Rencana keselamatan Allah bagi manusia sudah dimulai sejak awal penciptaan. Namun rencana tersebut mencapai kepenuhannya dalam diri Yesus Kristus, Putera Allah yang menjadi manusia. Berkat wafat-Nya di salib, Kristus menyelesaikan karya penyelamatan Allah bagi manusia. Wafat Yesus di salib merupakan penebusan bagi semua orang. Dialah Putera Allah dan Pribadi Manusia yang utuh dan sempurna yang hadir secara nyata dalam realitas historis dan pengalaman manusia.
Penebusan Kristus merupakan anugerah Roh Kudus yang menuntut kerja sama dari manusia demi keselamatan manusia sendiri. Peristiwa inkarnasi Kristus merupakan tindakan Allah untuk keselamatan kepada manusia. Keselamatan itu tidak hanya dianugerahkan kepada orang yang secara eksplisit menjadi anggota Gereja, tetapi keselamatan itu ditawarkan kepada semua orang.
1. Â Yesus Kristus sebagai Pewahyuan Diri Allah
Agama Kristiani hidup dari keyakinan iman bahwa Allah secara istimewa mewahyukan diri-Nya dalam Yesus Kristus. Isi dan wujud dari puncak pewahyuan diri Allah itu adalah Yesus Kristus merupakan "cerita Allah" bagi manusia. Schillebeeckx merekonstruksi isi dan wujud pewahyuan Allah dalam diri Yesus Kristus dan hal ihwal tentang Dia dalam peristiwa Yesus Kristus, terutama diri pribadi Yesus Kristus, hidup dan karya pewartaan (baik melalui perkataan maupun perbuatan), wafat dan kebangkitan serta kemuliaan-Nya untuk menegaskan bahwa Dia sungguh Allah dan sungguh manusia.
Selama Yesus hidup di dunia dan dalam menjalankan misi pewartaan-Nya tampak makna kasih universal dan tanpa syarat dari Allah sendiri kepada manusia. Kenyataan ini disampaikan dalam bentuk perumpamaan dan sabda bahagia tentang datangnya Kerajaan Allah.
Kabar gembira yang diwartakan ini diwujudkan dalam praktik hidup Yesus sendiri: "Dalam mukjizat-mukjizat yang Ia kerjakan, dalam sikap kasih-Nya kepada para pemungut bea cukai dan pendosa, dalam tawaran-Nya kepada para pengikut-Nya untuk turut serta dalam perjamuan bersama, dalam sikap-Nya terhadap hukum, terhadap Sabat, terhadap Bait Allah, serta dalam hidup bersama dengan murid-murid-Nya". Atas dasar hubungan yang sangat erat dengan Allah Bapa, Yesus menyatakan bahwa terdapat kaitan yang sangat erat dan tidak terpisahkan antara diri dan hidup-Nya. Dengan perwujudan dan kedatangan Kerajaan Allah, dalam diri dan hidup-Nya Allah sendiri bertindak, Allah sendiri hadir.
Berkaitan dengan pengalaman penderitaan dan wafat-Nya, secara teologis penting untuk membedakan: apakah Yesus Kristus menghayati pengalaman tersebut semata-mata sebagai nasib dan kegagalan atau apakah Ia menghayatinya dalam penyerahan diri yang bebas dalam iman akan kesetiaan Allah dan masa depan yang akan dianugerahkan-Nya. "Karena seandainya Yesus menghayati penderitaan dan wafat-Nya sebagai nasib dan kegagalan karya-Nya, maka peristiwa wafat itu mungkin masih menjadi alasan bagi tindakan pewahyuan baru dari Allah dan kekuasaan-Nya. Tetapi peristiwa wafat itu sendiri tidak dapat dipahami lagi sebagai peristiwa keselamatan dan ungkapan kasih Allah kepada manusia".
Dengan membangkitkan Yesus, Allah mengoreksi apa yang diperbuat manusia terhadap Yesus. Yesus Kristus, dalam pewartaan dan praksis hidup-Nya dinyatakan benar oleh Allah. Dengan demikian, Allah menganugerahkan masa depan kepada Yesus Kristus sebagai nabi eskatologis. Dengan kehadiran Yesus di dunia ini, Allah telah mewahyukan diri sebagai "Deus Humanissimus" (Allah adalah Kasih tanpa syarat yang membebaskan).
Peristiwa pewahyuan dalam diri dan hidup Yesus Kristus sekaligus merupakan peristiwa keselamatan bagi manusia. Tanpa mengabaikan peran sentral peristiwa penderitaan dan wafat Yesus Kristus, paham tradisional tentang keselamatan yang hanya membatasi diri pada peristiwa salib ditolak. Peristiwa salib itu harus dilihat dalam kaitannya dengan keseluruhan peristiwa Yesus Kristus.Â
"Tanpa pewartaan Yesus maka tidak terwahyukan bagi kita bahwa Allah adalah kasih yang tak bersyarat dan hadir bagi manusia. Tanpa kesediaan Yesus menjalani kematian, tidak terwahyukan bagi kita kesungguhan dan tekad tak terbatalkan dari Kasih itu. Tanpa kebangkitan Yesus, tidak terwahyukan bagi kita kesetiaan unggul Allah dan kuasa-Nya yang mengatasi kematian". Oleh karena itu, makna terpenting dari peristiwa Yesus Kristus adalah pewahyuan Diri Allah sendiri yang adalah Cinta Kasih kepada manusia, demi keselamatan manusia dan seluruh ciptaan. Maka, pewahyuan diri Allah dalam Yesus Kristus berkat Roh Kudus sebagai Kasih merupakan kebenaran dasar iman Kristiani.
1.1 Â Yesus Kristus sebagai Immanuel
Penulis surat kepada orang Ibrani mengatakan: "Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada" (Ibr 1:1-2). Pembicaraan mengenai Yesus Kristus pada akhirnya harus ditempatkan dalam kerangka pewahyuan Allah kepada manusia untuk mewujudkan karya penyelamatan Allah bagi manusia, karena Allah mewahyukan diri melalui karya penyelamatan-Nya dalam sejarah manusia.
Melalui Yesus Kristus Allah menyapa manusia dan melaksanakan karya-Nya di tengah manusia. Injil Yohanes berbicara mengenai Firman yang "menjadi manusia dan diam di antara kita" (Yoh 1:14), sementara Paulus berbicara mengenai Kristus Yesus "yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia" (Fil 2:6-7). Oleh karena itu, Schillebeeckx menegaskan bahwa pewahyuan diri Allah dinyatakan dalam kesediaan-Nya untuk menjadi manusia. Dalam diri Yesus Kristus, Allah menjelma, menyapa manusia dan menyatakan karya keselamatan kepada manusia.
1.1.1 Â Yesus Kristus sebagai Perwujudan Kerajaan Allah
Kerajaan Allah adalah misi fundamental dalam pewartaan Yesus Kristus. Kerajaan Allah menjadi titik tolak dari misi Yesus untuk keselamatan manusia. Wujud nyata dari misi itu adalah membuka pintu keselamatan bagi semua orang. Kerajaan Allah sudah ada dalam diri Yesus. Kerajaan Allah itu hadir dalam sabda-sabda-Nya.
Dengan sabda-Nya, Yesus mewartakan kasih karunia Allah kepada kita. Allah akan memulihkan hubungan mesra antara manusia dengan Allah sendiri. Dalam bentuk perumpamaan, Yesus menyampaikan bahwa Allah adalah kasih. Allah mencari dan menanti kedatangan anak-anak-Nya (Luk 15). Wujud kasih Allah dinyatakan dalam tindakan-Nya yang menyembuhkan, membebaskan dan menyelamatkan. Dia menjadikan "orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan, dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik" (Luk 7:22). Tindakan Yesus ini menjadi tanda-tanda yang menyertai datangnya Kerajaan Allah, ketika Allah memulihkan segala sesuatu. Mukjizat-mukjizat yang dibuat Yesus juga merupakan tanda karya Allah kepada manusia.
Kerajaan Allah sudah hadir dan nyata dalam pribadi Yesus. Kehadiran-Nya membawa pembebasan dan keselamatan hidup manusia dari kuasa dosa. Hal itu nyata dalam kata-kata Yesus: "Jika Aku mengusir setan dengan kuasa Allah, maka Kerajaan Allah sudah ada padamu" (Luk 11:20; bdk. Mat 12:28). Demikianlah karya Yesus menunjukkan Allah yang hadir, Allah yang bekerja di tengah manusia. Hal ini ditunjukkan dengan sikap hidup-Nya yang mau bergaul dengan orang-orang pendosa, dengan mereka yang tersingkirkan dari masyarakat. Bahkan Diapun mengindentikkan diri-Nya dengan mereka yang terkecil dalam maryarakat (Mat 25:31-46). Schillebeeckx mengemukakan bahwa seluruh hidup Yesus menunjukkan kehadiran Kerajaan Allah dan tuntutan-Nya. Kerajaan Allah sudah hadir dalam diri Yesus. Dia adalah utusan eskatologis Allah untuk mengabarkan berita tentang undangan Allah kepada semua orang.
1.1.2 Â Allah Tampil dalam Wajah Manusia
Pergulatan mengenai keilahian dan kemanusiaan Yesus Kristus merupakan pergulatan untuk memahami bahwa dalam Yesus Kristus, manusia sungguh diselamatkan, yaitu diilahikan, masuk dalam persatuan dengan Allah. Kesatuan yang tidak terpisahkan antara Firman dan manusia dalam diri Yesus Kristus merupakan gambaran kesatuan manusia dengan yang ilahi; manusia akan bersatu dalam kemuliaan ilahi berkat Yesus Kristus. Dalam kesatuan itu manusia tetaplah manusia, maka kesatuan dengan yang ilahi tidak meleburkan manusia dalam yang ilahi, tetapi kemanusiaan itu mendapatkan makna baru dalam persatuan dengan yang ilahi.
Persatuan Firman dengan manusia itu terjadi melalui inkarnasi: "Firman telah menjadi manusia dan tinggal di antara kita" (Yoh 1:14). Kesatuan itu bukan terjadi karena manusia dilebur dalam keilahian, melainkan karena Firman menjadi manusia, Firman mengenakan manusia, dengan segala kerapuhannya. Firman yang menjadi manusia berarti Firman yang hadir dalam kerapuhan kemanusiaan. St. Paulus berbicara mengenai perendahan diri Kristus sampai kematian di kayu salib (Fil 2:6-11). Maka, kesatuan Firman dengan manusia ditampilkan justru dalam kelemahan, dalam kemauan Allah untuk ambil bagian dalam nasib malang manusia yang dikenai oleh dosa, agar manusia dibebaskan dari kekuasaan dosa.
Menafsirkan pengosongan diri Yesus Kristus, Schillebeeckx berbicara mengenai keberpihakan Allah dengan orang-orang yang tersingkir. Dalam keberpihakan itulah ditampilkan keilahian-Nya. Allah mengadakan perjanjian dengan orang-orang miskin dan tersingkir bukan karena mereka kudus, suci, tetapi karena mereka lemah.
Realitas kemiskinan itulah yang menjadi kriteria pilihan Allah dalam menghadirkan diri-Nya. Dengan demikian, wajah kemanusiaan, wajah kurban itulah yang menjadi tanda nyata kehadiran Allah di tengah-tengah manusia, namun bukan kurban yang pasrah pada nasib, tetapi kurban yang mempunyai harapan karena Allah berpihak pada mereka. Firman Allah mengambil dan mengenakan kelemahan manusia, agar manusia dikuatkan dan hidupnya diangkat dalam kemuliaan Allah.
1.2 Â Pelayanan Yesus Kristus di Dunia
1.2.1 Â Allah Berpihak pada yang Miskin dan Berdosa
Originalitas dan kekhasan Yesus berbicara mengenai Allah tidak menyimpang dari gambaran atau konsep Allah Perjanjian Lama. Tetapi aksen-aksen tertentu dalam pewartaan profetis-Nya mengenai apa dan siapa Allah mendapat profil yang sungguh khas. Dalam pewartaan profetis-Nya, Yesus memberitakan bahwa Allah Bapa-Nya, yang disapa-Nya dengan sebutan khas, yaitu Abba tidak membiarkan diri-Nya dianeksasikan (dicaplok) oleh kasta orang-orang saleh, orang yang bangga bahwa mereka "bukan seperti orang pemungut bea cukai dan pendosa" (bdk. Luk 18:10-14) serta orang yang yakin bahwa mereka mendapat ganjaran yang proporsional karena mereka mentaati Taurat dengan setia. Juga diwartakan-Nya bahwa Allah bukan milik orang elit-eksklusif, melainkan Allah "Orang miskin dan pendosa", Allah yang memperhatikan dan mengindahkan orang miskin, Allah yang ambil tempat pada orang-orang miskin, tertindas, yang dikucilkan, bahkan pendosa yang digeser ke pinggir oleh "umat yang baik".
Sangat penting diperhatikan bahwa "Allah orang miskin dan pendosa" itu bukanlah sosok yang mudah memperkenankan sesuatu atau permisif. Dia adalah Allah yang adil dan bijaksana, Allah yang penuh perikemanusiaan. Dia adalah Allah yang menyentuh hati manusia seutuhnya secara radikal, tetapi tanpa paksaan atau kekerasan, dan menuntut hati tak terbagi dari pengikut-pengikut-Nya: "Carilah kerajaan-Nya, maka semuanya itu akan ditambahkan juga kepadamu" (Luk 12:31; Mat 6:33).
Penting disadari bahwa Allah tidak memuji-muji atau menyetujui kemiskinan bila Dia memihak pada yang miskin. Dia berpihak pada yang miskin bukan karena kemiskinan mereka, tetapi karena kemanusiaan mereka. Pemihakan Allah kepada yang miskin adalah alasan kemanusiaan. Schillebeeckx mengatakan bahwa Allah berpihak pada yang miskin dan tertindas karena Dia tidak menghendaki kesengsaraan. Dia menolak secara radikal semua bentuk kejahatan, segala jenis kemiskinan dan kelaparan yang membuat orang menderita. Dengan alasan inilah, bukan orang-orang miskin yang harus dicela karena kemiskinan mereka, tetapi orang-orang yang membuat atau mengakibatkan mereka miskin. Menurut Schillebeeckx, pemihakan Allah kepada yang miskin dan yang tersisih secara eksplisit mengundang orang kaya untuk keluar dari keegoisan mereka menuju sikap dan praktek hidup berbagi sebagai saudara. Oleh karena itu, pemihakan kepada yang miskin adalah undangan untuk metanoia.
1.2.2 Â Para Pendosa sebagai Saudara
"Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pemungut-pemungut cukai dan perempuan sundal akan mendahului kamu masuk ke dalam Kerajaan Allah" (Mat 21:31). Warta ini disampaikan Yesus kepada orang-orang Farisi, Ahli Taurat dan para cendekiawan Yudaisme karena mereka tidak mau toleran terhadap orang berdosa yang bertobat. Bagi Yesus seorang pendosa tetap saudara. Tangan-Nya tetap terbuka terhadap pendosa yang bertobat: "Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa" (Mat 9:13). Dia sangat berbelaskasih terhadap saudara yang lemah dan berdosa. Sikap belaskasih-Nya terhadap orang lemah dan berdosa nampak dalam perumpamaan domba yang hilang (lih. Luk 15:3-7; Mat 18: 12-14), anak yang hilang (lih. Luk 15: 11-32) dan dirham yang hilang (lih. Luk 15: 8-10).
Dalam perumpamaan mengenai domba yang hilang, Yesus menunjukkan bahwa tindakan gembala yang penuh tanggungjawab, yaitu mencari domba yang hilang dan membopongnya setelah menemukannya merupakan gambaran sikap Allah terhadap saudara yang berdosa. Seperti anak domba yang hilang, yang setelah ditemukan, dibopong dengan sukacita, demikian juga saudara berdosa yang bertobat diterima Allah dalam rumah-Nya dengan sukacita. Kesusahan, kecemasan dan kekhawatiran Allah jauh lebih besar karena satu domba yang sesat daripada 99 domba yang aman. Melalui perumpamaan anak yang hilang juga Yesus menampilkan sikap Allah yang mengharukan terhadap pendosa. Itulah gambaran hati Allah.
Menurut Schillebeeckx, Yesus memakai perumpamaan anak yang hilang ini untuk mengajar para pendengar dan murid-Nya bahwa seorang pendosa tetap saudara mereka dan mereka semua harus ambil bagian dalam sukacita Allah karena seorang berdosa bertobat. Perumpamaan tentang orang-orang upahan di kebun anggur juga memperlihatkan bagaimana sikap Allah terhadap orang berdosa.
Schillebeeckx menegaskan bahwa melalui perumpamaan ini Yesus menawarkan suatu gambaran Allah yang "sangat provokatif": Allah bebas membagi pemberian-pemberian dan anugerah-anugerah-Nya. Tidak ada seorang pun yang oleh perbuatan-perbuatan baiknya mempunyai hak atas Allah sedemikian bahwa dia bisa menghindarkan Allah dalam kebaikan-Nya terhadap mereka yang tidak bisa memperlihatkan perbuatan-perbuatan baik atau yang kurang berjasa. Sikap Allah yang "provokatif" ini menjadi semakin "provokatif" dalam mata orang-orang saleh, kalau sikap itu menunjuk kepada orang-orang pendosa.
1.2.3 Â Melawan Segala Bentuk Diskriminasi
Menurut pandangan orang Yahudi dan Kaum Farisi, pendosa adalah orang yang dibenci Allah. Karena itu, dalam pergaulan mereka harus dijauhi dan tidak boleh makan semeja dengan mereka. Tetapi menurut Yesus bukan demikian. Allah tidak menjauhi mereka. Allah mencari, menyapa dan tinggal bersama mereka yang hilang dan terluka. Yesus tidak menjauhi mereka, melainkan sebaliknya, Dia bergaul dan makan bersama dengan mereka (bdk. Mrk 2:16).
Tindakan Yesus ini sangat erat kaitannya dengan pewartaan-Nya mengenai universalitas Kerajaan Allah yang tidak mengecualikan seorang pun juga. Sikap dan tindakan Yesus ini membuat orang-orang Farisi dan ahli Taurat gusar dan marah. Mereka bersungut-sungut kepada para murid, "Mengapa Ia makan bersama-sama dengan orang berdosa?" (Mrk 2:16). Ketika Yesus mendengar sungut-sungut itu, Dia menanggapinya dengan berkata, "Aku datang bukan untuk memanggil orang yang benar, melainkan orang berdosa" (Mrk 2:17). Dengan ungkapan ini Yesus mau menjelaskan dengan perbuatan-Nya bahwa Allah mencari manusia yang hilang dan terluka.
Tindakan Yesus makan dan minum dengan para pendosa berhubungan erat dengan tugas-Nya sebagai hamba dan utusan eskatologis Allah, yaitu menyampaikan kepada pemungut cukai (pendosa) undangan dari pihak Allah untuk turut serta dalam persekutuan meja yang lebih besar dengan Allah pada akhir zaman.
Dalam sikap dan tindakan ini, Yesus menyatakan bahwa Dia diutus untuk menyampaikan pesan Allah tentang pembaruan komunikasi dengan Tuhan dan dengan sesama manusia, terutama kepada orang-orang yang dikucilkan, para "orang buangan". Oleh karena itu, sikap dan tindakan Allah yang dinyatakan Yesus dalam perbuatan-Nya mendobrak segala bentuk diskriminasi, meretas batas "tuan -- hamba", "penindas -- tertindas", dan sekaligus memberi kesempatan kepada para pendosa untuk berbalik kepada Allah, bermetanoia atau bertobat. Untuk itu, Yesus mencari domba yang hilang, yang terisolasi dari kawanan (Luk 15:1-8; 19-10; Mat 9:36; 10:6; 15:24).
Schillebeeckx menegaskan bahwa bergaul dan makan semeja dengan para pendosa merupakan jalan untuk membangun komunikasi sosial, terutama untuk kalangan yang diekskomunikasi dari kelompok sosial secara resmi. Artinya, para pendosa publik, pemungut cukai yang memperkaya diri dengan memeras orang miskin, orang kusta, mesti dirangkul dan diarahkan kepada jalan yang benar di hadapan Allah.
2. Â Karya Keselamatan Allah dalam Penderitaan, Wafat dan Kebangkitan Yesus Kristus
Wafat dan kebangkitan Yesus adalah peristiwa yang sangat penting bagi iman Kristiani. Wafat dan kebangkitan Yesus merupakan puncak pewahyuan Allah. Oleh karena itu, titik-tolak pengakuan iman dan refleksi kristologis Kristiani adalah peristiwa wafat dan kebangkitan Yesus Kristus. Wafat dan kebangkitan Kristus menyelamatkan manusia dari dosa. Paulus menengaskan bahwa Yesus sungguh wafat di salib dan bangkit dari kematian, dan kebangkitan itu menghapus dosa manusia (bdk. 1Kor 15:14,7).
2.1 Â Penderitaan dan Wafat Yesus Kristus di Salib
Kematian Yesus adalah ekspresi historis dari pewartaan dan jalan hidup-Nya yang tidak bersyarat. Kematian Yesus adalah penderitaan oleh dan untuk orang lain yang dianggap oleh Yesus sebagai jaminan yang tidak terbatas dari tindakan berbuat baik dan perlawanan terhadap derita dan kejahatan. Schillebeeckx mengatakan:Â "Kematian Yesus di salib merupakan konsekuensi suatu hidup yang secara radikal melayani keadilan dan cinta, suatu akibat pilihan-Nya hidup demi orang-orang miskin dan dibuang, suatu akibat pilihan-Nya hidup dan mati demi bangsa-Nya yang menderita oleh penindasan".
Kematian Yesus di salib mengubah gagasan AlMasih yang menang dan jaya secara mendasar: Yesus yang dibuang dan tersalib itulah AlMasih yang sesungguhnya. Seperti Allah, demikian juga Yesus mengidentifikasikan diri-Nya secara radikal dengan kaum terbuang dan tersingkir serta para pelanggar moral yang najis. Akhirnya, Dia sendiri menjadi orang terbuang dan orang najis. Dengan identifikasi itu, tampak bagi kita bahwa antara jalan hidup-Nya dengan kematian-Nya ada kontinuitas, dan karena kontinuitas itulah, maka arti keselamatan Yesus mendapat puncaknya dalam kematian di kayu salib.
Kematian Yesus di salib bukanlah kegagalan, melainkan penyataan gambaran Mesias yang sesungguhnya. Tugas perutusan-Nya sebagai Mesias harus ditempuh melalui jalan penghambaan, bahkan sampai mati di salib. Yesus yakin bahwa setelah penderitaan-Nya berlalu, maka pemerintahan Allah ditegakkan, karena kematian-Nya adalah kurban pemulih dosa dan pengurbanan diri demi keselamatan umat manusia.
Kematian Yesus di salib mengungkapkan secara definitif siapa Allah. Allah bertindak dalam sejarah manusia, mengutuhkan dan membahagiakan manusia, bahkan ikut dalam penderitaan manusia. Allah tidak menuntut apapun dari manusia, begitu juga dengan Yesus, supaya Ia tampil dengan membebaskan dan menyembuhkan manusia dari kuasa dosa.
2.2 Â Kebangkitan Yesus Kristus
Schillebeeckx menyatakan bahwa kebangkitan itu harus terjadi dalam diri Yesus. Jika tidak, maka Yesus historis hanyalah seorang tokoh tragis dengan idealisme yang tinggi, namun mengalami kegagalan. Meskipun nyata, kebangkitan itu bersifat meta-empirik dan meta-historik sebab hanya penyataan mengenai kebangkitan dan penyataan Yesus yang bangkit yang bisa diteruskan kepada para murid-Nya.
Kebangkitan merupakan faktor penentu untuk menunjuk hakekat Yesus yang sesungguhnya. Apabila Yesus tidak bangkit, maka segala usaha pewartaan Yesus, penderitaan dan wafat-Nya di salib merupakan tindakan yang sia-sia. Dengan demikian, segala kepercayaan kita kepada Yesus tidak ada artinya. Namun karena Dia bangkit maka ditetapkanlah hubungan yang erat antara Yesus dan Allah. Schillebeeckx menambahkan bahwa Yesus bersatu dengan Allah bukan sejak Ia bangkit tetapi Ia telah bersatu sejak awal mulanya.
Santo Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus mengatakan: "Andai kata Dia tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah kepercayaan kamu [...] dan kamu masih hidup dalam dosamu" (1Kor 15:14;17). Maksud kata-kata Santo Paulus ini jelas bahwa Yesus yang telah wafat di salib itu sungguh bangkit dan kebangkitan-Nya memberi dampak efektif untuk penghapusan dosa manusia. Hal ini diafirmasi oleh Schillebeeckx dengan menyatakan bahwa kebangkitan Yesus Kristus merupakan kepenuhan karya keselamatan Allah dalam diri Yesus. Kebangkitan Yesus menjadi puncak karya keselamatan karena melalui Kebangkitan-Nya, Yesus mentransfigurasikan jiwa manusia yang telah mati kepada kemuliaan Roh. Kebangkitan Yesus itu juga merupakan pewartaan eskatologis bagi orang-orang yang percaya.
3. Â Universalitas Keselamatan Yesus Kristus
Konsili Vatikan II menunjukkan sikap positif terhadap aneka tradisi keagamaan dan kebudayaan yang ada di dunia ini. Hal itu dengan jelas dinyatakan dalam dekrit mengenai hubungan Gereja dengan agama-agama non Kristiani, Nostra Aetatae: Gereja Katolik tidak menolak apapun yang benar dan suci dalam agama-agama lain. Gereja menghargai dengan tulus cara hidup dan cara bertindak, peraturan, nilai-nilai budaya dan ajaran agama-agama yang tak jarang memantulkan cahaya kebenaran kepada semua manusia.
Semangat pembaruan (aggiornamento) mendorong Gereja untuk merefleksikan kembali dirinya, terutama adagium extra Ecclesiam nulla salus (Di luar Gereja tidak ada keselamatan) dengan menghargai benih-benih keselamatan dalam agama-agama lain. Sejajar dengan pandangan konsili ini, Schillebeeckx memberi pandangan baru yaitu  extra Mundum nulla salus (Di luar dunia tidak ada keselamatan).
Beberapa orang Kristen dan bahkan beberapa teolog salah menafsirkan ungkapan ini, karena mereka berpikir salah bahwa itu hanya mengacu pada humanisme dan bukan keselamatan dari Allah. Ini karena mereka meletakkan aksen pada Mundum bukan Salus. Salus selalu berasal dari Allah, tetapi itu dialami di dunia. Allah menjadi fondasi "sumber keselamatan". Fondasi inilah yang menjadi titik inti dari agama Kristen.
Dalam ungkapan extra Mundum nulla salus ini, Schillebeeckx melihat bahwa tujuan dari setiap agama adalah menetapkan Kerajaan Allah sebagai kerajaan kebenaran bagi manusia. Schillebeeckx menegaskan sifat universalitas keselamatan Allah dalam diri Yesus Kristus. Bagi Schillebeeckx keselamatan itu tidak hanya dianugerahkan kepada orang yang dibaptis menjadi anggota Gereja, tetapi juga diwartakan dan ditawarkan kepada semua orang yang berkehendak baik berkat bimbingan Roh Kudus.
Rencana keselamatan Allah itu sudah mulai sejak penciptaan dan berpuncak dalam diri Yesus Kristus. Yesus Kristus adalah Sang Penyelamat Tunggal dan universal bagi dunia. Melalui sengsara, wafat dan kebangkitan-Ny, Dia menuntaskan karya penyelamatan Allah bagi manusia. Karya penebusan yang terlaksana dalam Yesus Kristus diperuntukkan bagi semua manusia supaya dengan karya tersebut semua manusia disatukan oleh dan dalam Kerajaan-Nya. Dengan kata lain, tidak ada manusia yang ditentukan oleh Allah untuk tidak selamat. Karya keselamatan itu diperoleh berdasarkan rahmat yang berasal dari Kristus. Rahmat merupakan hasil pengorbanan Yesus Kristus dan disampaikan oleh Roh Kudus. Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa penyelamatan merupakan pemberian Roh Kudus dan menuntut tanggapan dan kerja sama dari manusia. Tanggapan dan kerja sama itu harus tampak dalam penghayatan nilai-nilai Injili dan terbuka terhadap dorongan Roh Kudus.
Senada dengan Konsili Vatikan II, Schillebeeckx menegaskan bahwa Gereja adalah ahli waris pertama keselamatan. Dia mengatakan bahwa Kristus telah memenangkan Gereja bagi diri-Nya sendiri dengan menumpahkan darah-Nya dan menjadikan Gereja sebagai pekerja dalam penyelamatan dunia. Dialah yang menyebabkan Gereja itu tumbuh dan dalam Gereja Dia melaksanakan tugas perutusan-Nya agar setiap orang mengenal dan dapat memperoleh keselamatan yang ditawarkan kepada semua orang.
Puncak karya penyelamatan Allah itu terlaksana dalam wafat dan kebangkitan Yesus Kristus, Putra Allah yang Tunggal. Dalam wafat dan kebangkitan, Yesus Kristus menebus dosa semua manusia. Peristiwa Kristus ini merupakan peristiwa penyelamatan universal. Dalam menanggapi karya penyelamatan ini hal yang sangat dibutuhkan adalah iman akan karya keselamatan itu sendiri. Allah tidak memaksakan keselamatan itu kepada manusia, melainkan menawarkannya.
Gereja menanggapi karya keselamatan itu dengan mengikatkan diri pada pribadi Kristus Sang Penyelamat Tunggal sebab Dia adalah ahli waris pertama keselamatan. Gereja percaya bahwa Allah telah menetapkan Kristus sebagai satu pengantara dan Gereja sendiri menjadi Sakramen Keselamatan Universal. Penyelamatan yang merupakan anugerah Roh menuntut kerja sama dari manusia, baik untuk menyelamatkan dirinya sendiri maupun untuk menyelamatkan orang-orang lain. Inilah kehendak Allah, dan inilah sebabnya mengapa Yesus mendirikan Gereja dan menjadikan Gereja itu sebagai bagian dari rencana penyelamatan-Nya.
4. Â Makna Universal Yesus Kristus
Schillebeeckx menekankan makna universal dan keunikan Yesus Kristus bagi keselamatan manusia. Keunikan Yesus Kristus nyata ketika Dia dipahami sebagai sakramen Allah, pengantara Allah kepada manusia. Sebagai sakramen, Yesus Kristus menghadirkan karya keselamatan Allah dalam diri-Nya. Dia adalah jalan bagi manusia menuju Allah. Keunikan Yesus Kristus terletak dalam misteri inkarnasi: Firman Allah hadir dalam sejarah manusia melalui seorang manusia konkret yang hidup dalam sejarah. Maka, keunikan Yesus dapat ditemukan dalam sikap-Nya dan tindakan-Nya untuk menghadirkan Kerajaan Allah. Yesus Kritus bukan hanya menghadirkan Firman, tetapi Dialah Firman itu, karena dalam diri-Nya terjadi persatuan antara Firman dan manusia, yang mengundang manusia untuk bersatu dengan Allah.
Dalam diri Yesus Kristus semua manusia dipanggil untuk sampai kepada Allah. Allah menghendaki agar semua manusia bersatu dalam Kristus. St. Paulus mengatakan bahwa "Supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada dilangit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi" (Fil 2:10), "Untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai kepala segala sesuatu baik yang di Surga maupun yang di bumi" (Ef 1:10).
Ireneus berbicara mengenai "Recapitulation", menyatukan segala sesuatu dalam diri Kristus Sang Kepala. Dengan demikian, karya keselamatan Allah dalam diri Kristus tidak hanya menyatukan seluruh umat manusia, tetapi seluruh ciptaan. Schillebeeckx menegaskan bahwa dalam arti inilah Yesus Kristus bermakna universal, karena menampilkan panggilan Allah bagi semua manusia untuk bersatu dengan diri-Nya. Maka dengan demikian, Yesus Kristus menjadi sakramen keselamatan Allah bagi semua orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H