Mohon tunggu...
Frater Milenial (ReSuPaG)
Frater Milenial (ReSuPaG) Mohon Tunggu... Lainnya - Seseorang yang suka belajar tentang berbagai hal
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Jika Anda tidak mampu mengerjakan hal-hal besar, kerjakanlah hal-hal kecil dengan cara yang besar (Napoleon Hill)

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Imamat dalam Perutusan Gereja (PO, No 1-3)

24 September 2021   11:35 Diperbarui: 24 September 2021   11:37 889
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Imamat dalam Perutusan Gereja (Dok.Pri)

IMAMAT DALAM PERUTUSAN GEREJA 

Menurut PRESBYTERORUM ORDINIS (PO), no. 1-3

"Dektrit tentang Pelayanan dan Kehidupan Para Imam"

1. Pengantar

          Secara umum jati diri seorang imam berasal dari imamat Kristus sendiri dan mengambil bagian dalam imamat-Nya. Imam dipanggil dan diutus untuk menjadi sarana bagi Allah dalam mewartakan Injil di tengah-tengah dunia yang seringkali mengalami perubahan begitu mendalam. Ia merupakan representasi Kristus di tengah-tengah dunia. Melalui sakramen tahbisan, ia dipercayakan Allah untuk menjadi pewarta sabda, pelayan sakramen dan menjadi gembala di tengah umat. Hal yang mesti dilakukan imam ialah bagaimana ia mampu untuk ada bersama Kristus dan bekerja seperti Kristus di tengah dunia. Oleh karena itu, ia dituntut untuk senantiasa menghadirkan Kristus dalam hidup, karya dan reksa pastoral secara lebih efektif. [1]

          Imamat bagaikan mutiara yang disimpan di dalam bejana tanah liat. Bejana ini, yakni pribadi imam yang sangat sarat dengan kerapuhan memiliki di dalam dirinya imamat Yesus Kristus yang suci dan agung. Oleh karena itu, dalam perjalanan karya pastoral dan dalam perjalanan zaman, imam harus mempertahankan imamat yang suci itu dalam dirinya yang rapuh. Bahkan lebih dari itu, imamat itu bukan saja dipertahankan akan tetapi harus dibela oleh imam itu sendiri. [2] 

2. Imamat: Yesus Kristus, umum dan Pelayanan

2.1 Imamat Yesus Kristus [3]

          Dalam surat kepada Orang Ibrani, Kristus disebut sebagai imam agung, karena memiliki sifat imami sebagaimana dituntut. Pertama, Ia adalah sungguh-sungguh manusia dan menjadi benar-benar saudara di antara saudara-saudara-Nya. "Ia harus menjadi sama dengan saudara-saudara-Nya dalam segala hal, supaya ia menjadi imam agung yang berbelas kasihan" (Ibr 5:1-2). Seluruh perjuangan-Nya menghadap umat, menunjukkan kelemahan-Nya sebagai manusia. "Ia mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia, yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut; dan karena kesalehan-Nya, Ia telah didengarkan" (Ibr 5:7).

          Kedua, Ia menjadi pengantara umat. Ia mewakili umat manusia dan atas nama mereka, Ia menghadap Allah bagi mereka. Ia menjadi pokok keselamatan abadi bagi semua orang yang patuh kepada-Nya. Tuntutan imamiah ini berakar dalam inti kodrat-Nya, sehingga Ia dapat menjadi pengantara yang sempurna. Dari satu pihak, Kristus adalah manusia seperti kita, dan di lain pihak, Ia adalah Putera Allah. Ketiga, Ia mempersembahkan korban. Korban yang dimaksudkan adalah diri-Nya. Berkaitan dengan itu, Kristus hanya satu kali mengorbankan diri-Nya untuk menanggung dosa banyak orang. Ia telah masuk satu kali untuk selama-lamanya ke dalam tempat yang kudus dengan membawa korban darah-Nya sendiri. Dan, kita telah dikuduskan satu kali untuk selama-lamanya oleh persembahan tubuh Yesus Kristus. Oleh satu korban saja, Ia telah menyempurnakan untuk selamanya mereka yang Ia kuduskan.

          Singkatnya, Kristus adalah imam agung, karena seluruh hidup-Nya dipandang sebagai satu persembahan yang hidup dan berkenan kepada Allah demi dosa-dosa manusia. Yesus mempersembahkan diri-Nya sendiri kepada Allah mulai dari saat penjelmaan-Nya sebagai manusia. Dengan demikian, pada saat penjelmaan-Nya, Yesus sendiri dilukiskan sebagai imam dan korban. Inti dan puncak imamat-Nya adalah saat kematian dan pemuliaan-Nya: waktu Yesus mempersembahkan diri-Nya sendiri di salib sebagai persembahan yang tidak bercacat, akan menyucikan hati nurani kita dari perbuatan-perbuatan yang sia-sia (Ibr. 9:14), dan masuk ke dalam tempat yang kudus dengan membawa darah-Nya sendiri (Ibr 9:12).

          Salib adalah korban yang sungguh-sungguh sempurna, satu kali untuk selama-lamanya. Tidak ada korban lain yang sepadan dengan korban Kristus di salib. Yang dipersembahkan kepada Bapa korban penghapus dosa manusia. Menurut rencana Ilahi, menurut apa yang disampaikan Kristus melalui penampakan-Nya sesudah kebangkitan, keselamatan ilahi menunjukkan bahwa satu korban yang sempurna ini diperbaharui dalam setiap waktu dan tempat di bumi sebagai peringatan bahwa semua orang dapat diperkenankan untuk mengambil bagian dalam buah keselamatan-Nya.

2.2 Imamat Umum Kaum Beriman

          Dalam Sakramen Permandian, umat beriman dipersatukan dengan Kristus. Karena persatuan itu umat beriman mengambil bagian pada hidup-Nya yang terwujud dalam Imamat Agung-Nya dan mengambil bagian pada imamat-Nya. Oleh rahmat Permandian, umat beriman digabungkan dalam tubuh Gereja. Gereja mewarisi seluruh tugas perutusan Kristus sebagai nabi, imam dan raja. Setiap orang beriman berkat permandian menerima perutusan Kristus ini. Pembaptisan mencantumkan panggilan untuk menghayati hidup di dunia ini sebagai "Korban Rohani" (Rm 12:1). Dengan demikian, umat beriman menyelenggarakan satu "leitourgia" atau tindakan imam yang mempersembahkan ibadatnya kepada Tuhan. [4]

Ilustrasi Imamat dalam Perutusan Gereja (Dok.Pri)
Ilustrasi Imamat dalam Perutusan Gereja (Dok.Pri)
2.3 Imamat Pelayanan

          Imamat pelayanan merupakan martabat yang diperoleh berdasarkan rahmat Sakramen Tahbisan dalam Kristus. Karena itu dapat dikatakan bahwa Imamat pelayanan adalah Imamat Sakramental. Imamat Sakramental mengenal tiga tingkatan yaitu Tabhisan Diakon, Imam, dan Uskup. Sakramen Imamat ini diberikan dengan penumpangan tangan oleh Uskup disertai dengan doa tahbisan sesuai dengan buku liturgi menurut ritus yang bersangkutan. Uskup ditahbiskan melalui penumpangan tangan oleh uskup-uskup tetangga. [5]

          Penumpangan tangan mengungkapkan permohonan akan turunnya Roh Kudus atas calon Uskup, lalu dilanjutkan doa tahbisan. Dari doa tersebut, terungkap tugas-tugas Uskup, seperti memimpin umat, memohonkan rahmat bagi umat, memimpin Ekaristi. Uskup juga diberi kuasa untuk menahbiskan, melepaskan dosa orang, dan melepaskan belenggu orang. Imam juga ditahbiskan oleh Uskup. Bersama para imam, Uskup menumpangkan tangan ke atas kepala calon. Uskup mendoakan doa tahbisan. Imam adalah pembantu dan penasihat Uskup, ia membantu Uskup dalam pentahbisan, ikut bersama Uskup mengucapkan doa Ekaristi, mewakili Uskup memimpin Ekaristi apabila ia tidak bisa hadir, dan mengajar umat. Dan yang terakhir adalah diakon. Diakon ditahbiskan oleh Uskup melalui penumpangan tangannya dan doa tahbisan. Hanya uskup yang menumpangkan tangan ke atas calon diakon sebab ia ditahbiskan untuk membantu Uskup, terutama di bidang pelayanan orang-orang sakit pada jemaat. [6]

3. Gereja dalam Pembaharuan Konsili Vatikan II

          Gereja dalam pembaharuan konsili Vatikan II adalah "gereja secara keseluruhan". Konsep gereja secara keseluruhan dapat digambarkan sebagai berikut: "Allah mencintai manusia". Allah memberikan diri-Nya di setiap tempat dan segala zaman. Pemberian diri Allah mengundang manusia untuk mengambil keputusan dalam segala segi. Mereka yang memberikan keputusan positif terhadap kehendak yang menyelamatkan itu disebut Gereja. Karena karya penyelamatan meliputi seluruh dimensi, maka tidak ada ruang tanpa dimensi sakral. Satu-satunya batas antara yang sakral dan yang profan adalah penolakan manusia yang radikal terhadap Allah yang menyelamatkan. Disinilah Gereja merupakan Sakramen Allah yang mencintai dunia. Dengan demikian, gereja juga merupakan wujud historis dan simbolis dari keselamatan. [7]

4. Hakekat Imamat menurut Presbyterorum Ordinis

          Konsili Vatikan II yang memberi kita cara pandang (insight) baru atas Gereja, juga mengharuskan kita melihat imam (imamat pelayanan) dengan sudut pandang yang baru. Gereja sudah sejak lama, sejak Gereja purba, dalam terang Perjanjian Baru, menganggap imam sebagai pengantara Allah dan umat yang diberi kuasa Kultis. Imamat pelayanan dilihat sebagai panggilan khusus sebagai wakil Allah dalam masyarakat gereja sekaligus dunia yang terpisah dari mereka "yang berdosa" itu. [8] Kini tentu pandangan tersebut berubah seiring dengan refleksi baru mengenai Gereja.

          Dalam terang Konsili Vatikan II, hakekat imamat mendapat artinya dari hakekat Gereja secara keseluruhan. Tugas dan fungsi imam tidak melulu hanya tentang merayakan Misa (kultis) melainkan menjalankan tugas dan fungsi pokoknya yang harus ada di dalam Gereja dan demi keseluruhan atau keutuhan Gereja. Pertanyaan tentang hakekat imamat tidak terbatas pada: apa-apa saja yang menghantar imam pada kepenuhan tugas imamatnya saja tetapi juga pada kepenuhan tugas perutusan gereja. [9] Kini, tugas imam bukan sekadar menjadi wakil Allah yang terpisah sama sekali dengan umat yang berdosa tetapi sebagai pelaksanaan kepenuhan Gereja sebagai keseluruhan: melayani in persona Christi demi Kemuliaan Allah Bapa dalam Kristus.

4.1 Imamat: Menjadi Pelayan 

          Gereja adalah Populus Sacerdotalis atau Umat Imami artinya Umat yang ikut ambil bagian dalam tugas imamat Kristus. Kristus Imam Agung adalah Kepala tubuh mistik yakni Gereja. Maka gereja juga adalah umat imami. "Dan datanglah kepada-Nya, batu yang hidup itu, yang memang dibuang oleh para pembangun tetapi yang dipilih dan dihormati di hadirat Allah. Dan biarlah kamu juga dipergunakan sebagai batu hidup untuk pembangunan suatu rumah rohani, bagi suatu imamat kudus, untuk mempersembahkan persembahan rohani yang karena Yesus Kristus berkenan kepada Allah" (1Ptr 2:4-5; bdk. PO 2; SC 7; LG 9).

          Tidak semua anggota tubuh mempunyai tugas yang sama (bdk. Rm 12:4). Oleh karena itu, agar umat beriman makin berpadu menjadi satu Tubuh, maka Tuhan mengangkat di tengah mereka beberapa anggota menjadi pelayan. Mereka yang diangkat menjadi pelayan dianugerahi kuasa Tahbisan suci untuk membina dan memimpin umat imami, melaksanakan kurban Ekaristi dalam pribadi Kristus dan mempersembahkannya kepada Allah atas nama seluruh umat, mengampuni dosa-dosa serta menjalankan tugas imam secara resmi atas nama Kristus. Inilah perbedaan mendasar antara imamat kaum beriman awam dan imamat tertahbis. [10]

          Imamat penuh ada dalam diri Uskup, sementara para imam mengambil bagian dalam imamat uskup. Maka, tugas pelayanan yang diterima oleh para Uskup secara langsung sebagai penerus para Rasul dari Kristus, pada tingkat yang terbawah diserahkan kepada para imam. Dengan demikian para imam menjadi rekan-rekan kerja para Uskup dalam melaksanakan misi kerasulan yang mereka terima dari Kristus.

          Dengan ambil bagian dalam imamat Uskup, para imam ikut menyandang kewibawaan Kristus sendiri untuk membangun (menjadi raja), menguduskan (menjadi imam) dan membimbing (menjadi nabi) Tubuh-Nya. Rahmat sakramen imamat menjadikan imam untuk serupa dengan Kristus Sang Imam sehingga ia mampu bertindak dalam pribadi Kristus Sang Kepala atau dengan kata lain imam sebagai pelayan bertindak in persona Christi. [11]

4.2 Imamat: Bertindak in Persona Christi

          Berkat karunia tahbisan, para imam memiliki relasi yang sangat akrab dan dekat dengan Kristus. Imam dikaruniai rahmat oleh Allah untuk menjadi pelayan Kristus di tengah umat. Para imam dengan menunaikan tugas Injil yang suci, membawa persembahan umat untuk disucikan dalam Roh Kudus supaya berkenan kepada Allah. Melalui pelayanan para imam, korban rohani kaum beriman mencapai kepenuhannya dalam persatuan dengan korban Kristus Pengantara tunggal. Korban ini berpuncak dalam korban Ekaristi sampai Tuhan datang kembali. [12]

          Peran imam sangat sentral dalam perayaan Ekaristi karena mereka bertindak sebagai in persona Christi dan pemimpin yang melayani misteri Allah. Para imam dalam mempersembahkan Ekaristi adalah pemimpin yang kreatif sekaligus setia pada kaidah-kaidah liturgi serta membangun disposisi kudus dan hormat. Berkenaan dengan peran imam sebagai in persona Christi, Yohanes Paulus II mengatakan demikian:

          "Imam mempersembahkan kurban Suci "in persona Christi". Artinya, imam lebih daripada mempersembahkan atas nama atau sebagai pengganti Kristus. In persona Christi berarti dalam identifikasi sakramental khusus dengan Imam Agung abadi yang adalah autor dan subjek utama dari kurban itu. Suatu kurban dalam arti sesungguhnya tidak seorang pun dapat menggantikan Dia. Imam, dalam melaksanakan kurban Suci bertindak in persona Christi." [13]

          Pelayanan para imam sebagai in persona Christi merupakan tugas agung. Dengan peran itu, para imam bertanggungjawab untuk memberikan kesaksian akan kehadiran Kristus melalui pelayanannya bagi umat yang hadir saat ia memimpin Ekaristi kudus. Yohanes Paulus II melanjutkan bahwa tugas utama para imam ialah mewakili Kristus, sehingga tangan, kata dan kehendak para imam telah menjadi alat-Nya. Para imam, sebagai pelayan suci bertanggung jawab mempersembahkan roti dan anggur, mengkonsekrasikannya dan membagikannya kepada semua yang hadir dalam perayaan Ekaristi. Lebih lanjut, Yohanes Paulus II menjelaskan tentang tanggung jawab para imam, in persona Christi, dalam memimpin perayaan Ekaristi dalam pribadi Kristus. Karena itu, mereka perlu mengupayakan kesaksian diri terhadap pelayanan komuni bukan saja bagi komunitas yang langsung ambil bagian dalam perayaan itu, tetapi juga bagi Gereja universal sebagai bagian dari Ekaristi. [14]

4.3 Imamat: demi Kemuliaan Allah Bapa dalam Kristus

          Tujuan yang hendak dicapai oleh para imam melalui pelayanan maupun hidup mereka ialah kemuliaan Allah Bapa dalam Kristus. Kriterianya bukan semata-mata terletak pada diri imam: imam yang taat melaksanakan tugas-tugas imamatnya, imam yang memisahkan diri dari dunia demi kekudusannya. Kemuliaan itu tercapai, "bila orang-orang secara sadar, bebas dan penuh syukur menerima karya Allah yang terlaksana dalam Kristus, dan menampakkan itu melalui seluruh hidup mereka". [15]

          Oleh karena itu, segala karya dan pelayanan imam tertuju demi keselamatan jiwa-jiwa: umat beriman dan bahkan semua manusia. Imam membantu sesamanya dalam kehidupan ilahi mereka masing-masing dengan  "meluangkan waktu bagi doa dan sembahsujud, mewartakan sabda, mempersembhkan Korban Ekaristi, menerimakan Sakramen-sakramen lainnya, dan menjalankan pelayanan-pelayanan lain seturut dengan perutusan Gereja". [16]

5. Situasi Para Imam di Dunia

          Tuhan Yesus, Putera Allah, manusia yang oleh Bapa diutus kepada sesama manusia, tinggal di antara kita, dan dalam segalanya hendak menyerupai saudara-saudari-Nya, kecuali dalam hal dosa (Ibr 2:17; 4:15). Para Rasul pun sudah mengikuti teladan-Nya dan bersaksilah Santo Paulus, Guru para bangsa, yang "disendirikan untuk Injil Allah" (Ro. 1:1). Paulus telah menjadi segalanya bagi semua orang, untuk menyelamatkan semua orang. Begitu pulalah, para imam, yang dipilih dari antara manusia dan ditetapkan bagi manusia dalam hubungan mereka dengan Allah, untuk mempersembahkan persembahan dan korban bagi dosa-dosa, bergaul dengan orang-orang lain bagaikan dengan saudara-saudari mereka.

          Oleh karena panggilan dan tahbisan, para imam dalam arti tertentu disendirikan dalam pengakuan umat Allah, tetapi bukan untuk dipisahkan dari umat atau dari sesama manapun juga, melainkan supaya sepenuhnya ditakdiskan bagi karya, yakni tujuan mengapa Allah memanggil mereka. Melalui misteri Kristus, para imam menghayati aneka pelayanannya, disaturagakan ke dalam misteri Gereja, yang menyadari dalam iman, bahwa kenyataannya tidak berasal dari dirinya, melainkan dari rahmat Kristus melalui Roh Kudus. Demikianlah dalam arti ini, sementara imam berada dalam Gereja, ia juga ditempatkan dihadapannya.

          Para imam tidak akan mampu menjadi pelayan Kristus, seandainya mereka tidak menjadi saksi dan pembagi kehidupan lain dari pada hidup di dunia ini. Begitu pun juga, para imam tidak akan mampu melayani sesama, seandainya mereka tetap asing terhadap kehidupan serta situasi sesama. Para imam tidak dapat mengalienasi diri dari kenyataan dunia ini yang multidimensi. Pada dasarnya, imamat tidak lahir dari sejarah, melainkan dari kehendak Allah yang pantang berubah. Namun, imamat itu menanggapi situasi historis, dan demi tetap setia terhadap hakekatnya, melalui pilihan-pilihan yang khas diserasikan lewat hubungan kritis dan tuntutan keselarasan Injili dengan "tanda-tanda zaman". [17] Oleh sebab itu, supaya para imam jangan menyesuaikan diri dengan dunia ini, tetapi sekaligus meminta juga, supaya di dunia ini mereka hidup di tengah masyarakat, dan sebagai gembala-gembala yang baik mengenal domba-domba mereka, dan berusaha mengajak domba-domba juga, yang tidak termasuk kawanan, supaya mereka pun mendengarkan suara Kristus, dan terjadilah satu kawanan dan satu Gembala.

         Pentinglah peranan keutamaan-keutamaan, misalnya kebaikan hati, kejujuran, keteguhan hati dan ketabahan, semangat mengusahakan keadilan, sopan santun dan lain-lain, yang dianjurkan oleh Rasul Paulus dengan pesannya, "... Semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap di dengar, semua yang disebut kebajikan dan patut di puji, pikirkanlah semuanya itu" (Flp 4:8).

6. Yesus Kristus sebagai Pusat Spiritualitas Pelayanan Imam

          Spiritualitas imam berpusat pada Yesus Kristus, Imam Agung. Kristus sebagai Imam Agung bertanggungjawab terhadap kehendak Bapa dan persoalan manusia. Hal ini terbukti lewat pengudusan diri-Nya melalui salib dan kebangkitan-Nya. Dengan demikian, kepemimpinan Kristus sebagai kepala dihadirkan oleh para imam yang secara istimewa diberi karisma menghadirkan Kristus sebagai kepala yang memimpin dan melayani seluruh umat-Nya. Karisma tersebut diberikan melalui rahmat tahbisan imamat kepada para imam. Maka, sifat kepemimpinannya adalah menghadirkan kepemimpinan Kristus (imam, nabi dan raja) sebagai kepala yang melayani seluruh umat untuk bertumbuh menuju kedewasaan penuh dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus. [18]

          Menjadi pengikut Kristus berarti menjadi pelayan yang rela memberikan dirinya sendiri untuk orang lain (Yoh 13:12-17). Imam sebagai perwujudan Kristus di dunia ini hendaknya menjadi wadah untuk melayani. Sebagaimana Kristus melayani, maka imam juga harus menemukan pelayanannya dan mengambil bagian dalam pelayanan Kristus. Dasar pelayanan imam adalah sakramen tahbisan.[19] Kekhasan kepemimpinan imam adalah panggilan untuk melayani. Hal ini berpedoman pada misi Kristus sendiri, yakni datang untuk melayani, bukan untuk dilayani (Mrk 10:41-45). Setiap imam yang dipercayakan untuk memimpin menampilkan diri sebagai seorang pelayan. Ia dipanggil untuk melayani, bukan untuk memerintah ataupun menguasai umat yang dipercayakan kepadanya (1Ptr 5:3). [20] Kitab Suci menunjukkan bahwa dasar kepemimpinan seorang imam adalah pelayanan (Diakonia). Pelayanan berarti mengubah orientasi diri sendiri kepada kepentingan orang lain. [21]

7. Refleksi Pastoral

          Para imam, berkat karunia tahbisan dan perutusan yang diterima dari tangan uskup menyerupai Yesus Kristus dan ambil bagian dalam kewibawaan Kristus membimbing Gereja melalui Roh Kudus. Yohanes Paulus II mengungkapkan bahwa para imam yang ditakdiskan melalui sakramen Tahbisan diwarnai, dibentuk dan ditandai dengan cara berpikir dan bertindak seperti Yesus Kristus. Oleh karena itu, para imam harus menjadi teladan bagi kawanan Domba Allah dan pola pelayanannya menjadi panutan bagi umat seraya membebaskan diri dari kecongkakan atau keinginan untuk menguasai mereka yang dipercayakan kepadanya (1 Ptr 5:2-3).[22]

          Paulus Yohanes II dengan tegas mengatakan bahwa dalam Ekaristi para imam bertindak sebagai in persona Chisti. Para imam diberi rahmat untuk melayani Ekaristi sebagai pribadi Kristus bukan berlaku seolah-olah Ekaristi adalah tindakan atau milik mereka sendiri. [23] Menyadari realita di atas, para imam perlu waspada dan bersikap arif terhadap pengaruh negatif dari mentalitas narsisisme. Kecenderungan narsisistik berpotensi membuat para imam jatuh ke dalam dosa. Dengan karakter haus pujian, mudah cemburu dan iri hati, menjadikan diri pusat perhatian, sikap arogan, sombong, megah diri dan egoisme dari narsisisisme dapat membawa para imam pada dosa memberhalakan diri sendiri. Para imam harus menyadari dan mengetahui bahwa Ekaristi bukan panggung narsisistik, melainkan peristiwa sakral yang mempersatukan umat Allah untuk bersyukur dan memuji Tuhan yang telah menebus manusia dalam kurban Putera-Nya. Oleh karena itu, berhadapan dengan budaya narsisisme, para imam harus kembali pada kesadaran akan panggilan mereka sebagai pelayan Allah yang dipanggil untuk hidup kudus dan serupa dengan Yesus Kristus, Sang Kurban Ekaristi. Dengan demikian, para imam tidak menjadikan Ekaristi suci sebagai kesempatan untuk pamer dan mewartakan diri sendiri, melainkan bertindak dan berkata-kata atas dan dalam nama Yesus Kristus. [24]

 

#Catatan Kaki

[1] Kus Aliandu, Fungsi Imamat ..., hlm. 69; bdk. Konsili Vatikan II, "Dekrit Tentang Pelayanan dan Kehidupan Para Imam" (Presbyterorum Ordinis -- PO), dalam Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI -- Obor, 1993), no. 1. Penulisan selanjutnya Dekrit Tentang Pelayanan dan Kehidupan Para Imam disingkat PO diikuti nomor.

[2] Anselmus Leu, Spiritualitas Imam: Menghidupkan Kembali Spiritualitas Tahbisan (Yayasan Pustakan Nusatama: Yogyakarta, 2004), cover belakang.

[3] Kus Aliandu, Fungsi Imamat ..., hlm. 37-39.

[4] Kus Aliandu, Fungsi Imamat ..., hlm. 72-73.

[5] Kus Aliandu, Fungsi Imamat ..., hlm. 76-77.

[6] Kus Aliandu, Fungsi Imamat ..., hlm. 77-78.

[7] Anselmus Leu, Spiritualitas ..., hlm. 88.

[8] Anselmus Leu, Spiritualitas ..., hlm. 88.

[9] Anselmus Leu, Spiritualitas ..., hlm. 89.

[10] PO, no. 2; bdk. LG, no.10; bdk. juga Anselmus Leu, Spiritualitas Imam ..., hlm. 23.

[11] Pembahasan mengenai imam sebagai raja, imam, dan nabi secara khusus dibahas dalam Bab II Presbyterorum Ordinis tentang fungsi para imam.

[12] PO, no. 2.

[13] Yohanes Paulus II, Surat kepada Semua Uskup Gereja tentang Misteri dan Ibadat Ekaristi Suci, diterjemahkan oleh J. Riberu (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI - Obor, 1980), no. 8.

[14] Yohanes Paulus II, Surat kepada ..., no. 11.

[15]  PO, no. 2.

[16] PO, no.2.

[17] Yohanes Paulus II, Directory on the Ministry and Life of Priest (Direktorium tentang Pelayanan dan Hidup Para Imam) (Seri Dokumen Gerejawi No. 48), diterjemahkan oleh R. Hardawirjana (Jakarta: Departemen Dokumantasi dan Penerangan KWI - Obor, 1994, no. 12.

[18] Robert Hardawiryana, Spiritualitas Imam Diosesan Melayani Gereja di Indonesia Masa Kini (Kanisius: Yogyakarta, 2000), hlm. 49.  

[19] Konsili Vatikan II, "Dekrit Tentang Kerasulan Awam" (Apostolicam Actuositatem -- AA), dalam Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI -- Obor, 1993), no. 2. Penulisan selanjutnya Dekrit Tentang Kerasulan Awam disingkat AA diikuti nomor.

[20] Brian. P. Hall, Panggilan Akan Pelayanan: Citra Pemimpin Jemaat (judul asli: Shepherds and Lovers, A Guide to Spiritual Leadership and Christian Ministry), diterjemahkan oleh J. Drost (Jakarta: Kanisius, 1992), hlm. 17.

[21] Istilah diakonia dipakai dalam Kitab Perjanjian Baru yang menunjukkan bahwa kedudukan dan tugas perutusan dalam Gereja adalah demi pelayanan kepada jemaat (Kis 1:17-25); bdk. PO, no. 6.

[22] PO, no. 21.

[23] PO, no. 5.

[24] PO, no. 12.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun