jalan?Â
Sudah terlalu banyak profesi-profesi yang hadir menjadi barang komersil yang menyimpang dari hakikatnya ia hadir, tak lain karena yang dikejar hanya kebahagiaan materi materi dan materi. Karena profesi seyogyanya menjadi lahan aktualisasi minat, bakat dan kepribadian diri dalam kontribusi membangun masyarakat. Lewat profesi tak hanya sekedar mengumpulkan pundi pundi untuk biaya hajat atau mencicil rumah, tapi bisa menjadi satu getaran yang terasa manfaatnya bagi masyarakat.Â
- So, do something better!
Mungkin saya belum berkecimpung pada profesi tertentu untuk berkontribusi membangun masyarakat. Tapi, syukurnya kita tak kehabisan tokoh-tokoh inspiratif yang tak hanya menjalani profesinya sebagai lahan mencari kekayaan materi, namun bisa terasa berarti buat masyarakat. Saya senang dengan cara kerja walikota Bandung, Pak Ridwan Kamil dan walikota Surabaya, Bu Tri Risma. Hari ini terasa betul Bandung dan Surabaya wajahnya jauh lebih cantik ketimbang dulu yang lesu akan pembangunan. Atau Mbak Najwa yang getol mengkritik pejabat publik yang diduga bermain-main dengan kewenangannya. Ada pula Pak Willian Wongso yang hadir dalam konsep diplomasi kuliner dalam memperkenalkan Indonesia kepada dunia. Dan masih banyak lagi orang-orang yang sukses di Indonesia dalam menjalani karirnya karena tak sekedar hanya mencari penghidupan.
Apapun pilihan profesimu jangan sekedar cuman untuk cari uang. Kalau kamu fotografer, buatlah karya yang sekualitas mungkin hingga dunia bisa mengatakan orang Indonesia tak bisa diremehkan. Kalau kamu ilmuan, lakukanlah penelitian, ciptakan teknologi yang bisa memecahkan masalah masyarakat kekinian. Kalau kamu penulis, buatlah tulisan yang bisa menginspirasi masyarakat luas. Apapun, profesimu, please yang kamu nantikan bukan hanya gaji awal bulan, tapi masyarakat yang lebih berdaya.Â
- Last, but not least
Uang memang selalu bikin kita khawatir kalau nyawanya sudah mulai menipis di dompet kita. Tapi percayalah uang bisa hadir seiring dengan kualitas karya yang kita berikan. Orang pun pasti akan menghargai betul karya-karya yang berkualitas. Dan sejatinya kebahagiaan bukan berarti dengan banyak memiliki uang. Justru ketika kita berguna bagi sekitarlah yang menjadikan satu kebermaknaan hidup yang luar biasa membahagiaakan ketimbang menumpuk uang hingga menggunung. Karena buat apa memupuk harta kalau status kita hanya jadi sampah masyarakat.
So, change your mindset.
Profesi kita bukan hanya untuk kepentingan pribadi, tapi justru untuk negeri yang lebih baik lagi. Tak ada lagi sumpah serapah mengutuk negeri sendiri. Yang ada kontribusi, kontribusi, dan kontribusi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H