Mohon tunggu...
AR Renhoran
AR Renhoran Mohon Tunggu... Guru - Kita Belajar Karena Kita Manusia

Penulis dan Akademisi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jakarta, Ibu Bagi Kita Semua

6 September 2018   10:40 Diperbarui: 11 Oktober 2019   01:36 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

JAKARTA, Kota dengan artis FTV terbanyak se-Indonesia yang saya diami hampir 8 tahun lamanya itu mengandung banyak cerita dan derita. Salah satu cerita indahnya ialah tentang kenangan saat Pilpres 2009 dan 2014 bersama Pilkada di dalamnya. Selain itu, ada pula derita -- derita indah yang dirasakan semenjak menjadi Mahasiswa yang nomaden (baca berpindah kosan), sekaligus pengalaman menjadi Guru honorer di salah satu Sekolah Menengah Pertama di Jak-Sel.

Jujur, Jika Pak SBY pernah berkata "I Love the United States with all it's fault. I consider it my second Country", maka I'll said those into Jakarta too. Bagaimana tidak, Jakarta bagi saya memang menjalankan peran sebagaimana julukan yang dinisbat kepadanya yakni 'Ibu'. Seorang wanita dewasa yang berperan tidak hanya membesarkan anaknya saja, tapi juga membantunya menemukan sebuah identitas diri.

Dan benar, saya merasa telah menemukan jati diri saat itu. Jakarta melalui 'belaian -- belaiannya' yang kasar tapi manja telah menempa mental saya. Segala kebijakan manis maupun pahit darinya, dengan senang hati saya telan dan cerna bersama makanan yang saya beli dari gerai -- gerai fast food di bawah lampu jalan bertenaga surya.

Usia memang terus bertambah, namun Jakarta bisa dibilang semakin Millenialssaja rupanya. Betapa tidak, Jakarta oleh Majalah Pariwisata Conde Nast Traveler tahun 2017, menempatkannya sebagai Kota ter Instagramable peringkat ke 8 di bawah New York, Moscow, London, Sao Paolo, Paris, Los Angeles, dan Saint Petersburg, serta berada di atas Istanbul dan Barcelona.

Maklum, jumlah pengguna Media sosial 'dokumentasi pribadi' ini mencapai 45 Juta dan itu yang terbanyak di dunia loh. That's why, semua orang yang ke Jakarta, wajib bawa kamera. LOL.

Jakarta itu ibarat syurga yang membuat sebagian besar orang tergila -- gila. Maksud saya, bukan hanya pengertian 'syurga' secara harafiah saja akan tetapi di Jakarta memang banyak terdapat orang gila alias sakit jiwa. Data dari Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, ada sekitar 20 persen warganya mengalami gangguan kejiwaan. 

Selain itu, data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta menyebutkan bahwa jika jumlah penduduknya adalah 10 juta, maka ada sekitar 2 juta orang mengalami gangguan jiwa. Sebagian besar dari gangguan tersebut berasal dari ragam depresi di Ibu Kota. Depresi yang lahir dari tekanan ekonomi, pergaulan sosial, macet dan belum lagi karena gagalnyaleg. Sebutlah orang yang tergila -- gila dengan harta, tahta dan Isyana karena tak mampu meraih itu semua, akhirnya menjadi gila.

Dari pembahasan mengenai 'orang gila' kita beralih ke pembahasan 'orang beriman'. Jakarta sebagai representasi dari Negara mayoritas Muslim tentu sangat mempriortaskan urusan ibadah. Ibadah bagi sebagian ummat Islam tak bisa dilepas pisahkan dari rutinitas sehari -- hari. Live style umpamanya. Sudah seperti menjadi kewajiban bagi Kota -- kota besar bahwa simbol 'kapital' mereka salah satunya ada pada pusat perbelanjaan yang kerap kita sebut mall.

Sebagai pasar moderen yang ramah ummat Islam, mall harus mampu menjawab berbagai kebutuhan pengunjung maupun pembelinya. Pelbagai fasilitas wajib disediakan guna memanjakan mereka. Mulai dari brand Islami, ruang istirahat yang syar'i, sampai Mushola atau Masjid yang megah dan nyaman. Lagi -- lagi Jakarta pun mampu menjawab itu semua.

Masjid al -- Hidayah di Gandaria City Mall dan Masjid Blok A di Tanah Abang. Bagi yang sudah pernah mengeyam ibadah disana pastilah akrab dengan suasananya. Padahal salah satu dari Masjid itu pemiliknya non Muslim. Seolah, orientasi bisnis berbanding lurus dengan misi toleransi beragama di Indonesia.

Semua kemewahan yang terkandung di dalam Kota Jakarta tentu adalah hasil buah tangan para Pemimpin Daerah yang pernah membersamainya. Datangnya saya ke Jakarta waktu itu masih zamannya Gubernur Bapak Fauzi Bowo yang akrab di sapa Bang Foke. Dari sekian banyak kebijakan bliyo, yang paling saya nikmati adalah bisa keliling Jakarta dengan biaya hanya tiga ribu lima ratus rupiah saja dalam naungan Bus Transjakarta.

Waktu itu KRL Ekonomi masih belum ber AC dan berangin alami berpintu. Jasa transportasi online juga mungkin belum terpikirkan mas Nadiem yang sedang sibuk nyusun di Harvard.Bas wey adalah primadonanya transportasi masal ibu kota saat itu.

Menurut bekas Kepala Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta tahun 2014, Udar Pristino bahwa di zaman Foke baru terdapat 38 -- 40 unit bus saja. Sedangkan di masa jabatan Gubernur Jokowi pada 2012, Pemprov harus rela merogoh kocek sampai 1 triliyun untuk 656 unit (tempo.co). Tentunya dengan tujuan yakni mengurai kemacetan akibat meningkatnya jumlah pengguna kendaraan pribadi.

Harapan masyarakat ibu kota itu kini masih menggantung indah di angkasa sebab para pengguna kendaraan pribadi masih belum tertarik dengan moda transpotasi masal tersebut. Namun demikian, saya tetap memilih menggunakan jasa transportasi massal sebab diantara kerumunan para penumpang itu, mungkin saja terselip jodoh didalamnya.

Usai menang dalam Pilkada 2012, Jokowi dipercaya sebagai Kapten untuk membawa Pemprov DKI Jakarta menang dalam pembangunan Infra serta suprastruktur di Indonesia. Gubernur yang terkenal medok itu berhasil menorehkan tinta perak sependek masa jabatannya. Mulai dari menaikkan Upah Minimum Provinsi  DKI Jakarta menjadi 2,44 juta rupiah per 2013 hingga Lelang Jabatan yang kontroversional dan masih banyak lagi.

Beberapa kebijakan itulah yang sukses menariknya untuk duduk rileks di singasana RI 1 mengalahkan lawannya Prabowo pada Pilpres 2014 silam. Hengkangnya Jokowi dari Jkt (tanpa 48) memaksa wakilnya Basuki Tjahaja Purnama atau akrab disapa Ahok menjadi penggantinya.

Sosok pemimpin yang kerap di bully karena ras dan agama itu sempat menuai banyak prestasi juga kontroversi. Ahok yang terkenal tegas dan suka marah -- marah melebihi ibu mertua itu terus menjadi buah bibir penduduk DKI Jakarta dan seluruh Indonesia. Selesai dilantik hari Rabu 19 November 2014 oleh 'mantannya' Jokowi, Ahok melesat cepat dengan setumpuk kebijakan baru didampingi Djarot Sjaiful Hidayat sebagai Wakil Gubernur.

Semasa mereka menjabat sekurang -- kurangnya ada 5 kebijakan utama yang mereka terapkan. Larangan bagi pengendara motor, Pergub tentang ERP, Kegiatan Agama di Monas, Reklame LED dan penataan Kampung Akuarium. Kelima kebijakan itu pun yang akhirnya sukses di hapus oleh Gubernur baru yakni Anis Baswedan.

Bagi saya siapapun Pemimpin Ibu Kota Jakarta kemarin, hari ini dan besok nanti mereka tentu membawa perubahan bagi kita semua. Saya sangat merindukan kembali saat -- saat belajar di tengah para gadis modis di Pusat Belanja, Tawar menawar harga dengan supir Bajaj BPG serta mengerjai orang baru di HalteCommuter Line dan di toilet bandara.

Harapan saya semoga Jakarta akan terus menjadi Ibu bagi Kota -- kota di Indonesia. Dimana dia akan terus menjadi contoh bagi mereka serta senantiasa konsisten 'menyuapi' anak -- anaknya dengan APBN yang berlimpah. Semoga.

Oleh : AR Renhoran

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun