ALTAR KAYU DAN ALTAR BATU"
"Â Â Â Altar adalah titik sentral arsitektur sekaligus fokus aktivitas liturgi dalam sebuah bangunan "raison d'etre", yang adanya sebuah gereja, karena di situlah dirayakan secara terus menerus kurban Kristus. Altar merupakan salah satu elemen liturgis awal yang sudah ada sejak Gereja perdana. Di saat komunitas Gereja awal masih hidup dalam pengajaran dan liturgi dirayakan di dalam rumah umat, catacombe, atau pun tempat tebuka. Kemungkinan besar meja makan keluarga yang digunakan sebagai altar, atau di atas peti yang berisi peralatan misa yang bisa dibawa ke mana saja oleh uskup atau imam yang berpindah-pindah.Â
Secara historis, altar batu muncul sekitar abad ke-4, setelah kekristenan mendapat tempat dalam kekaisaran Romawi dan juga lebih banyak gereja didirikan. Altar batu yang mengingatkan pada Kristus yang adalah batu penjuru bagi Gereja, mulai menjadi pilihan karena sebagai materi tahan zaman ketimbang altar terbuat dari kayu yang dapat lapuk dimakan usia.
   Seiring dengan berkembangnya gereja dan liturgi, apalagi semakin populernya misa yang diselenggarakan ad orientem, yaitu dengan imam dan umat menghadap ke timur, sebagai tanda simbolis memandang Kristus Sang Matahari terbit, maka kira-kira mulai abad ke-5, altar-altar yang dibangun pada masa itu semakin terdorong ke ujung timur bangunan gereja dan bahkan banyak yang dibangun menempel pada tembok timur gereja. Pada abad pertengahan di Gereja Barat hampir tak ditemukan lagi altar kayu dan altar batu permanen yang dibuat semakin penuh dengan hiasan ornamen yang kualitasnya amat tinggi.
   Pada abad ke-20, dengan suasana pembaruan yang dibawa oleh Konsili Vatikan II bergerak ke seluruh penjuru dunia. Misa ad orientem digantikan dengan misa versus populum, di mana imam menghadap umat dan tidak lagi bersama-sama menghadap ke arah timur. Altar lama yang permanen berada di ujung timur gereja yang dibiarkan tak terpakai lagi, sementara untuk keperluan misa dibuat tambahan meja altar geser di depannya.
   Banyak gereja yang dibangun lebih baru dan tidak lagi memiliki altar permanen yang tertanam di fondasi gereja. Demi alasan praktis, altar yang dibuat kebanyakan merupakan altar geser yang terbuat dari kayu. Agak disayangkan, karena simbolisme altar batu yang permanen begitu kuat dan melekat pada penggambaran Kristus sebagai batu penjuru yang hidup bagi imam.
Gereja yang tidak memiliki Altar Permanen yang tertanam di Fondasi Gereja
   Bagi umat Katolik, altar memiliki dua makna mendalam yang tak terpisahkan. Pertama sebagai altar kurban dan kedua sebagai meja perjamuan persaudaraan. Dua poin teologis inilah yang menjadi titik tolak estetika dalam pembuatan ornamen altar. Kebanyakan bentuk maupun ornamen altar mengadopsi salah satu dari dua tema teologis di atas. Altar dengan tema ornamen Anak Domba -- salah satunya pada Kapel Stasi Santo Agustinus, Halim Perdanakusuma, Jakarta, di mana menggambarkan dimensi kurban. Pikiran orang langsung terbawa pada kurban Bait Allah, kemudian pada Yesus Kristus sebagai Anak Domba tak bercela yang dikurbankan bagi pepulih dosa manusia. Juga altar batu segi delapan abu-abu polos yang memberi kesan primitf namun memiliki keangungan yang hening di Biara para rubiah di Gedono dengan cepat membawa pikiran kepada kisah-kisah kurban di zaman Perjanjian Lama.
   Tema perjamuan banyak ditemukan pada ornamen maupun bentuk altar. Tak jarang kaki altar dibuat melengkung atau mengecil di sebelah bawah, sepintas seperti bentuk silhouette piala, atau gambar roti anggur, roti dan ikan dan yang lebih sering lagi adalah tableau Perjamuan Terakhir, yang ingin dapat mengingatkan pada perjamuan Kristus bersama para rasul-Nya sebagai model perjamuan bagi umat beriman.
   Dari survey di sekitar 300-an gereja dan kapel di Indonesia ada beberapa temuan menarik yang bisa dijadikan bahan permenungan. Pertama, tema kurban yang nampaknya tidak begitu populer sedangkan tema perjamuan amat populer. Di antara altar-altar ini, tak banyak ditemukan altar dengan tema kurban maupun tema kudus yang cukup kaya. Apabila dibandingkan dengan tema-tema yang ditampilkan dalam altar utama di Gereja Katedral Jakarta, di mana di sana terjadi jalinan antara tema Perjanjian Lama dan perjanjian Baru yang amat kaya. Tema seperti Musa dan Bangsa Israel mengumpulkan manna, tema Abraham bertemu dengan Melkisedek, yang berpadu dengan relief tulisan Santo Thomas Aquinas tentang Ekaristi. Atau seperti tema yang dimunculkan di altar utama Basilika Notre Dame di Montreal. Antara Harun yang mempersembahkan kurban, Abraham yang mempersembahkan Ishak, dengan paduan Anak Domba dan para malaikat dan Orang Kudus dalam penglihatan Kitab Wahyu.
   Yang kedua, banyak altar menggunakan ornamen ukiran kayu bergambar Perjamuan Terakhir. Lucunya banyak dari altar-altar ini memiliki ukiran kayu yang hampir sama persis yang mungkin membeli dari pemasok yang sama. Beberapa di antaranya ada di gereja-gereja di Yogyakarta, yaitu Gereja Kristus Raja, Baciro, dan Gereja Santo Mikael di Pangkalan AU, serta Gereja Fransiskus Xaverius Kidul Loji. Namun kalau diteliti, di zaman sekarang memang ada mesin pembentuk kayu yang dapat membuat relief apa saja, termasuk relief Perjamuan Terakhir. Ini sedikit banyak memberi kesan keseragaman karena jadinya seperti barang yang dibeli di supermarket dan kurang berkarakter.Â