Yang ketiga, dan yang terbayak adalah altar-altar yang ditutupi oleh kain altar hingga seluruh kaki altar tertutup. Baik memang altar diberi hiasan liturgis seperti kain berwarna yang menunjukkan warna liturgis dari masa yang sedang dirayakan. Namun disayangkan juga karena banyak kaki altar yang berornamen indah justru tersembunyi di balik kain-kain tersebut yang terkadang malah bisa membuat kesan berlebihan. Apalagi kalau sudah ditambah dengan dekorasi bunga di mukanya yang seringkali hampir -- hampir membuat altar tak nampak lagi.
   Dari ketiga temuan tersebut, yang dapat dirasakn adalah kesan penyederhanaan yang berlebihan dari segi makna maupun dari segi pembuatan altar zaman sekarang, khussnya di Indonesia. Dengan amat menonjolnya dimensi perjamuan dari desain-desain altar yang ada, bisa menjadi perhatian umat beriman Indonesia, yaitu kebersamaan dan persaudaraan.
   Dari segi pembuatan altar, desainer maupun pemesan sepertinya mempermudah segalanya dengan mengadopsi tema Perjamuan Terakhir ke dalam altar yang dipesannya. Altar identik dengan Perjamuan Terakhir, namun dengan ini fungsi didaktis dari kesenian gereja pun diminimalkan. Kesenian Gereja tidak lagi diberi kesempatan untuk menggarap desain yang secara estetik dan craftmanship menantang, namun lebih penting dari itu adalah desain dengan jalinan tema yang dapat sedemikian membuat umat yang memandangnya tak habis bermenung dan berkanjang dalam misteri Allah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H