Mohon tunggu...
Reni Judhanto
Reni Judhanto Mohon Tunggu... -

Seorang ibu dan wanita bekerja yang ingin mencoba menulis, meskipun sederhana saja.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Jalan Menuju Muara

13 Juni 2013   00:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:07 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul : Rantau 1 Muara Penulis : A. Fuadi Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Harga : Rp. 75.000 Tebal : xii + 407 halaman

Jalan apa yang aku tempuh? Jalur mana yang aku ambil? Sampai ke mana tujuan yang aku ingin capai? Entahlah, semuanya terasa kabur.

Perjalanan hidup tak selamanya manis, pun tak selamanya mudah. Suatu saat seseorang akan terpaksa menghentikan langkah saat tak tahu jalan mana yang harus ditempuhnya. Atau suatu saat terpaksa harus berputar arah kembali di saat menyadari bahwa jalan yang diambil tidak benar. Bahkan tak jarang akan bertemu banyak aral dan rintangan di tengah perjalanan.

Alif Fikri yang sedang dilambungkan kebanggaan luar biasa karena baru saja pulang dari Kanada sebagai Duta Muda dari Indonesia dan karena namanya mulai dikenal sebagai penulis yang patut diperhitungkan, harus menghadapi kenyataan pahit. Ijazah yang baru diraihnya plus pengalamannya di luar negeri harus berhadapan dengan krisis ekonomi dan reformasi yang justru menutup terbukanya peluang kerja.

Kebutuhan hidup tak dapat ditunda dan tak peduli krisis ekonomi. Di saat dia makin tersuruk dalam beratnya beban hidup, dia teringat akan salah satu mantra yang diperolehnya dulu di pondok pesantren. Mantra itu adalah : Man saara ala darbi washala (siapa yang berjalan di jalannya, akan sampai di tujuan). Mulai saat itulah dia mulai secara serius mencari jalan yang akan mampu mengantarkannya ke muara yang ingin ditujunya. Setelah berpikir sekian lama akhirnya dia (merasa) menemukan jalannya, yaitu :  dunia tulis menulis!

Semenjak menyadari jalan mana yang harus dipilih dan dilaluinya, dia pun mengerahkan segala daya dan upaya untuk menjalaninya. Dia yakin bahwa siapa yang menanam, dia menuai (man yazra yahsud).  Akhirnya jalan terbuka : menjadi sebuah wartawan sebuah media terkemuka di ibukota. Namun, suatu saat dia kembali mempertanyakan apakah jalan yang selama ini ditekuninya adalah jalan yang benar.

Pada saat seperti itulah Alif mulai memikirkan jalan lainnya, yaitu : mencari ilmu. Kembali dia berjuang lebih dari yang orang lain lakukan untuk dapat meraih beasiswa S-2 ke Amerika, seperti yang dicita-citakannya selama ini. Berkat kegigihan dan kerja kerasnya, dia pun berhasil memenangkan beasiswa itu dan membawanya ke kota impiannya : Washington DC.

Kuliah dan (arkhirnya) bekerja di Amerika laksana impian yang jadi nyata. Apalagi saat tak lama kemudian dia menikah dan membawa istrinya untuk hidup bersama di Amerika. Perlahan namun pasti kehidupan makin terasa mudah dan menyenangkan. Alif pun makin yakin akan jalan yang tengah dilaluinya. Namun ternyata, muara itu bukanlah Amerika.

******

Novel pamungkas dari Trilogi Negeri 5 Menara ini memang tetap semenarik kedua novel pendahulunya. Benar kata Andrea Hirata (penulis tetralogi Laskar Pelangi) bahwa orang Melayu sangat pandai bercerita. A.Fuadi adalah salah satu buktinya. Kedua novel terdahulunya best seller, jadi tak mengherankan apabila penulis dan juga hasil karyanya berhasil meraih beragam penghargaan sejak tahun 2010 hingga tahun 2013 ini. Dunia sastra Indonesia patut berbangga karenanya.

Harus diakui bahwa Trilogi Negeri 5 Menara memang memiliki daya tarik. Yang pertama tentu saja adalah gaya bercerita A.Fuadi memang menarik, hingga pembaca tak akan bosan membaca rangkaian kata-kata yang dipilihnya. Yang kedua, Trilogi Negeri 5 Menara adalah novel inspiratif. Pembaca akan terinspirasi sekaligus termotivasi saat dan setelah membaca karya A.Fuadi ini.

Ketiga novel dalam Trilogi Negeri 5 Menara ini memang serupa tapi tak sama. Persamaannya adalah :

  • ketiganya selalu menyertakan legenda (keterangan yang berupa simbol-simbol pada peta agar peta mudah dimengerti oleh pembaca) di balik saampulnya.  Pada novel pertama di balik sampul depan, pada novel kedua dan ketiga di balik sampul depan dan belakang.
  • Ketiganya selalu menyelipkan "mantra" yang akan memotivasi pembaca. Novel pertama : man jadda wajada (siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil). Novel kedua : man shabara zhafira (siapa yang bersabar akan beruntung). Novel ketiga: man saara ala darbi washala (siapa yang berjalan di jalannya akan sampai ke tujuan).

Perbedaan muncul pada desain sampulnya. Jika novel pertama dan kedua didominasi warna kuning-coklat, tapi di novel ketiga justru dominan warna biru kehijauan. Selain itu, sampul Rantau 1 Muara terasa lebih "sepi" dibandingkan kedua novel pendahulunya, tapi justru itu daya tariknya. Adanya tambahan perahu kecil yang hanya berpenumpang 2 orang (Alif dan Dinara, istrinya) justru sangat kuat menggambarkan perantauan yang jauh dan melelahkan menuju muara!

Masih berkutat pada sampul novel, jika novel pertama sampulnya masih "biasa" tapi di novel kedua dan ketiga sudah berbeda. Untuk novel kedua, sampul bagian belakang lebih panjang dari sampul depan dan dilipat jadi dua. Sementara untuk Ranah 1 Muara, sampul depan dan belakang sama-sama panjang dan dilipat jadi dua. Memang desain yang menarik sebenarnya, tapi hal itu justru menyulitkan pemilik buku untuk menyampulnya. Hal ini tentu tak menjadi masalah bagi pembaca yang tak ingin menyampul novelnya. Rasanya perlu dipikirkan solusi lain untuk mendesain sampul agar tetap menarik, namun tetap bisa disampul dengan rapi.

Sebagai "pelengkap" adalah pembatas buku yang menarik. Jika pada novel pertama tak ada pembatas bukunya, namun di novel kedua dan ketiga sudah ada pembatas buku dengan model yang menarik. Mungkin pembatas buku adalah hal "sepele" tapi sangat berguna bagi pembaca. Memang menyenangkan jika tersedia pembatas buku yang menarik dan dengan desain yang unik. Hal itu tentu saja akan menambah nilai plus sebuah buku.

Pemilihan huruf  dan besaran huruf dalam Rantau 1 Muara (dan kedua novel pendahulunya) sudah sesuai sehingga mata pembaca tak akan lelah dalam membacanya. Editingnya juga sangat rapi, sehingga nyaris sempurna. Hanya pada halaman 150 di dua baris terakhir itu, rasanya akan lebih pas jika ada tanda baca titik (.) antara kata "terpesona" dan "Raisa". Selain itu, karena pengetahuanku tentang Bahasa Indonesia memang terbatas, aku jadi kagok saat menemukan pemenggalan kata yang tak biasa kulakukan, yaitu : "ken-apa" (halaman 130 baris ke-7).

Yang terasa agak berlebihan adalah halaman "tentang penulis" karena muncul 2 kali, di halaman 399-401 dan juga di bagian sampul belakang. Mungkin akan lebih baik jika "tentang penulis" ini muncul satu kali saja. Dan untuk novel yang aku punya (mungkin ini hanya kesalahan dalam penjilidan saja), halaman i-ii dobel alias ada dua. Semoga ini hanya terjadi pada novel yang kumiliki saja.

Pada prinsipnya Novel Ranah 1 Muara ini sangat menarik dan bermanfaat. Pembaca akan mendapatkan banyak sekali nasehat yang memotivasi. Selain itu novel ini akan membuka wawasan pembaca tentang dunia jurnalistik dan juga bagaimana cara mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri. Pembaca juga akan belajar untuk ikut mencari jalan yang harus ditempuhnya dan juga hakikat  hidup.

Sebagaimana tertulis dalam sinopsis di cover belakang buku bahwa "hakikatnya hidup adalah sebuah perantauan. Suatu masa akan kembali ke akar, ke yang satu, ke yang awal. Muara segala muara." Sebuah perantauan tak akan pernah melalui sebuah perjalanan yang mudah dan menyenangkan. Selama kita tetap sabar dan konsisten berjalan di jalan yang benar, maka kita akan sampai juga ke muara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun