Berlanjut ke pembicaraan lebih jauh mengenai proses pembuatan telur puyuh. Mas Dwi mengungkapkan bahwa burung puyuh yang siap menetas adalah burung puyuh yang sudah berusia 45 hari.Â
Dalam produksi telur puyuh ini, beliau memilih membuat inkubator sebagai tempat reproduksi burung puyuh secara mandiri, karena harga inkubator yang dijual di luar terbilang mahal.Â
Dalam Produksi telur puyuh tidak diperlukan burung puyuh jantan untuk membuahi, hal tersebut karena akan mempengaruhi produksi telur yang terlalu banyak dan menjadikan telur-telur cepat busuk. Kemudian, dalam pemberian makan burung puyuh menggunakan makanan pabrik, dan pembersihan kandang dilakukan setiap hari.
Proses pendistribusian telur puyuh awalnya dilakukan dengan cara ditawarkan ke warung-warung di Desa Blacanan. Kemudian, seiring dengan berjalannya waktu pendistribusian dilakukan secara eceran dan kardusan ke pedagang pusat yang datang atau bisa dikatakan sudah ada pembeli langganan. Sistematis penjualan ecer perkilonya dipatok dengan harga Rp35.000,00 dan kardusan dipatok harga Rp260.000,00 dengan isi 750 butir telur puyuh.
Produksi telur puyuh dalam proses pembuatannya juga harus menghadapi beberapa kendala. Satu kendala datang dari kondisi ketika perubahan cuaca, seperti suara petir yang teramat keras akan mengakibatkan telur-telur burung puyuh pecah.Â
Selanjutnya, perubahan cuaca juga mampu membuat kondisi burung puyuh menjadi rentan terkena penyakit dan berakhir mati. Kedua, yaitu belum adanya peran dan dukungan pemerintah desa dalam pengembangan usaha telur puyuh. Resiko dalam produksi telur puyuh itulah kiranya yang mengakibatkan masih sedikitnya minat para masyarakat untuk ikut terjun di usaha telur puyuh.Â
Di samping belum ada pengalaman tersendiri dalam produksi telur puyuh, resiko banyaknya burung puyuh yang mati karena perubahan cuaca atau kesalahan perawatan juga menjadi ketakutan masyarakat ketika akan mencoba usaha telur puyuh.
Terlepas dari resiko dalam produksi telur puyuh, permintaaan masyarakat akan telur puyuh terbilang cukup tinggi. Namun, permintaan tersebut tidak diimbangi dengan ketersediaan produsen telur puyuh.Â
Hal tersebut mampu membuat keteteran produsen telur puyuh dalam hal ini Mas Dwi, sehingga dalam pemenuhan pesanan telur puyuh harus distok dari produsen luar kota.Â
Seperti halnya Mas Dwi yang mendapat stok telur puyuh dari daerah Solo. Keadaan semacam ini tidak seharusnya bertahan lama, dari itu harapan yang datang semoga masyarakat Pekalongan khususnya Desa Blacanan tergerak hatinya dan berani untuk terjun ke dunia usaha telur puyuh.