Gereja adalah persekutuan bersama (communio) dalam Kristus. Gereja juga adalah institusi Ilahi-manusiawi. Oleh karena Gereja merupakan sebuah institusi ilahi dan insani, maka Gereja membutuhkan peraturan-peraturan, norma-norma dan perundang-undangan di dalamnya yang mengatur kehidupan dan sekaligus menjadi pedoman dalam hidup bersama.Â
Istilah yang dipakai dalam Gereja Katolik Roma untuk menyebutkan hal ini adalah Ius Canonicum, yang berarti undang-undang atau norma yang dibuat untuk mengatur tingkah laku umat kristiani. Dengan Ius Canonicum, Gereja berharap agar kaum beriman kristiani bertindak dan berbuat sesuai dengan hukum itu.Â
Dan melalui norma-norma yang ada dalam Hukum Kanonik, kehidupan lahiriah Gereja diatur. Oleh karena itu, pada bagian berikut akan diuraikan prinsip-prinsip dasar dalam Kitab Hukum Kanonik.
1. Doktrinal: Hukum Gereja, dalam kanon-kanonnya memuat unsur-unsur yang berupa ajaran atau doktrin Gereja yang harus diimani oleh umat beriman kristiani. Ajaran yang ada dalam Kitab Hukum ini merupakan satu refleksi teologis yang bersumber dari Kitab Suci, Tradisi Gereja, Magisterium, nilai-nilai moral sosial dan hasil dari konsili-konsili. Beberapa contoh kanon-kanon doktrinal, misalnya; Kan. 849 (tentang baptis), Kan. 879 (tentang krisma), Kan. 1055 (tentang perkawinan), dll.
2. Normatif: Kitab Hukum Kanonik dibuat untuk mengatur kehidupan dan disiplin gerejawi bagi warganya guna mencapai keselamatan. Kanon-kanon terutama dari Kan. 1 sampai dengan Kan. 203 memberikan aturan atau norma yang harus diikuti dan dilaksanakan demi keselamatan jiwa tersebut. Aturan atau norma itu dapat disejajarkan dengan pedoman untuk hidup sebagai warga Gereja agar tercipta ketertiban dalam kehidupan pribadi maupun bersama.
3. Imperatif: dimaksudkan sebagai kalimat perintah yang mewajibkan untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Rumusan kalimat perintah yang ada dalam KHK tidak selalu dimengerti dalam arti yang ketat. Dalam kodeks dipakai kalimat dalam bentuk konjungtif dengan rumusan, "hendaknya...,". Kata ini harus dimengerti sebagai kalimat imperatif.
4. Prohibitif:Â KHK memuat beberapa larangan untu dilakukan oleh umat beriman dan atau oleh pejabat Gereja. Adanya suatu larangan disebabkan karena pelbagai hal misalnya; aturan atau norma yang ada dan adanya sanksi atau hukuman yang disebabkan oleh suatu pelanggaran terhadap undang-undang atau tindak perdata, kriminal, dan larangan itu dirumuskan dalam bentuk apodiktis atau kondisional. Misalnya, Kan. 149 (larangan pemberian jabatan), Kan. 915-916 (larangan komuni), Kan. 1083-1093 (larangan dalam kaitannya dengan halangan-halangan nikah).
5. Persamaan: Prinsip persamaan dalam hak dan kewajiban, dijunjung tinggi oleh Gereja. Semua warga Gereja (umat beriman dan pejabat Gereja) mempunyai persamaan di hadapan hukum (bdk. Kan. 221, 223). Warga Gereja adalah subyek hukum dalam Gereja. Maka perlu dilindungi (bdk. LG. 14).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H