"Sudah kelas berapa?"
"Sehabis ini lanjut atau nikah?"
"Ah malulah, sudah berumur tapi belum ada pasangan."
Berbagai komentar, kritikan, masukan yang bermacam-macam akan banyak ditemui ketika perempuan memasuki fase remasa untuk menuju dewasa. Perempuan dinilai matang untuk menikah pada fase tersebut, sehingga seakan-akan perempuan memiliki batasan untuk menuntut ilmu di dalam lembaga pendidikan. Hal ini tentu memiliki latar belakang tersendiri. Seperti budaya, nilai-nilai yang dianut, atau faktor-faktor yang mendukung lainnya.
Beberapa sepakat bahwa perempuan tidak memiliki batasan untuk terus menuntut ilmu. Banyak beasiswa yang bertebaran untuk diperjuangkan oleh para pelajar baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini memberikan peluang yang amat luas bahwa pendidikan perempuan tidak hanya usai dalam lingkup SMP atau SMA, namun terbuka untuk terus melanjutkan di jenjang Universitas.
Alasan lain adanya kesepakatan bahwa perempuan perlu memiliki pendidikan yang tinggi adalah terbukanya prospek kerja yang semakin tinggi. Perusahaan atau instansi maupun lembaga saat ini menginginkan para pekerja yang memiliki kinerja serta intelektual yang berkualitas. Tentu para pekerja yang diinginkan tidak hanya berjenis laki-laki, akan tetapi tidak menutup untuk perempuan juga. Oleh karena itu, pendidikan perempuan yang semakin tinggi akan mendorong ia untuk mendapatkan pekerjaan yang layak sebagaimana kemampuan dan keterampilan yang telah ia pelajari di lembaga pendidikan.
Selanjutnya adalah untuk mengangkat martabat keluarga. Umumnya, keluarga akan sangat senang apabila anaknya berhasil masuk di lembaga pendidikan yang berkualitas. Faktor tersebut memberikan citra yang bagus dalam pandangan masyarakat bahwa anak tersebut memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi.Â
Begitu juga, ketika anak perempuannya terus melanjutkan studinya bahkan sampai ke perguruan tinggi. Masyarakat akan memandang sebagai anak yang tekun, cerdas, giat, dan penilaian positif lainnya sehingga berdampak pada penilaian untuk keluarganya juga. Seperti "Wah, anak bapak pintar ya, bisa lolos Universitas. Pasti di rumah dibimbing terus ya belajarnya." Dan lain sebagainya.
Sedangkan, pihak yang kontra terhadap adanya perempuan tidak harus berpendidikan tinggi adalah munculnya nilai-nilai budaya yang dianut dalam wilayah tersebut, seperti perempuan di umur 18 tahun harus sudah menikah. Maka ketika jika terdapat anak perempuan yang diumur 18 tahun belum menikah, akan menjadi perbincangan yang buruk di masyarakat. Maka hal ini akan memberikan penilaian tersendiri untuk keluarganya seperti "Wah anaknya ibuk, ga laku yaa.."
Untuk itu mereka berpendapat bahwa perempuan tidak perlu memiliki pendidikan yang tinggi, karena pada akhirnya perempuan akan berakhir untuk beraktifitas  di dapur dalam melayani suami dan anak-anaknya. Menurutnya, perempuan hanya perlu meiliki keterampilan seperti pandai measak, menjahit, membersihkan rumah, dan merawat anak, serta keterampilan lainnnya yang bermanfaat ketika anak sudah mulai berkeluarga.
Dari pendapat di atas, tentu setiap kesempatan yang di ambil meiliki konsekuensinya. Namun, menuntut ilmu setinggi-tingginya merupakan kewajiban bagi setiap laki-laki dan perempan. Untuk itu, sebagai perempuan, mereka memiliki peluang yang sangat luas untuk terus melanjutkan pendidikannya, di luar faktor-fakor yang memang mengakibatkan  perempuan untuk putus sekolah. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H