Terlalu banyak imam menghidupi selibat mereka secara instingtif. Atau selibat telah dijaga seolah-olah itu hanya suatu hukum yang mengharuskan hidup murni, sementara selibat semestinya merupakan suatu pilihan yang dengannya seorang komit dengan pribadinya sambil berusaha memahami lebih baik apa artinya dipanggil dan menjawab "ya".
Sinode para uskup 1971 menetapkan agar para calon imam harus dari awal pendidikan memperhatikan alasan-alasan positif untuk memilih selibat, tanpa terganggu oleh keberatan-keberatan, tekanan yang menumpuk dan terus menerus, yang hanya merupakan pertanda bahwa nilai asli selibat itu sendirilah yang dipersoalkan.Â
Di antara alasan-alasan positif ini, sinode mencatat wahyu kehadiran Allah, tanda eskatologis kesetiaan manusia kepada yang absolut dan tanda kelahiran spiritual, serta komitmen untuk membangun Gereja.
Kendatipun keuntungan-keuntungan bagi pelayanan Gereja diharapkan berasal dari klerikus yang menikah, kita harus mempertahankan bahwa selibat memungkinkan imam lebih siap sedia demi Kerajaan.Â
Ini memberikan kemungkinan untuk mengabdikan seluruh waktu dan energi untuk pelayanan. Itu memberikan kebebasan hati yang lebih besar dan keterbukaan yang lebih universal. Perkawinan tidak dapat menjadi suatu komitmen lebih kecil dalam kehidupan seseorang.Â
Oleh kodratnya, imam didorong untuk memilih: memelihara keluarganya atau melayani komunitas. Bukan tanpa alasan bahwa Yesus memilih selibat dan memanggil para Rasul-Nya untuk meninggalkan perkawinan karena Kerajaan Allah. Sehubungan dengan selibat ini juga, pantaslah diingat penetapan Konsili Trente bahwa status keperawanan atau selibat adalah "lebih baik dan lebih terberkati".
Dalam hubungan dengan keluarga-keluarga Kristen, selibat cenderung memberikan kepada imam suatu kapasitas yang lebih besar untuk memahami dan menolong secara efektif. Kebebasan efektif dan mental yang lahir dari selibat memungkinkan imam untuk bersimpati lebih besar dengan semua situasi manusiawi dan membawa bantuan yang diberikan oleh Allah kepada umat.
Semua pengandaian ini diorientasikan pada praktek cinta kasih yang lebih luas. Inilah maksud selibat, sebagaimana Kristus menginginkan bagi para murid-Nya. Pada abad-abad yang lalu imamat tidak ditunjukkan secara memadai mengenai aspek cinta kasih ini. Dewasa ini kita menekankan poin ini.
Perluasan kasih ini secara selaras menjawab keberatan yang menggagalkan selibat imamat karena merintangi perkembangan personal. Benar, selibat meminta pencabutan hak personal, menciptakan masalah keseimbangan kepribadian. Tetapi masalah ini dipecahkan dengan membangun kasih yang lebih kuat yang membuat seseorang membuka diri lebih besar. Dengan selibat seseorang komit dengan dirinya pada cinta yang lebih dalam dan lebih universal.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H