Mohon tunggu...
Frater Milenial (ReSuPaG)
Frater Milenial (ReSuPaG) Mohon Tunggu... Lainnya - Seseorang yang suka belajar tentang berbagai hal
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Jika Anda tidak mampu mengerjakan hal-hal besar, kerjakanlah hal-hal kecil dengan cara yang besar (Napoleon Hill)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Keris Pusaka dalam Budaya Jawa (Part 2)

19 Oktober 2021   10:30 Diperbarui: 19 Oktober 2021   10:31 721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keris Pusaka Raja (boombastis.com)

Pemahaman orang Jawa tentang simbol

Manusia berpikir dan mengekspresikan pemikiran serta perasaanya lewat simbol. Simbol menjadi mediator pemikiran manusia dengan alam sekitarnya. Simbol juga mempresentasikan secara paling murni struktur pengantara dalam kosmos. Tanpa simbol manusia tidak mampu bergaul dan berkomunikasi dengan lingkungannya secara tuntas dan maksimal. Simbol merupakan tanda atau kata yang digunakan untuk mewakili sesuatu yang lain dan memberitahukan sesuatu kepada seseorang. Dengan simbol manusia mampu mencapai tujuan hidupnya yang tinggi. Manusia dapat didefinisikan sebagai animal symbolicum.[1] 

1. Keris sebagai simbol keselarasan dan kesatuan hidup manusia

Keteraturan kosmos yang selalu berulang terus-menerus menjadi titik berangkat pemahaman orang Jawa tentang manusia. Orang Jawa menyakini bahwa sebagaimana unsur kosmos yang memiliki tempat dan tugasnya masing-masing, manusia juga pada dasarnya telah memiliki tampat masing-masing dalam tata-kosmos ini. Manusia secara kodrati berbeda satu dengan yang lain secara hierarkis, yakni manusia telah diatur dengan tegas satu dengan yang lain oleh suatu kekuatan yang berada di luar dirinya. Dengan demikian keselarasan kehidupan manusia dapat tercapai bila orang tidak menyimpang dari apa yang telah ditentukan pada dirinya.

Orang Jawa menyakini bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta ini memiliki hubungan satu dengan yang lain. Kehidupan di dunia yang aman, damai, dan sejahtera merupakan cerminan kesatuan segala unsur alam semesta yang berjalan seimbang. Hubungan dan keseimbangan inilah yang harus terus dijaga dan dilestarikan oleh manusia. Keretakan hubungan dan kekacauan yang muncul akan membawa bencana bagi roda kehidupan di dunia, termasuk kehidupan manusia sendiri.

Kekacauan atau keretakan hubungan harus dipulihkan agar situasi yang mapan dapat terwujud kembali. Oleh karena itu, situasi kekacauan itu harus dipulihkan dengan mengadakan aneka upacara tradisional, misalnya dengan menghormati aneka benda pusaka. Pada masa kerajaan-kerajaan Jawa, orang Jawa menyakini bahwa benda-benda pusaka mampu menghubungkan manusia pada kekuatan magis yang turut berpengaruh dalam seluruh tata-kehidupan alam semesta.

Keris dalam kehidupan orang Jawa memperoleh tempat yang istimewa. Dalam dimensi magis-religius, keris diyakini mengandung kekuatan-kekuatan magis. Keris juga dirawat dan dihormati dalam acara-acara ritual tertentu. Kegiatan ini merupakan salah satu cara orang Jawa untuk memohon penyertaan dan perlindungan dari kekuatan yang terdapat dalam keris tersebut.

2. Hierarki Keris sebagai Simbol Keselarasan

Konsep perbedaan dan keselarasan hidup manusia dalam alam pemikiran Jawa secara jelas ditunjukkan dengan simbol keris. Orang Jawa menggunakan keris sebagai media untuk menyampaikan suatu konsep pemikiran mereka tentang manusia. Pemahaman tentang manusia dapat disingkapkan dengan mencermati benda simbolis yang hidup ditengah masyarakat Jawa. Konsep tentang manusia, yakni bahwa manusia secara kodrati tidak sama satu dengan yang lain, tergambarkan dengan terang pada perbedaan aneka jenis keris. Orang Jawa menyakini bahwa keris berbeda satu dengan yang lain.

Perbedaan keris yang tersusun secara hierarkis, ialah: Pertama, hierarkis keris dilihat dalam keampuhan dan usia keris. Keris yang berusia lebih tua dan dibuat oleh empu pada zaman lampau diyakini memiliki kekuatan yang lebih dibandingkan keris yang dibuat pada masa sesudahnya.[2] Keris pusaka yang dibuat oleh empu pertama dan dijadikan pola dalam pembuatan keris berikutnya dianggap memiliki kekuatan yang paling tinggi. Keris ini menempati tingkat pertama dan utama untuk segala keris yang memiliki pola yang sama. Kedua, struktur hierarkis keris dapat juga dicermati dalam tata-cara pemberian keris pada zaman kerajaan. Sistem pemberian hadiah keris pusaka di pulau Jawa pada masa kerajaan mengikuti hierarki kedudukan dan jabatan seseorang. Seorang raja sebagai penguasa akan memberikan hadiah keris pusaka kepada menteri, senopati, adipati, prajurit, pendeta, pujangga, dan sebagainya. Keris pusaka yang diperuntukkan bagi jabatan tertentu tidak dapat diberikan kepada orang yang memiliki jabatan berbeda. Keris pusaka untuk jabatan mahamenteri tidak akan diberikan kepada adipati, prajuti atau pendeta. Keris pusaka diberikan kepada para pejabatan atau juga kepada rakyat yang dipercaya oleh raja dengan tujuan untuk mendukung sistem keamanan dan menjaga kesejahteraan kerajaan.[3] 

Keris yang tersusun secara hierarkis tetap memiliki keselarasan satu dengan yang lain karena keris pusaka yang dianggap paling tinggi kekuatannya melindungi keris yang kekuatannya lebih redah.[4] Sebaliknya keris yang lebih rendah kekuatannya tetap memiliki ketergantungan dan kesatuan dengan yang lebih tinggi. Semua keris tetap merupakan satu kesatuan dan masing-masing tetap memiliki fungsi dan daya yang berbeda-beda. Keamanan dan kesejahteraan hidup masyarakat dalam suatu kerajaan dapat tercipta apabila semua keris (milik raja ataupun rakyat) sama-sama digunakan sebagai alat penjaga kerajaan.[5]

3. Keris sebagai Simbol Kesatuan Raja-Rakyat[6]

Raja dalam masyarakat Jawa adalah orang yang memiliki kekuasaan. Raja merupakan pusat mikrokosmos kerajaan dan duduk di puncak hierarki status. Orang jawa percaya bahwa raja adalah satu-satunya medium yang menghubungkan dunia mikrokosmos dengan dunia makrokosmos. Raja dianggap memiliki kekuatan-kekuatan magis yang melekat pada benda-benda suci yang dimilikinya. Rakyat sangat menghormati dan mengangungkan raja karena dialah penguasa mereka. Sebaliknya, raja juga memiliki kewajiban untuk membawa rakyat ke dalam situasi yang aman dan damai sejahtera. Untuk itulah raja dan rakyat harus menjalin hubungan yang akrap dan menciptakan kesatuan.

Kesatuan raja dan rakyat dilukiskan dengan suatu konsep Jumbuhing kawula-gusti (kesatuan hamba-tuan). Konsep tersebut berawal dari para penganut mistik kebatinan yang hidup di kalangan orang Jawa. Mistik kebatinan memang dianggap wadi (rahasia) dan hanya diperoleh oleh segelintir orang, namun mistik kebatinan ini sangat terkenal di segala lapisan masyarakat. Dari sudut pandang aliran mistik kebatinan, konsep jumbuhing kawula-Gusti pada dasarnya menggambarkan tujuan tertinggi hidup manusia, yaitu mencapai "kesatuan" akhir yang sesungguhnya dengan Tuhan (manunggal). Persatuan antara manusia dengan Tuhan hanya mungkin terjadi apabila ada ikatan-ikatan tertentu atau ada sifat manusia yang secitra dengan Tuhan. Menurut orang Jawa sifat yang sama ini terletak pada hakikat yang paling dalam dari Tuhan dan manusia yang diungkapkan dengan kata sukma. 

Konsep jumbuhing kawula-gusti dalam dimensi sosial-psikologis lebih menunjukkan hubungan saling ketergantungan yang erat antara dua hal yang berbeda namun tidak dapat dipisahkan. Dalam masyarakat Jawa status yang tertinggi terletak pada raja dan status yang lebih rendah adalah rakyat. Raja dan rakyat berbeda satu dengan yang lain, baik dalam fungsi maupun tugasnya, namun keduanya harus menjalin kesatuan untuk mewujudkan keselarasan dan kesejahteraan. Seorang raja harus memberikan sesuatu yang bermakna bagi rakyatnya. Raja (penguasa) seharusnya tidak bertindak sewenang-wenangnya. Tidak dikuasai nafsu dan pamrih karena apabila tidak berlaku demikian kekuasaanya akan surut atau lenyap. Keadilan dan kemakmuran diharapkan mengalir dari atas, yaitu dari pemimpin kepada seluruh warga. Demikian juga rakyat harus menghormati pemimpin dan bertanggung jawab atas segala tugas yang mereka emban. Raja disebut pamong dan rakyat sebagai momongan. Raja memiliki tanggungjawab dan kewajiban untuk menjaga, mengasuh, membimbing, dan menciptakan situasi yang aman dan damai bagi masyarakatnya. Demikian juga rakyat, sebagai orang yang diperintah, harus mengabdi dengan penuh kesetiaan. Pengabdian rakyat kepada rajanya diperkokoh dengan keyakinan bahwa takdir atau nasib telah menentukan tempat yang layak baginya dalam hierarki sosial.

Jumbuhing kawula-gusti dalam situasi dimensi sosial-psikologis, yaitu antara raja dan rakyat yang disimbolkan dalam keris. Kesatuan antara bilah dan warangka mempunyai makan simbolik sebagai kesatuan antara raja dan rakyat. Kedua bagian keris bilah dan warangka, secara mestik melukiskan hubungan saling ketergantungan. Warangka melindungi bilah agar tidak rusak atau tidak membahayakan; sebaliknya bilah melindungi warangka agar tidak hilang atau dicuri. Bilah keris menyimbolkan raja sebagai bagian inti, pokok, dan sebagai pusat kekuatan yang memimpin kerajaan. Bilah keris harus sesuai dengan pola keris atau memiliki dapur keris sehingga keris tersebut memiliki identitas. Demikian juga raja, yang disimbolkan dengan bilah, harus layak dan sesuai dengan patokan bagi rakyat (warangka).

4. Keris sebagai simbol Kesatuan Manusia dengan Tuhan

Totalitas diri manusia seharusnya terarah pada tujuan hidupnya yang terakhir. Seluruh kedirian manusia ditujukan pada makna akhir hidupnya, yakni kesesuaian hidup manusia dengan tujuan akhir yang paling menentukan. Secara umum orang jawa berpandangan bahwa manusia sesungguhnya memiliki satu tujuan dan makna dalam hidupnya, yaitu manuggal (bersatu) dengan Tuhan. Upaya manusia untuk mengusahakan keselarasan dan kesatuan dengan sesama dan kosmos merupakan bagian dari keinginan manusia untuk manunggal (bersatu) dengan Tuhan. Perjalanan hidup manusia diarahkan pada pencaharian asal-usul hidupnya, menyadari kehadiran Tuhan dalam kehidupan sehari-hari, dan akhirnya bersatu dengan-Nya secara penuh. Perjalanan hidup manusia sampai pada manunggal kawula-Gusti secara simbolik dapat dicermati dalam keris. Masing-masing unsur keris menggambarkan usaha manusia untuk bersatu dengan Tuhan.

Manusia memiliki kesadaran sehingga ia mampu memahami eksistensinya sebagai manusia. Dalam usaha menuju kesatuan dengan Tuhan, manusia harus memberikan sumbangan yang berguna dalam kehidupan bersama yakni  mempunyai pengaruh positif dalam kehidupannya secara pribadi dan bersama.

Perjalanan manusia menuju persatuan dengan Tuhan ini secara simbolis digambarkan dengan pembuatan keris secara ritual oleh sang empu keris. Empu keris adalah orang yang memiliki kemampuan tertentu untuk menghasilkan keris pusaka yang diyakini mengandung kekuatan-kekuatan magis. Keampuhan kekuatan magis yang terdapat dalam keris tergantung dari daya kesaktian sang empu keris.[7] Dalam kehidupan sosial masyarakat jawa, empu adalah orang yang mampu berelasi dengan kekuatan-kekuatan adimanusiawi sehingga mereka dihormati dalam masyarakat.

Seorang empu keris yang bernama Empu Jeno Harumbrojo menuturkan bahwa ketika ia hendak membuat keris tayuhan, ia harus memusatkan seluruh dirinya kepada Yang Maha Agung. Ia akan melakukan tapa dan menjalin relasi yang intim dengan Yang Maha Agung. Hal ini dilakukan agar permohonannya kepada Yang Maha Agung, yaitu kekuatan keris dapat dikabulkan.[8] Usaha yang dilakukan oleh sang empu dalam pembuatan keris adalah menjalankan aneka latihan diri seperti bertapa, puasa, berdoa, pantang seks, dan sebagainya. Tujuannya adalah supaya dapat bersatu dengan Tuhan dan pada akhirnya segala permohonannya dikabulkan. Hasil dari kepasrahan diri kepada Tuhan dan sikap yang hidup yang baik ialah keris pusaka yang berguna, yakni keris berisi "wahyu" dari Tuhan.[9]

Catatan Kaki

[1] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar Harapan, 1994), hlm. 171.

[2] Linus Suryadi A.G., Regol Megal Megol.., hlm. 23.

[3] Linus Suryadi A.G., Regol Megal Megol.., hlm. 30-31.

[4] Linus Suryadi A.G., Regol Megal Megol..., hlm. 23.

[5] Linus Suryadi A.G., Regol Megal Megol..., hlm. 26-27.

[6] Fachry Ali, Refleksi Paham Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern (Jakarta: Gramedia, 1986), hlm 35-42.

[7] Linus Suryadi A.G., Regol Megal Megol.., hlm. 44.

[8] Linus Suryadi A.G., Regol Megal Megol.., hlm. 57.

[9] Linus Suryadi A.G., Regol Megal Megol.., hlm. 88.

Daftar Kepustakaan

  •  K. Ismunandar, P. M. Misteri Keris. Semarang: Dahara Prize, 1985.
  •  Doyodipuro, Ki Hudoyo. Keris: Daya Magic-Manfaat-Tuah-Misteri. Semarang: Dahara Prize, 1999.
  •  Soekiman, Djoko. Keris: Sejarah dan Fungsinya. Yogyakarta: Proyek Javanologi, 1983.
  •  Supanto dan Siti Dloyana (ed). Upacara Tradisional Siraman Pusaka Kraton Yogyakarta. Yogyakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokemtasi Kebudayaan Daerah, 1988.
  •  Suryadi A. G., Linus. Regol Megal Megol: Fenomenologi Kosmogoni Jawa. Yogyakarta: Andi Offset, 1993.
  •  Ali, Fachry. Refleksi Paham 'Kekuasaan Jawa' dalam bahasa Indonesia Modern. Jakarta: Gramedia, 1986.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun