1. Latar Belakang Pembahasaan
Pada sebuah keluarga Jawa, manakala kehidupannya masih sedikit punya konvensi tradisi keluarga Jawa, maka dalam simpanan lemarinya dapat diduga keluarga Jawa punya Keris Pusaka.
[1] Di desa dan di kota, kelurga miskin dan kaya, di keluarga priyayi dan petani, di kelurga pejabat dan pedagang, tidak menjadi soal. Pihak-pihak tesebut menyimpan piranti hidup berupa Keris Pusaka.
Dalam paradigma hidup berkebudayaan dalam komunitas Jawa, secara fenomenal bahwa tradisi keluarga Jawa dan Keris Pusaka itu pada hakikatnya identik. Dalam keluarga Jawa akan menganggap bahwa Keris Pusaka merupakan sebuah piranti hidup. Keris Pusaka bukan sekedar barang antik yang disimpan dalam lemari, dan diperlakukan sebagai perangkat asesori bagi keluarga mapan.
Dalam keluarga jawa istilah pancer, ialah cikal bakal yang secara turun-temurun dianggap sebagai babon keluarga Jawa. Demikian pun dalam jagad Keris Pusaka. Istilah pancer juga dikenal baik, yaitu cikal-bakal Keris Pusaka yang secara turun-temurun dijadikan pola dalam pembuatan. Dari situ, pada segi makna dan esensinya terdapat kesejajaran antara pancer sebuah keluarga Jawa dan pancer sebuah Keris Pusaka.
Pihak yang dianggap wajib ngopeni (merawat) keris pusaka dalam pranata tradisi kebudayaan Jawa adalah pihak kepala rumahtangga.[2] Walaupun dalam kelurga Jawa tersebut punya anak laki-laki banyak, namun bila mereka belum membangun rumah tangga, maka kedudukan mereka tetap sebagai dari batih, anggota keluarga. Manakala anak lelaki sudah membangun keluarga baru, maka dia berhak mewarisi tradisi keluarga Jawa untuk merawat Keris Pusaka.
Â
2. Pengertian Keris
Keris terdiri dari dua bagian besar yaitu bagian luar (warangka atau sarung keris) dan bagian dalam (bidah atau badan keris). Warangka merupakan "pakaian" bilah keris yang memiliki dua model yaitu warangka gayaman (Surakarta) dan warangka ladrang (Yogyakarta). Warangka gayaman merupakan model sarung keris yang digunakan pada saat suasana santai. Model ini biasanya digunakan oleh para orangtua. Warangka ladrang merupakan model sarung keris yang dipakai pada saat upacara -- upacara resmi.[3] Bilah keris terdiri dari dua bagian utama, yaitu pesi dan ganja. Ukuran panjang keris yang lazim adalah antara 33-38 cm, namun ada juga keris berukuran tidak lebih dari 10 cm, misalnya keris kecil bernama Nogokikik. Keris yang baik harus dibuat dan ditempa dari tiga macam logam, minimal dua macam yakni besi, baja, dan bahan pamor. Ketiga bahan itu dipadukan hingga menjadi bilah keris yang terkesan seram tapi indah. Keris memiliki ujung yang tajam dan bermata dua, bilahnya ada yang lurus dan ada yang berkeluk-keluk.[4] Pembuatan keris ini berlangsung lama dan disertai tapa, rumusan doa tertentu, serta askese oleh empu yang membuatnya.
Keris sesungguhnya merupakan suatu cetusan daya cipta yang diwujudkan oleh empu keris dengan mengolah bahan-bahan tertentu. Proses pengolahan itu menghasilkan detail-detail manifestasi segala harapan dan maksud yang dipadatkan dalam bentuknya yang abstrak pada lempengan besi, baja, dan pamor.[5] Selain menampilkan keindahan fisiknya, keris juga mengandung getaran-getaran daya magis yang kuat.[6] Keris dibuat sebenarnya bukan sekedar sebagai senjata, tetapi sebagai benda pusaka yang memiliki kekuatan yang tidak kasatmata. Keris pusaka harus dibuat dalam suasana doa dan tapa.[7] Sang empu berusaha menjalin relasi dengan Gusti (Tuhan) untuk mohon kekuatan tertentu yang "dimasukkan" ke dalam keris. Setelah pembuatan keris selesai, pemilik keris juga harus menghormati dan merawat keris tersebut. Keris menjadi media orang Jawa untuk menjamin keselarasan yaitu keselarasan hidup dengan sesama, kosmos, dan terlebih dengan Gusti.
3. Fungsi Keris