Politik di Indonesia menjadi sesuatu yang unik. Politik adalah hal yang sangat disenangi sekaligus sangat dibenci oleh rakyat Indonesia. Dua hal yang sangat kontras.
Disenangi karena harta dan kekuasaan yang otomatis akan menaikkan status sosial dari rakyat menjadi PEJABAT. Dibenci karena selalu membuat rakyat sebagai objek yang dipecundangi.
Jauh di negeri debu yang sedang hiruk pikuk dengan persiapan pemilukada yang berlangsung sekitar satu pekan lagi, balada politik kembali menjadi parodi tersendiri.
Sekedar informasi, negeri debu ini berdebu bukan karena pembangunan infrastruktur yang sedang berlangsung. Tetapi karena jalanannya memang penuh debu dengan tonjolan batu-batu kecil membuat rakyatnya sendiri menamainya dengan "negeri debu".
Negeri debu ini dahulu digadang-gadang akan dijadikan kota internasional oleh sang pemimpin. Berbagai fasilitas olahraga, sekolah, rumah sakit mulai dibuat dengan taraf internasional. Setelah sang pemimpin naik tingkat menjadi pejabat provinsi, ambisinya coba direalisasikan pada kota metropolis dengan berbagai cara.
Sang anak pemimpin pun menjadi pengemban amanah rakyat dan berkantor di ibukota. Ternyata jabatan ini (mungkin) belum cukup bagi sang anak. Sehingga ia berpikir, mungkin negeri debu bisa menjadi objek pengejawantahan ambisi. Entah...ambisi siapa...
Momen yang pas ketika rakyat negeri ini akan memilih sang pemimpin. Pemimpin yang diharapkan bisa megubah negeri debu. Mungkin menjadi negeri aspal atau negeri cor.
Hal biasa yang menjadi permasalahan dalam pemilihan adalah mengenai Daftar Pemilih Tetap (DPT). Pihak penyelenggara pemilihan negeri debu sebelumnya sudah melakukan analisis dan tindakan terhadap mata pilih ganda (bahkan trio atau kwartet) untuk kemudian diserahkan kembali dan diperbaiki oleh panitia kecamatan.
Disinilah terjadi parodi kecil yang dimainkan oleh gerombolan sang anak pemimpin. Tak lama berselang dari penyerahan mata pilih ganda oleh penyelenggara pemilihan, segerombol orang berdemo meminta pengunduran jadwal pemilukada. Alasannya karena terjadi kecurangan dengan banyaknya mata pilih ganda di DPT.
Parodinya adalah mereka berdemo dengan teriakan lantang di depan kantor penyelenggara pemilihan. Padahal bukti-bukti yang dibawa oleh gerombolan tersebut merupakan hasil analisis dari penyelenggara pemilihan negeri debu itu sendiri.
Parodi kedua, gerombolan tersebut datang menggunakan mobil bis yang biasa mengangkut mahasiswa. Otomatis mereka mengaku sebagai mahasiswa. Tetapi, tidak ada satupun dari mereka yang mengenakan almamater.