Mohon tunggu...
Renica Ryadi
Renica Ryadi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemuda, Politik, dan Kita

8 Agustus 2018   23:41 Diperbarui: 9 Agustus 2018   00:07 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Kalau sudah, sudah dibuai

Jangan harap keadilan akan datang

Kesedihan hanya tontonan

Bagi mereka yang diperbudak JABATAN!

Oh, oh, ya, oh, ya, oh, ya BONGKAR!

Lirik lagu tersebut barangkali merupakan salah satu lirik lagu termainstream yang ada di pikiran pemuda. Terutama para mahasiswa idealis yang jadi aktivis. Yang suka terjun dalam diskusi-diskusi soal kenegaraan. 

Pun demikian halnya dengan organisasi yang dimasukinya. Entah itu organisasi perjuangan, pergerakan, persatuan, dan lain sebagainya. Tak peduli itu organisasi yang (mengaku) nasionalis, agamis, sosialis, ataupun berbagai aliran yang lain.

Penindasan, serta kesewenang-wenangan

Banyak lagi, teramat banyak untuk disebutkan

Hentikan, hentikan jangan diteruskan

Kami muak dengan ketidakadilan dan keserakahan

Di jalanan, kami sandarkan cita-cita

Sedang di rumah, tak ada lagi yang bisa dipercaya

Orangtua, pandanglah kami sebagai manusia

Kami bertanya, tolong kau jawab dengan cinta...

Menilik masa lalu, lagu itu begitu indah bergaung dari mulut banyak pemuda yang berdemonstrasi, turun ke jalan menuntut tegaknya demokrasi. Lagu ini pun terus mengiringi. Hingga beberapa tahun kemudian, aksi masyarakat yang dipimpin oleh mahasiswa pun berbuah hasil. Pada pertengahan tahun 1998, rezim Orba akhirnya ambruk. HAM yang telah 32 tahun dipenjara, kembali merdeka. 

Dan lahirlah era Reformasi. Era di mana pasal 28 UUD 1945 kembali dihormati. Orang-orang bebas beraliansi, berserikat, mengeluarkan pendapat, termasuk juga terlibat dalam pesta politik. Guna berlomba mengisi jabatan-jabatan dalam instansi pemerintah, yang selama ini dikuasai nepotisme dan kolusi.

Kembali ke pemuda. Utamanya mahasiswa. Setelah perjuangan menduduki gedung DPR selama berhari-hari pada Mei 1998, para mahasiswa kemudian menyambut era baru. Era 2000. Era millenia yang penuh harapan akan teknologi yang lebih terbarukan. Pergeseran antara era 90 menuju millennia membawa banyak perubahan dalam diri mahasiswa. Zaman yang semakin maju membuat kehidupan kita semakin banyak terbantu. 

Hingga kini, hidup pun semakin instan, ringan, dan praktis. Khusus bagi para mahasiswa aktivis, organisasi tak lagi terkekang dalam rutinitas turun ke jalan. Melainkan cukup dijalankan dengan baik saja, tanpa terikat ancaman pembubaran dari penguasa.

Pergeseran adalah perubahan. Entah itu menuju lebih baik ataukah sebaliknya. Organisasi mahasiswa yang tadinya terkekang birokrasi akhirnya bebas membunga. Kembang di mana-mana. Di intra atau ekstra kampus. Bergabungnya organisasi-organisasi klasik mahasiswa  menambah keramaian perubahan. Mulai dari golongan nasionalis GMNI, hingga agamis seperti HMI. 

Entah karena terbawa arus politik bangsa atau sebab lain, organisasi-organisasi mahasiswa ini pun ikut gegap gempita menggalakkan pengaruh politis di masyarakat kampus. Maraklah kampus sebagai bukan hanya tempat belajar akademis, melainkan juga medan tempat mahasiswa mengasah kemampuan persuasi dan mengontestasikan pengaruh mereka satu sama lain.

Burukkah? Atau berpengaruh semakin baik?

Kita semua tahu kalau pemuda adalah pelumas terbaik bangsa untuk menggerakkan roda kemajuan. Hampir semua peristiwa penting dalam sejarah bangsa dimulai oleh pemuda. Ditambah intellectual skill yang terus diasah di Perguruan Tinggi, pemuda tumbuh menjadi sosok mahasiswa yang bukan hanya kritis, tapi juga handal dan relatif mampu mengendalikan diri, sebelum kemudian memutuskan segala sesuatu secara lebih obyektif, bukan hanya mengikuti emosi belaka (semoga pendapat saya sebagian besar benar). 

Setelah memiliki keilmuan yang memadai, beberapa mahasiswa (walah masih terbilang minoritas) kemudian mendidik diri mereka untuk terjun dalam pengelolaan masyarakat. Mulai dari berorganisasi hingga berpartisipasi dalam persaingan politik.

Persaingan politik kampus barangkali tidak semenarik persaingan politik dalam urusan kenegaraan. Karena persaingan politik mahasiswa relatif tidak punya motif perebutan harta, tahta, atau wanita. Persaingan politik mahasiswa kebanyakan terbentuk berdasarkan idealisme atau mungkin yang terburuk, - popularitas -. Namun secara keseluruhan, tidak ada benefit yang bisa secara instan didapat oleh mahasiswa yang berpartisipasi. 

Karena tidak ada yang namanya perebutan materi. Saat kita memikirkan/melihat organisasi mahasiswa saling adu otot dan argumen, pasti ada di antara kita yang bertanya-tanya, "Untuk apa sih mereka bersaing? Memangnya dapat bayaran?"

Pertanyaan itu barangkali menjadi pertanyaan paling menggelitik setiap jelang pemilu kampus. Belum juga dengan pertanyaan-pertanyaan lain seperti, "TS-mu berapa?", "Sudah pegang massa di kelas mana saja?", "Strategi politik di ormawa gimana?". Bak persaingan politik sesungguhnya saja.

Kesedihan hanya tontonan

Bagi mereka yang diperbudak jabatan

Sepertinya terlalu kejam bila bahasan politik dalam kampus diselingi lagu "BONGKAR". Tapi menurut penulis, tak apa. Karena beberapa kali penulis menemui ini sebagai kenyataan. Semoga saja (tidak) benar-benar relevan.

Seperti yang diketahui kita sebagai mahasiswa, setiap PT, baik swasta maupun negeri, memiliki prinsip yang dinamakan Tri Dharma. Penelitian, Pendidikan, dan Pengabdian. Seperti yang kita ketahui juga, bilamana kita adalah aktivis organisasi, organisasi tempat kita bernaung memiliki azas, prinsip, dan AD/ART yang sama sekali lurus. Mengacu pada suatu hukum yang diakui keabsahan dan bahkan keluhurannya.

Setelah kita memahami secara idealis bagaimana PT dan organisasi kita dari segi aturan dan tata tertib, nah, sekarang kita bandingkan secara realistis. Bagaimana aturan dan tata tertib itu dijalankan?

Di luar frasa politik, secara normatif nilai-nilai Tri Dharma PT dan konstitusi organisasi memang dipegang teguh oleh setiap orang yang mengaku masyarakat kampus dan atau aktivis. Namun saat suatu situasi mulai dirasuki politik, Tri Dharma dan konstitusi mulai berkurang nilai-nilainya. Entah itu dieliminir atau di-re-interpret oleh para pihak yang terlibat politik. Silakan menyebut pendapat ini tidak terlalu valid. Namun penulis sudah pernah menemui sendiri beberapa usaha meminimaliskan nilai-nilai tersebut.

Penulis berkuliah di sebuah kampus di daerah Malang. Penulis juga aktif di sebuah organisasi yang notabene populer karena pengaruh politiknya. Setelah mengikuti proses, penulis mengetahui bukan hanya organisasi tersebut yang memegang mandat kekuasaan besar atas mahasiswa secara keorganisasian. Melainkan terdapat organisasi-organisasi lain yang memiliki sama tujuan. 

Saat Pemilu Raya dimulai, timbullah tabrakan-tabrakan kepentingan. Ricuh, pertikaian di mana-mana. Masalah yang terus berlarut-larut membuat pemilu kacau dan akhirnya diundur. Bukan hanya itu saja, rupanya di beberapa waktu, terdapat oknum organisasi yang melakukan pelanggaran konstitusi. Dan ada pula pemimpin/pejabat yang tak punya inovasi, tapi dipilih karena adanya kesepakatan.

Dalam jangka panjang, pelanggaran-pelanggaran tersebut berdampak pula pada pelaksanaan Tri Dharma. Contoh ketidakmaksimalan Tri Dharma adalah terdapatnya pemimpin yang ternyata tidak kompeten, yang kemudian gagal mewujudkan tujuan organisasi yang menyangkut kepentingan masyarakat kampus. Belum lagi kurang maksimalnya mahasiswa  yang terlibat dalam proyek Tri Dharma.

Lantas apa yang harus dilakukan?

Politik memang penting. Politik mengajarkan kita untuk waspada dan mampu membaca peluang di setiap terdapat kesempatan (bukan berarti oportunis). Politik mengajarkan kita untuk mencapai tujuan-tujuan, entah dengan cara otoriter atau demokratis. Seorang mahasiswa ideal tidak seharusnya menyempitkan pandangannya tentang politik. Hal tersebut dikarenakan politik sudah ada sejak lahir, dan merupakan fitrah manusia yang diberikan Tuhan (ingat saat kita menangis sekeras-kerasnya SUPAYA diberikan air susu?)

Pada hakekatnya, politik adalah alternatif untuk mencapai tujuan tertentu. Disebut alternatif karena dalam politik, terdapat strategi-strategi yang sengaja dibuat untuk memudahkan cara tercapainya suatu tujuan. Maka dari itu, politik yang sudah "mudah" tak boleh lebih "dipermudah" lagi. Maksudnya adalah politik tidak seharusnya dibuat terlalu praktis, dengan melanggar hak-hak pihak lain. 

Pragmatis boleh, namun tetap idealis. Mengacu pada nilai dan norma yang telah diatur masyarakat dan agama. Substansi pragmatisme dan idealisme semestinya tidak berat di satu sisi. Karena politik yang terlalu pragmatis akan menampakkan sisi obsesif, yang terkesan menghalalkan segala cara untuk memenuhi ambisi. Dan politik yang terlalu idealis hanya akan mati sebelum jalan, karena terlalu kaku sehingga tak bisa menyesuaikan diri dengan terjalnya jalan politis yang harus dilalui.

Bicara soal jabatan dan kekuasaan, sungguh salah arah jika itu menjadi alasan utama bagi kita untuk berperang politik. Karena perang politik seharusnya diadakan untuk mencapai sesuatu yang lebih baik. Suatu kebaikan yang tentunya bukan hanya untuk golongan tertentu dalam suatu lingkungan saja, tapi untuk semua orang yang terikat dalam lingkungan tersebut.

Kalau kita bertanding politik hanya karena "kelompokku", "organisasiku", atau "keluargaku" saja, apa bedanya kita, para pemuda, dengan kaum tua yang pernah diperbudak jabatan di tempo dulu? Berarti kita juga menerapkan budaya KKN-nya Orba, bukan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun