1. Hukum dalam arti Tata Hukum
Dengan istilah ius dalam arti objektif, dimaksudkan tata hukum yang terdiri dari undang-undang, yakni keseluruhan perangkat norma dengan ciri-ciri khas tertentu yang berlaku dalam masyarakat hukum, penataan hidup bermasyarakat dan bernegara. Dalam arti ini ada hukum perdata, hukum pidana pada bagian-bagiannya (misalnya; perkawinan, warisan, tata Negara, dll).
2. Hukum sebagai Kewenangan Subyek
Dengan istilah ius dalam arti subyektif dimaksudkan hak sebagai kewenangan untuk mendapat sesuatu, berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Hak ini bisa bersifat kodrati, dapat dirumuskan lebih rinci dan dijamin dalam tata hukum sehingga dapat dituntut lewat sarana-sarana hukum karena sifatnya mengikat secara hukum.
Hukum dilindungi oleh sanksi-sanksi dan dilaksanakan atau dipaksakan jika perlu dengan tuduhan, eksekusi dan hukuman. Hukum memerlukan kekuasaan supaya dilaksanakan, tetapi hukum tidak sama dengan kekuasaan. Ciri khas hukum adalah diakui oleh masyarakat-hukum sebagai sah dan penegak-penegak hukum sebagai yang berwenang.
Tujuan utama hukum adalah menciptakan suasana menciptakan suasana tenteram dan aman dalam masyarakat. Kepastian hukum harus diciptakan.Â
Namun demikian, sewaktu-waktu bisa terjadi suatu ketegangan di antara keperluan akan kepastian hukum dan tujuan hokum yang paling luhur yakni keadilan. Ketegangan itu tidak selalu dapat diselesaikan dengan memuaskan seratus persen, tetapi selalu harus diusahakan sedapat-dapatnya.Â
Maka, tata-hukum manapun tidak dapat menciptakan keadilan yang sempurna, karena hukum  adalah karya ciptaan manusia yang bersifat sementara, terbatas dan selalu harus disempurnakan.Â
Hukum tidak boleh melupakan tujuan-tujuan tersebut, yang merupakan cita-cita hukum. Hukum akan merosot menjadi sistem aturan kaku yang sewenang-wenang apabila lepas dari cita-cita itu.Â
Realisasi cita-cita hukum tersebut dan nilai-nilai luhur lainnya (misalnya; kebebasan persamaan, kebergunaan) dapat diwujudkan dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan struktur sosial-politis yang bersangkutan. Berhubungan dengan ini, muncul masalah, apakah hukum dan moral harus selalu selaras dan sama tuntutannya; apakah hukum harus melarang/diperintahkan oleh moral.
Secara prinsipil bidang moral dan hukum dapat diumpamakan dengan dua lingkaran yang saling memotong, sehingga hanya sebagian saja yang diliputi oleh kedua-duanya.Â
Dalam masyarakat pluralitas kesejajaran moral dan hukum semakin sulit, sekurang-kurangnya dalam hal konkrit, misalnya; dalam hal pelacuran, minuman keras, judi, poligami, pornografi, dll.Â
Hal-hal tersebut dipandang sebagai sesuatu hal yang tidak baik dari segi moral dan setiap orang wajib menghindarinya. Apakah karena hal itu dilarang maka dihukum oleh negara?Â
Belum tentu benar. Negara wajib melarang apa yang mengganggu kesejahteraan itu, negara tidak perlu melarangnya, tetapi bila tindakan itu membahayakan kaum muda, menyebarkan penyakit, mengganggu ketenangan lingkungan, maka harus dibatasi.
Salah satu fungsi hukum adalah memanusiakan kekuasaan yang nota bene dibutukan oleh hukum supaya dapat dilaksanakan. Mencius, seorang pemikir Tionghoa mengatakan, "paksaan perlu karena kebaikan saja kurang efisien untuk memerintah, dan undang-undang saja tidak mampu melaksanakan paksaan". Jadi kekuasaan adalah atau semestinya merupakan hamba kuat yang mengabdi kepada tuan, yaitu hukum, yang luhur tetapi lemah.Â
Jika kekuasaan tidak tunduk pada hukum, masyarakat akan dikuasai dan dirusak oleh "hukum rimba". Dengan hukum, orang yang betapa lemah pun dijamin haknya. Supaya hukum dapat melaksanakan fungsi memanusiakan kekuasaan, maka seluruh masyarakat harus mempunyai kesadaran hukum, tunduk kepada hukum dan menuntut pelaksanaannya tanpa kekecualian.
3. Hukum Kanonik dalam Gereja
Kedudukan hukum dalam Gereja berbeda dari kedudukan hukum dalam masyarakat. Kewajiban menaati hukum Gereja tidak terutama berdasarkan pertimbangan kepentingan bersama umat beriman, tetapi berdasar kewajiban mengerjakan keselamatan abadi bersama dalam Gereja (bdk. Kan. 209 $ 1).Â
Keanggotaan dalam Gereja tidak berdasarkan sifat kodrat manusiawi tetapi atas panggilan Allah dan rahmat ilahi, yang membuat orang menjadi anggota umat Allah dan rahmat ilahi, yang membuat orang menjadi anggota umat Allah dengan menerima sakraman baptis.
"Hukum" dalam sistem hukum Gereja Katolik bukan hanya obyek keadilan sebagai keutamaan manusiawi, melainkan obyek persekutuan dengan Tuhan dan sesama orang beriman.
 Undang-undang dan peraturan bukan hanya pengarahan pada kepentingan bersama Gereja melainkan pengarahan dalam dan demi iman (ordinatio fidei). Hukum Gereja atau hukum kanonik harus dipandang dari segi perannya bagi pelayanan demi keselamatan semua orang.
Gereja hadir di dunia sebagai societas sebagaimana dalam kehidupan masyarakat pada umumnya. Perbedaannya adalah bahwa Gereja bukan melulu organisasi manusiawi, namun sekaligus organisasi yang mempunyai sifat ilahi.Â
Sebagaimana organisasi lainnya, Gereja membutuhkan hukum sebagai suatu sarana untuk memajukan kehidupan Gerejani (bdk. Kan. 7-22). Tata tertib yang ada dalam Gereja bukan bermaksud membatasi kebebasan dan kreativitas warganya, melainkan menjamin hak dan kewajiban sekaligus memberikan jalan menuju keselamatan.Â
Hukum ada untuk mengatur tata hidup bersama agar semua kegiatan dapat berjalan dengan baik serta hak dan kewajiban setiap orang beriman dijamin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H