Hukum yang mengharuskan selibat para imam di Gereja Barat tidak didasarkan pada keperluan absolut. Konsili vatikan II mengingatkan tarak sempurna tidak diharuskan oleh kodrat imamat.Â
Alasan yang sangat fundamental mengapa selibat bukan syarat mutlak adalah bahwa di dalam Kristus imamat tidak mewajibkan selibat sebagai prasyarat yang amat diperlukan. Akan tetapi, misi imamat Kristus selaras dengan prinsip penolakan berkeluarga.
Dalam keselarasan ini terdapat alasan mengapa selibat sesuai dengan imamat yang dilaksanakan atas nama Kristus. KV II menekankan keseluruhan ini dengan menyoroti berbagai aspek.Â
Selibat memungkinkan imam mengaktualisasikan lebih baik konsentrasinya kepada Kristus dengan cinta yang tak terbagi. Itu memberikan kebebasan yang lebih besar dan kesiapsediaan untuk melayani kerajaan-Nya dan mempraktekkan cinta yang sempurna kepada semua yang ada.
 Itu memberi kesaksian perkawinan misterius antara Kristus dan Gereja, dan dedikasi yang memberi semangat orang-orang Kristen mempertunangkan diri dengan satu pria (bdk. 2Kor 11:2).Â
Selibat memungkinkan imam memberikan sumbangan efektif kepada karya kelahiran kembali yang berasal dari atas. Mereka menjadi lambang hidup di dunia yang akan datang, tetapi sekarang sudah hadir melalui imam dan cinta kasih: di situ putra-putri kebangkitan tidak menikah dan dinikahkan (PO 16; OT 10).
Keserasian selibat sebaiknya dipahami dengan mendasarkannya pada karakter imamat. Karakter itu adalah konsekrasi dan komformitas dengan Kristus. Konsekrasi memperkaya kedalaman kodrat personal, itu menghendaki suatu ungkapan diri dalam cara hidup pribadi. Konsekrasi mengkonkretkan cara hidup ini dengan membiarkan Allah menguasai hidup seorang imam.Â
Dengan mewajibkan hidup selibat konsekrasi mengontrol hati dan aktivitas imam. Konformitas menjadikan imam lebih sempurna, karena dengan itu ia mensharingkan misi Kristus sebagai gembala dengan cinta universal. Normalnya, selibat memungkinkan imam menghadirkan gambaran Kristus dan pertarakan-Nya.
Tentu saja masih benar bahwa fungsi imamat dalam dirinya dilihat tidak menuntut selibat sebagai suatu kondisi yang diwajibkan. Isu selibat sering ditekankan dari perspektif ini. Misalnya, dikatakan bahwa seorang laki-laki yang kawin dapat memimpin Ekaristi sebaik seorang imam selibat.Â
Tetapi cara pandang ini terlalu sempit, karena melihat imamat hanya sebagai fungsi. Imamat adalah suatu misi. Ini memerlukan keterlibatan seluruh eksistensi. Jikalau demikian, kita merasa bahwa selibat sungguh serasi dengan imamat.
Dewasa ini terjadi krisis, yakni fakta bahawa imamat telah bergeser kembali ke pusat perdebatan mendorong kita untuk menyelidiki alasan-alasan yang mendalam yang mendasari kebenaran selibat imamat.Â